Seorang gadis belia yang baru kelas enam SD itu tampak cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Namanya Cila, ciri-cirinya cantik, tinggi, manis, dan sering malu-malu ketika berada di dekat Arthur. Siapa yang tidak tersipu ketika ada orang setampan Arthur yang menggandeng tangannya kemana-mana, berjongkok hanya untuk mengikat tali sepatunya, dan merapikan rambutnya setiap kali turun dari motor.
Cila memiliki senyum yang menawan walaupun tertutupi oleh wajah yang dekil karena belum pernah tersentuh skin care atau perawatan kulit lainnya. Jangankan punya skin care seperti gadis belia seusianya, untuk membeli buku paket saja susah. Jika bukan karena kakaknya yang sampai lelah bekerja, mungkin dia tidak akan pernah sekolah.
Cila tampak rikuh ketika berjalan bersama dengan Arthur. Bagaimana mungkin dirinya yang kotor ini bisa digandeng oleh laki-laki setampan ini. Cila sudah tahu ya, mana laki-laki tampan atau biasa saja. Bahkan dia bisa melihat dengan jelas setiap pahatan yang Tuhan berikan pada lekuk wajah teman kakaknya itu.
Arthur adalah guru privatnya mulai dua hari yang lalu. Laki-laki tampan itu selalu mengajarinya dengan baik dan sabar. Bahkan Arthur seringkali membuatkan soal untuk Cila sampai paham. Cila sering mendapat makan enak yang dibawakan Arthur dari berbagai restoran mahal yang sering teman-temannya ceritakan. Arthur juga membawakan buku cetak yang dibeli di toko buku—buku soal-soal untuk ujian nasional yang dipunyai teman-temannya.
"Mau beli tas enggak?" Tanya Arthur dengan wajah datar namun terlihat lebih mempesona dibandingkan laki-laki lainnya yang mudah sekali tersenyum.
"Hm, enggak usah, Abang Arthur." Jawab Cila susah payah karena kali ini jantungnya berdetak lebih kencang. Selalu saja begitu jika dekat dengan Arthur.
Arthur menatap deretan toko yang ada di dalam mall ini. Mencari tas dan sepatu yang cocok untuk Cila. Hari ini dia meminta ijin kepada Seta untuk membawa Cila jalan-jalan. Katanya, Cila belum pernah pergi ke tempat mewah seperti mall ini contohnya. Walaupun sangat antusias, Cila sama sekali tidak meminta apapun kepada Arthur. Anak ini hanya takjub sambil tersenyum diam-diam.
"Ayo masuk, biar Abang yang pilihin buat kamu." Ajak Arthur kepada Cila yang masih menggenggam tangannya.
Cila diam saja ketika mereka masuk ke dalam toko tas dan sepatu untuk anak-anak. Cila takjub dengan semua barang yang dijual di sini. Pasalnya, Seta hanya mampu membelikannya barang-barang yang berada di pasar. Itu saja dengan kualitas yang paling rendah, karena keterbatasan biaya.
"Mau yang warna apa? Yang gambar princess atau unicorn?" Tanya Arthur lalu berjongkok dan memperlihatkan dua tas warna merah muda dengan gampar princess dan satunya lagi bergambar unicorn.
Cila menggeleng, "sekarang 'kan aku udah besar, Bang. Mau sekolah SMP sebentar lagi. Masa gambar tasnya kaya gitu."
Arthur menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lalu mengangguk. Hanya karena Cila perempuan, Arthur sampai lupa jika adik Seta itu sudah beranjak remaja. Mana mungkin Cila mau memakai tas dengan kedua gambar tersebut ke sekolah.
"Boleh aku milih sendiri, Bang?" Tanya Cila ragu namun akhirnya diucapkannya juga. Daripada Arthur membelikannya barang-barang tidak berguna, lebih baik dia memilih sendiri.
Arthur mengangguk, sebenarnya dia belum pernah membelikan barang untuk perempuan. Mana mungkin Arthur tahu apa yang benar-benar diinginkan perempuan. Selama Cila memilih barang yang dia inginkan, Arthur berjalan mengikutinya dari belakang. Seperti takut jika Cila sampai hilang.
Arthur melihat Cila yang memutari toko, ternyata semua perempuan itu sama saja. Tidak muda, tidak tua, pasti kerjaannya adalah memutari toko sampai pegal. Padahal 'kan hanya membeli satu, kenapa harus repot-repot memutari toko.
Cila tampak melihat beberapa tas yang bagus, namun harga setiap tas atau sepatu di sini rupanya mahal—untuknya. Cila selalu kasihan setiap kali Seta membelikannya peralatan sekolahnya dengan susah payah. Dia tidak ingin menyusahkan orang lain, apalagi Arthur adalah teman dari kakaknya sendiri.
"Kenapa?" Tanya Arthur ketika Cila melamun.
Cila menggeleng, "cari toko lain aja, Bang. Aku enggak suka model tas sama sepatunya. Aku pernah lihat model yang bagus ada di pasar dekat rumah."
Arthur yang paham dengan kondisi Cila, hanya menarik anak itu dengan pelan lalu menunjuk salah satu tas yang sejak tadi dilirik Cila dengan tatapan menginginkan. Delapan ratus ribu—untuk sebuah tas menurut Cila sangat mahal. Dia bisa membeli banyak barang jika memiliki uang sebanyak itu.
"Kamu tahu, ini adalah hadiah yang Abang kasih sama kamu karena bisa mengerjakan soal selama tiga menit, kemarin. Kamu tenang aja, harganya enggak usah dipikirin, Abang mampu kok beliin, Cila." Ucap Arthur memberi pemahaman kepada Cila.
Laki-laki itu langsung membawa tas yang Cila mau ke kasir dan langsung membayarnya dengan kartu kredit. Cila tampak heran karena Arthur bisa membayar dengan kartu yang ada di dalam genggaman tangannya, bukan uang kumel yang biasanya berada di dalam saku celana kakaknya.
Setelah membayar, Arthur mengajak Cila untuk makan. Anak itu tampak sangat senang karena bisa duduk di kursi ini. Biasanya Cila hanya bisa melihat dari jauh ketika anak-anak duduk bersama dengan orang tuanya di dalam mall. Berbincang sambil makan-makanan enak.
Arthur membelikan beberapa menu makanan yang bisa Cila nikmati. Dia tidak tahu mengapa sampai berbuat sejauh ini. Mengajari Cila, mengajak Cila jalan-jalan, membelikannya tas sekolah, mentraktir makan. Arthur bukan orang baik—tetapi dia tidak pelit.
"Kenapa Abang baik sama Cila?" Tanya Cila polos, sambil memakan ayamnya.
Arthur yang hanya memesan minum karena sudah kenyang pun menoleh. Dia tidak langsung menjawab, hanya melamun sebentar—memikirkan apa yang akan dijawabnya.
"Hm, karena Abang temannya Kakak kamu." Jawab Arthur seadanya.
Sebenarnya terlalu dini mengatakan Seta adalah temannya. Namun, tidak ada hubungan kedekatan yang lebih daripada Seta. Arthur merasakan sebuah pertemanan pun ketika dia berkenalan dengan Seta beberapa minggu yang lalu.
"Arthur," panggil seseorang yang berada di belakangnya.
Arthur sontak menoleh, mendapati Seina yang sama-sama pergi ke mall hari ini. Dari banyaknya tempat dan banyaknya pusat perbelanjaan di kota ini, mengapa harus tempat ini yang menjadi tujuan Seina. Arthur tidak ingin berdebat, tidak ingin ngotot, dia hanya ingin menikmati waktunya. Apalagi sekarang bersama dengan Cila yang tampak penasaran dengan kehadiran Seina.
"Dia siapa? Lo kok jalan sama anak kecil?" Tanya Seina menunjuk Cila.
"Aku bukan anak kecil ya, Kak. Aku sebentar lagi mau SMP!" Kali ini Cila yang menjawab dengan nada kesal. Entah kesal karena Seina menyebut dirinya anak kecil atau kesal karena Arthur dihampiri perempuan lain.
Seina melotot, "gue calon istrinya Arthur!"
"Masa anak SMA mau nikah? Abang Arthur enggak mau nikah sama Kakak!" Ketus Cila tidak terima.
"Iya! Emang kenapa kalau anak SMA mau nikah? Lagipula sebentar lagi kita ujian nasional. Jangan-jangan Lo suka ya sama Arthur? Dasar bocil!" Marah Seina kepada Cila yang berani padanya.
"Ud—" belum selesai Arthur bicara, sudah dipotong oleh Cila.
"Iya! Aku suka sama Abang Arthur!"
Arthur menghela napas panjang, ini kenapa isinya ribut tidak jelas. Yang Arthur heran lagi, ketika Cila bilang suka padanya.
"Udah, kita pulang yuk. Nanti Seta nyariin kamu. Abang cuma ijin ajak kamu keluar sampai jam empat sore. Ini udah setengah empat." Ajak Arthur kepada Cila.
Cila hanya mengangguk dengan pipi yang merona karena malu. Dia baru sadar bilang di depan Arthur, jika dirinya menyukai laki-laki itu.
"Terus gue gimana?" Tanya Seina yang menunjuk dirinya sendiri.
"Berangkat sendiri, berarti pulang bisa sendiri!" Tandas Arthur yang pergi begitu saja.
Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Cila masih memeluk pinggang Arthur karena lumayan ngebut di jalan. Arthur sebenarnya ingin membawa mobil, namun tidak jadi dan akhirnya menggunakan motor. Setelah sampai, Cila turun dari motor Arthur dan tersenyum.
"Makasih Bang udah ngajakin Cila jalan-jalan dan beliin tas baru."
Arthur mengangguk saja.
"Tadi, Cila bilang suka sama Abang itu sebenarnya ser—"
Arthur mengelus kepala Cila pelan lalu berjongkok di depannya.
"Gini, Abang bukannya enggak suka sama Cila. Tapi umur Cila dan Abang itu jauh banget bedanya. Nanti Cila akan punya teman yang seumuran, yang bisa ketemu Cila terus. Enggak kaya Abang yang cuma bisa datang kesini seminggu dua kali. Masa iya, pacarnya cantik tapi Abangnya udah tua." Ucap Arthur yang membuat Cila tersenyum.
"Makasih Abang, besok kita belajar lagi, ya." Ucap Cila senang.
"Oke. Mau Abang bawain apa?"
"Enggak usah, Abang datang aja Cila udah senang."
###