Raja tidak melepaskan pandangan matanya dari Arthur yang duduk disampingnya. Anak keduanya itu hanya memasang wajah malas dan memandang jalanan lewat jendela mobil mereka. Sebenarnya Arthur sudah menolak untuk ikut makan malam di salah satu rumah kolega Raja, namun ayahnya itu tetap tidak menyerah untuk mengajaknya dan akhirnya dengan berat hati Arthur ikut juga.
Sekarang sudah pukul tujuh malam dan mereka belum sampai di rumah orang itu. Padahal malam ini Arthur sudah berencana untuk belajar dan menyelesaikan sisa soal yang belum dikerjakannya karena pergi dengan Cila tadi sore. Padahal Raja bisa pergi dengan Reon saja jika mau, tetapi tetap saja untuk urusan bisnis pasti yang diajak adalah Arthur.
Reon tidak bisa diandalkan jika urusan bisnis. Maka dari itu, Arthur yang selalu diajak kemana-mana jika ada urusannya dengan perusahaan. Arthur digadang-gadang sebagai pemimpin perusahaan kedua orang tuanya yang paling utama. Namun, semua itu membuatnya harus kehilangan mimpi-mimpinya.
"Akhir-akhir ini, Daddy lihat kamu pergi dan pulangnya selalu sore. Kemana kamu?" Tanya Raja untuk berbasa-basi kepada Arthur.
Arthur menoleh, "bukan urusan, Daddy."
Raja menghela napas panjang, susah sekali membuat Arthur menurut dan mengikuti semua yang dia inginkan. Mungkin jika tidak memikirkan nasib perusahaannya, Raja sudah memberi tanggung jawab ini kepada Reon. Sayangnya Reon tidak lebih baik daripada Arthur. Walaupun sikap dan ucapannya kadang kasar—namun Arthur sangat mampu menduduki kursi kepemimpinan.
Daripada berdebat dan membuat Arthur semakin kesal, Raja memilih untuk diam. Mengalihkan pandangan matanya pada ponsel pintarnya. Jika biasanya anak dan ayah saling bercerita tentang kegiatan olahraga atau balapan, mereka seperti orang asing yang dipaksa untuk duduk bersama dalam satu mobil.
Tidak lama kemudian, mobil mereka berhenti di halaman sebuah rumah besar—namun tidak ada apa-apanya dengan rumah mereka. Bayangkan saja rumah keluarga Dewangga itu seperti istana jaman dulu. Begitu kokoh, luas, mewah, dan tentunya sangat berkelas. Hanya beberapa orang saja yang diperbolehkan untuk masuk.
Raja menatap Arthur yang tampak santai dengan kemeja putih yang kini digulung sampai sebatas siku. Tidak ada jas mahal yang sempat dibawa oleh pelayan di rumah mereka tadi. Entah Arthur buang kemana jas itu, yang jelas sekarang dirinya hanya mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang dipadukan dengan sepatu hitam yang mengkilap.
Jika Raja harus menunggu sopir untuk membukakan pintu, Arthur tidak. Laki-laki itu sudah membuka pintu untuknya sendiri. Sebelumnya Arthur sudah menyindir Raja terlebih dahulu dengan kata-kata yang pedas.
"Tangan Daddy 'kan masih berfungsi. Kenapa harus minta dibukain pintu segala?"
Ucapan itu benar-benar menusuk dan membuat Raja kesal. Namun, bicara pada Arthur sekarang bukanlah hal yang tepat. Apalagi sampai Arthur menggunakan nada tinggi, hancurlah semua acara.
Sepasang suami istri sedang berdiri menunggu diambang pintu, menatap Raja dan Arthur yang tengah berjalan dengan gagahnya—walaupun tidak akur, namun Arthur tetap mirip seperti ayahnya. Mereka sama-sama mempunyai kharisma dan membuat siapa saja tunduk dengan tatapan mereka.
"Selamat datang, Tuan. Terima kasih sudah memenuhi undangan kami di rumah." Ucap seorang laki-laki yang tengah berjabat tangan dengan Raja.
Arthur pernah melihat laki-laki ini di rumahnya. Mungkin laki-laki paruh baya ini yang meminjam uang kepada ayahnya, pikirnya. Tetapi mengapa mengundang mereka untuk makan malam? Untuk mengambil hati Raja? Atau untuk hal lainnya?
"Hm, Nyonya Ratna tidak datang kah, Tuan?" Tanya perempuan disamping laki-laki itu, istrinya.
"Tidak! Mana mungkin Mommy akan datang menghadiri undangan seperti ini. Aku pun sebenarnya tidak pernah ingin datang, hanya saja Daddy terus memaksa." Tandas Arthur tanpa rasa bersalah sama sekali.
Pemilik rumah hanya tersenyum tak suka. Namun, mereka mencoba untuk tidak marah. Lagipula kedatangan Raja ke rumah mereka lebih dari cukup.
Laki-laki itu tersenyum, "kalau begitu selamat datang di rumah keluarga saya, Wiryatama. Nak Arthur boleh memanggil Om atau apalah itu."
Arthur ingin sekali tertawa, namun dia hanya membuang muka. Mereka yang mendekati ayahnya selama ini hanyalah benalu. Seperti menumpang hidup kepada inangnya.
Raja dan Arthur masuk ke dalam rumah mereka, tidak ada tanggapan sama sekali. Padahal beberapa orang yang masuk ke rumah Wiryatama langsung terkagum-kagum dengan desain dan interiornya. Tetapi, dua orang di depan mereka bahkan tidak terlalu peduli.
Sampailah di meja makan dengan banyak sekali hidangan yang tersaji. Wirya meminta beberapa pelayan untuk menyiapkan air putih di gelas masing-masing.
"Oh iya, biarkan saya memanggil putri saya dulu." Ucap istri Wirya yang hendak menaiki anak tangga namun tidak jadi karena putrinya sudah turun.
Arthur menoleh, menatap seorang perempuan dengan menggunakan gaun mewah dan make up tipis yang sedang berjalan ke arah meja makan. Wirya dan istrinya tampak antusias karena Arthur tidak mengalihkan pandangan matanya dari putri mereka.
"Nah, ini Natalia. Nak Arthur ingat dengannya, bukan?" Tanya Wirya kepada Arthur yang masih menatap putri mereka.
Natalia tampak salah tingkah karena Arthur menatapnya terus-menerus. Bahkan Raja yang berada disamping Arthur pun terheran-heran dengan tatapan sang putra.
Arthur tersenyum sinis, "tentu saja aku ingat! Perempuan yang pernah memasukkan dompetnya sendiri ke tas temannya. Siapa yang tidak ingat dengan perempuan di depanku ini."
Sudah Raja duga, tidak mungkin Arthur terpesona dengan kecantikan seorang gadis. Jika dibandingkan pun, Seina lebih cantik—namun tidak bisa mengambil hati seorang Arthur.
Natalia menunduk, ternyata Arthur masih orang yang sama—kejam, kasar, bicaranya lantang, dan punya senyuman sinis yang mematikan. Bahkan Wirya tampak malu dan akhirnya meminta Natalia untuk duduk di kursinya dan memulai makan malam.
Mungkin, jika bukan Arthur yang berbicara seperti itu, Wirya sudah menghajarnya. Namun, karena itu Arthur, Wirya hanya bisa diam kendati apa yang disampaikan Arthur memang benar.
Semuanya makan kecuali Arthur, laki-laki itu hanya minum air putih saja. Raja melirik anaknya yang tidak memiliki selera makan. Harusnya dia sudah tahu apa yang akan Arthur lakukan jika tidak suka dengan seseorang—tetapi Raja membiarkan. Toh, selama ini Arthur mengatakan hal yang benar. Tidak pernah memprovokasi atau terprovokasi. Arthur selalu menjadi pihak yang netral.
Arthur melamun saja, sedangkan Raja sibuk mendengarkan progres apa saja yang dilakukan Wirya. Walaupun tak terlalu memperhatikan, setidaknya Raja mendengarkan. Tidak seperti sang anak yang memilih untuk diam.
"Ah, saya sampai lupa mengucapkan selamat atas pertunangan Nak Arthur beberapa hari yang lalu. Maaf karena saya tidak bisa datang, kebetulan ada kegiatan amal di panti asuhan." Ucap Wirya dengan senyuman.
"Hm, tapi kenapa anak SMA seperti Arthur lebih memilih menikah muda? Padahal 'kan kita semua tahu kalau tunangan Arthur itu bukan dari kalangan kelas atas," ucap Natalia menyela—namun langsung disenggol istri Wirya.
Arthur menunjukkan senyum sinis kembali, "walaupun keluarga Seina bukan kalangan kelas atas. Bukan berarti Seina tidak pantas menjadi keluarga Dewangga. Satu lagi, Seina tidak pernah menggunakan orang lain untuk menyakiti yang lainnya. Seina tidak pandai menginjak orang lain, mungkin keahlian itu hanya dimiliki orang sepertimu! Penindas, pem-bully, perempuan jahat, tidak tahu malu ... Sampai tidak tahu aku harus mengatakan apa lagi. Terlalu banyak kurangmu rupanya!"
Raja hanya mengulum senyum, dia tidak perlu menggunakan apapun untuk melindungi Arthur, karena laki-laki itu benar-benar mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Kalah argumen sedikit saja, jangan harap bisa menang.
"Dad, aku tunggu di mobil!" Ucap Arthur meninggalkan meja makan.
Arthur memang tidak menyukai Seina, tetapi perempuan itu tidak pernah menyakiti orang lain untuk membuatnya terlihat lebih tinggi.
###