BAB 6 [PART 1]

1107 Kata
Jalanan tampak ramai, Cila menghela napas panjang karena lelah. Tangan kanannya masih setia memeluk sang pengemudi motor—Arthur. Mungkin sudah beberapa hari ini Arthur yang sering mengantar-jemput Cila. Arthur memang sengaja datang, menjemput Cila yang baru selesai mengikuti les di sekolahnya untuk memperbaiki nilai ujian nasional tahun kemarin. Biasa lah, jika tahun kemarin jelek, maka tahun ini yang harus dimaksimalkan sampai menggunakan les tambahan segala. Karena les itulah yang membuat Cila pulang paling akhir. Harusnya pukul dua siang Cila sudah pulang, terlepas dari ekstrakulikuler yang kadangkala masih diikutinya. Sayangnya, setelah beberapa hari ini, sekolah membuat keputusan untuk mengadakan les di sekolah setelah jam pulang. Akhirnya baru pukul empat sore Cila pulang—menunggu Seta yang tidak kunjung datang. Lalu datanglah Arthur yang sadar diri untuk menjemput Cila karena Seta sedang repot di cafe. Akhir-akhir ini cafe sedang ramai dan pemilik cafe memutuskan menambah menu baru, sehingga Seta tidak bisa meninggalkan cafe—kasihan kepada temannya yang harus sendirian jika sampai cafe sedang ramai. Arthur menghentikan motornya di salah satu tempat makan yang tidak jauh dari cafe tempat Seta bekerja. Cila yang tahu maksud Arthur berhenti pun, ikut turun dari motor. Mungkin sudah menjadi kebiasaan, setiap pulang sekolah, Arthur akan mengajak Cila untuk makan siang atau sore. Mereka berdua masuk ke tempat makan lesehan, di mana menunya tampak segar karena baru diambil dari kolam setelah dipesan. Arthur memesankan ikan gurame asam manis untuk mereka berdua, lalu sayur kangkung, dan jus buah. "Kak Seta pelanggannya baru banyak ya, Bang?" Tanya Cila yang menatap ke arah sebuah cafe yang bisa mereka lihat dibalik tempat duduk mereka. Arthur mengangguk, "akhir-akhir ini baru banyak-banyaknya. Katanya sih ada menu baru jadinya rame. Tenang aja, Seta pasti bisa. Cila enggak suka ya kalau dijemput sama Abang?" "Bukannya enggak mau dijemput sama Abang. Tapi Cila enggak enak aja kalau terus-terusan nyusahin Abang. Cila bisa jalan kaki sampai cafe kok, Bang. Jadi, Abang enggak perlu susah-susah jemput." Ucapnya tidak enak. Arthur hanya tersenyum walaupun kaku. Dia tidak menjawab apapun karena tidak paham dengan kode yang diberikan. Cila memang masih anak sekolah dasar—namun tetap saja Cila adalah perempuan yang selalu menggunakan banyak kode untuk membuat laki-laki peka. Tapi, menurut Arthur, bukan peka yang di dapat, tetapi susah karena dirinya tidak paham. "Abang," panggil Cila kepada Arthur yang tengah asik menatap layar ponselnya. Arthur mendongak, mengalihkan pandangan matanya dari ponselnya kepada Cila yang duduk di depannya dengan wajah kesal. Mungkin karena Arthur mendiamkannya—memilih bermain ponsel. Padahal Arthur sedang belajar untuk ulangan harian beberapa hari yang akan datang. "Abang, aku serius suka sama, Abang. Aku enggak bisa begitu aja lupa dan enggak mikirin Abang. Kemarin aku bilang sama Kak Seta," jujur Cila dan hanya ditanggapi dengan tatapan tenang oleh Arthur. "Bilang apa Seta?" Tanya Arthur pada Cila yang tampak kesal padanya. Cila terdiam cukup lama, "kata Kak Seta terserah—asalkan Abang mau sama Cila. Memangnya Abang serius mau menikah?" Arthur mengangguk dengan cepat. Kenyataannya memang begitu, 'kan? Arthur akan menikah walaupun sebenarnya tidak ingin. "Enggak bisa nunggu Cila sebentar lagi?" Tanya Cila kembali dengan tatapan memelas. Kali ini Arthur tertawa, hal yang sangat jarang dilakukannya. Bahkan saat ini Arthur tidak bisa begitu saja meredakan tawanya karena semua ucapan Cila kepadanya. "Kok Abang malah ketawa, sih?" Kesal Cila kepada Arthur. Arthur menghentikan tawanya lalu menatap Cila, "udah-udah, makan aja yuk. Tuh, udah datang makanannya. Makan yang banyak pokoknya." Cila hanya mengangguk, mungkin perasaan sukanya pada Arthur hanya dibuat tertawaan oleh laki-laki itu, tetapi Cila merasa benar-benar suka pada Arthur. Ah, siapa juga yang tidak suka dengan Arthur. Mungkin hanya Cila yang beruntung dekat dengan Arthur—mengatakan perasaan pun tidak langsung mendapatkan cacian dan makian. Apa kabar perempuan yang dulu menyukai Arthur? Mungkin sudah dicerca habis-habisnya. Bagi Arthur sendiri, Cila adalah adik dari temannya. Itu artinya, dia juga memiliki tanggung jawab untuk ikut menjaga Cila. Lagipula, semenjak Arthur menjadi teman Seta, Arthur mulai bertekad untuk menjaga Seta maupun Cila. Walaupun sebenarnya Seta tidak membutuhkan hal itu. Setelah selesai makan, mereka keluar dari rumah makan dan kembali naik ke motor Arthur untuk datang ke cafe yang sudah mulai sepi. Di depan cafe hanya tertinggal beberapa kendaraan saja. Tidak seperti tadi yang sampai tidak muat parkirannya. Lonceng pelanggan masuk ke cafe terdengar ketika Arthur membuka pintu dan didahului oleh Cila yang masuk terlebih dahulu. Cila dengan semangat mendekati Seta yang saat ini sedang berdiri di depan meja kasir. "Lho, sama Abang Arthur lagi?" Tanya Seta kepada Cila. Cila mengangguk mengiyakan lalu mengajak Arthur untuk duduk di kursi yang berada di depan sana. Arthur sendiri memilih untuk duduk sambil memainkan ponselnya. Tidak tahu mengapa Seina meneleponnya beberapa kali. Arthur ingin tak peduli namun akhirnya mengangkat telepon dari perempuan itu. "Arthur, Lo di cafe pinggir kota, ya? Gue ada di depan cafe sekarang. Gue boleh ikut Lo enggak? Gue habis pergi bareng sama teman-teman, tapi tadi mobilnya sempat bermasalah dan mereka dijemput sama pacarnya masing-masing. Gue boleh enggak pulang bareng?" Tanya Seina dari ujung telepon. "Gimana ceritanya kamu pergi bareng tapi pas susah kamunya ditinggal? Apa mereka enggak punya empati sampai pulang bareng sama pacarnya sendiri tanpa mikirin kamu? Aneh!" Tandas Arthur dengan perasaan yang tidak habis pikir. "Ya udah, gue ngaku! Gue ngikutin Lo. Gue lihat Lo jemput dan makan sama bocah yang kemarin. Dia siapa, sih? Gue enggak pernah lihat dia sebelum ketemu Lo di mall. Kalau memang itu adek Lo—setahu gue Lo anak bungsu. Atau jangan-jangan Lo kencan sama anak kecil? Lo p*****l?" Tanya Seina sedikit masuk akal. "Dengar ya, Sein. Kita memang sudah bertunangan dan mau menikah. Tapi aku enggak pernah mengijinkan siapa saja ikut dalam masalahku, termasuk kamu. Aku aneh sama kamu, kenapa kesannya jadi aku yang bikin kamu hamil? Kenapa jadi aku yang kamu uber-uber untuk dapat perhatian. Atau jangan-jangan, kamu hanya mengincar aku, ya?" Sinis Arthur. "Bukan gitu, Arthur. Gue cuma enggak mau Elo punya masalah atau—" Arthur mematikan sambungan teleponnya dan nenatap ke luar cafe di mana Seina berdiri. Tidak ada niat sama sekali untuk keluar dan datang kepada Seina. Memangnya dia siapa sampai perlu ditemui. Jika memang tidak bisa pulang—itu bukan masalah Arthur. Masalah Seina sendiri. Kenapa juga harus repot-repot datang hanya untuk membuntutinya. Cila berjalan mendekat ke arahnya lalu duduk di depannya, "Abang kok melamun? Mikirin apa?" Arthur hanya menggeleng, "enggak, Abang ingat ulangan aja buat besok. Kamu enggak pesan minum sama Kakakmu?" "Udah kok, itu dibuatin sama Kakak. Abang telepon sama siapa?" Tanya Cila ingin tahu. "Sama perempuan," jawab Arthur. "Pacar Abang itu?" Arthur mengangguk. Entahlah, apa hubungannya dengan Seina. Tetapi jika orang bertanya, Arthur hanya perlu mengangguk—mengiyakan saja walaupun Arthur tidak terlalu suka. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN