BAB 5 [PART 1]

1091 Kata
Seina senang ketika semua orang di sekolah melihatnya dengan tatapan iri. Perempuan itu berjalan dengan bangga, berlenggak-lenggok seperti putri kerajaan yang bahagia. Walaupun biasanya pun begitu, namun terlihat aura tidak baik yang terpancar dari dirinya. Itu karena tinggi hatinya—yang katanya berhasil menaklukkan Arthur. Seina mengatakan kepada semua orang bahwa Arthur mengejarnya. Padahal pada kenyataannya, Arthur yang berusaha mati-matian untuk menolak tapi tidak bisa. Perempuan itu pun mengumbar cincin pertunangannya di depan teman-temannya. Memperlihatkan betapa mahal dan uniknya cincin itu. Seina mengarang bebas, berbicara sesuka hatinya tentang perlakuan Arthur—katanya manis, romantis, berbeda dengan image di sekolah yang cool. Intinya Seina mengatakan jika Arthur lah yang tergila-gila padanya. Arthur yang tidak bisa hidup tanpanya, dan banyak lagi karangan bebasnya. "Jadi, Arthur itu sebenarnya gemes banget. Dia enggak galak kok, malah romantis sama gue. Dia kadang suka jutek tapi perhatian banget. Kadang suka posesif-in gue gitu." Ucap Seina membanggakan Arthur terus. Mungkin kuping teman-temannya sudah mulai panas dengan semua ocehan Seina tentang Arthur yang sangat berbeda dengan aslinya. Cinta memang buta, namun watak tidak akan semudah itu berubah hanya karena jatuh cinta—jika itu memang benar-benar cinta. Setelah puas pamer dan lelah bicara, Seina masuk ke kelas Arthur, duduk disamping laki-laki itu. Arthur sibuk membaca buku sastranya, jadi diam saja. Jika Seina tidak melakukan hal macam-macam, Arthur tidak akan menggubrisnya. Seina memegang tangan Arthur yang bebas—tidak ada reaksi apapun dari Arthur karena laki-laki itu sedang asik membaca. Seina semakin berani, ingin memeluk Arthur. Seina menatap tangannya yang kini tengah digenggam Arthur. Laki-laki itu menyeret Seina dari kelasnya dengan kasar, membawanya jauh hingga tidak ada orang yang berada di sekitar mereka. Lapangan olahraga adalah tempat paling tepat untuk bicara—agar semua orang tidak mendengar pembicaraan mereka. "Aku udah berulang kali bilang sama kamu, Sein. Jangan pernah melewati batas yang sudah aku buat!" Tunjuk Arthur pada wajah Seina. "Aku tahu ini enggak mudah, tapi tolong jangan membuat aku mengeluarkan ucapan kasar yang bisa membuat hati kamu terluka. Kamu harusnya berterima kasih sama aku, kalau bukan karena aku, anak ini enggak akan ada yang menerima. Aku enggak minta yang susah-susah, aku cuma minta kamu jangan berlebihan. Asal kamu tahu, aku bukan milik kamu! Jadi jangan bertindak, seolah-olah aku mencintai kamu!" Sambungnya. Seina menatap wajah Arthur yang tampak memerah, mungkin sudah sangat kesal dan pada titik tidak bisa menguasai emosinya. Tiba-tiba Seina menangis, membuat Arthur bingung. Dia tidak pandai menghibur orang lain. Arthur hanya menepuk kedua bahu Seina dengan tangannya lalu meninggalkan perempuan itu sendiri. Mungkin, beberapa laki-laki akan menggunakan pelukan sebagai obat penenang ketika perempuan sedang menangis. Namun, bagi Arthur, pelukan adalah sakral. Tidak asal menggunakan pelukan untuk orang-orang yang tidak penting untuknya. "Arthur!" Teriak Seina memintanya untuk berhenti. Arthur terdiam cukup lama, namun tidak menoleh sama sekali. Walaupun Arthur bukan laki-laki yang peduli dengan orang lain, meskipun status Seina saat ini adalah calon istrinya—tunangannya. "Lo bisa enggak sih sedikit aja baik sama gue. Kenapa sih Elo selalu gitu? Kenapa Elo kaya jijik banget sama gue? Emangnya gue sesalah itu, ya?" Tangis Seina tampak pecah, bahkan napasnya sesak sekali. Arthur terdiam dengan helaan napas panjangnya. Bukan karena merasa bersalah atau semacamnya, tetapi karena Arthur ingin mendengarkan ucapan perempuan itu lebih lanjut. Arthur membalikkan tubuhnya dan menatap Seina yang berdiri terdiam dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. "Sein, untuk apa sih menangis? Untuk apa memperlihatkan air mata kepada orang lain? Untuk dikasihani? Untuk membuat orang lain merasa bersalah dengan kelakuannya? Seina, mungkin aku terlihat jahat dan menyebalkan. Tetapi aku punya alasan yang tepat, mengapa aku tidak pernah berbuat baik kepada kamu. Ah, ralat, bukan hanya denganmu saja, tetapi dengan semua orang. Aku benci orang lain—orang yang selalu berusaha mendekat hanya karena membutuhkan sesuatu. Entah itu hanya perhatian, materi, atau cinta." Tandas Arthur menatap Seina dengan tatapan tajam. "Jangan pernah berpikir terlalu jauh tentang hubungan kita. Mau seperti apa usahamu—tidak akan pernah bisa merubah perasaanku. Kenapa? Karena kamu masuk dalam hidupku bukan karena takdir, tetapi karena sebuah paksaan. Andaikan Reon mau bertanggung jawab, setidaknya aku tidak menanggung beban seberat ini. Menikah di usia muda, dengan orang yang tidak aku cintai, ditambah lagi menjadi ayah dadakan. Apa itu adil? Bukankah kamu hanya tidak ingin anak dalam kandunganmu itu, tidak memiliki kekayaan yang Reon miliki? Bukankah begitu? Menikah denganku hanya alasan untuk bisa mendapatkan posisimu?" Seina tidak bisa berkata-kata untuk menjawab semua pertanyaan Arthur kepadanya. Perempuan itu memilih untuk menunduk—menyembunyikan wajahnya. Arthur benar-benar tidak bisa diambil hatinya, laki-laki itu terlalu sulit digapai, didekati, sudah di depan mata pun masih terasa jauh. Setelah lelah dengan kondisi dan tidak mau berlama-lama dengan Seina, Arthur pergi begitu saja. Jika dia ditanya masalah kepedulian, Arthur akan menjawab peduli—dialah yang bertanggung jawab. Tapi jika sudah menyangkut perasaan dan cinta, Arthur tidak akan memberi celah sedikitpun untuk Seina masuk. Arthur sudah berbaik hati dan seharusnya Seina tahu posisi. Arthur mengetuk pintu kelasnya karena guru fisikanya sudah masuk kelas. Jika bukan karena Seina, dia tidak akan telat masuk kelas. "Masuk, Arthur." Ucap gurunya yang baru saja menjelaskan materi di depan kelas. "Maaf Pak, saya terlambat." Ucap Arthur yang ditanggapi oleh gurunya tersebut dengan anggukan kecil. Setelah itu, dia kembali ke kursinya dan duduk dengan tenang. Pelajaran seperti ini adalah waktu terbaiknya untuk melepaskan semua beban yang ada di dalam pikirannya. Berusaha menjadi murid yang baik dan selalu belajar dengan giat. Mungkin, tanpa belajar pun Arthur sudah bisa. Tapi, pintar tanpa belajar hanya akan berujung pada lupa. Sehingga Arthur total dalam sekolah. Dia memang tidak suka masuk IPA karena ingin masuk Bahasa. Tetapi Arthur selalu menggunakan semua usahanya untuk bisa menduduki posisi pertama. Walaupun terpaksa, bukan berarti harus membuatnya semakin sulit. Jika sudah basah, kenapa tidak sekalian berenang? Itu yang selalu Arthur katakan kepada dirinya sendiri. Tidak menyukai bukan berarti harus merusaknya. Arthur menyukai kesempurnaan—meskipun dia tidak menyukainya. Setiap kali guru bertanya, Arthur selalu mengangkat tangan—memberi jawaban dengan lugas dan jelas. Tak ada satupun pertanyaan yang Arthur lewatkan. Ketika mengerjakan soal, Arthur tinggal maju ke depan karena bukunya sudah dipenuhi coretan. Mungkin itulah alasan Arthur tidak pernah bergeser dari posisi puncak. Karena usahanya terlalu keras, sampai membuat lengah teman-temannya. Ponselnya bergetar dibalik saku seragamnya, Arthur mengambilnya dan menatap layar ponselnya. Ada pesan dari Seta, bertanya tentang kedatangannya nanti sore. Iya, Arthur akan datang ke rumah Seta untuk mengajari adik teman barunya itu. Ah, Arthur benar-benar tidak tahu caranya berteman. Namun, semenjak ada Seta, Arthur seperti mendapatkan sosok teman yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN