BAB 4 [PART 3]

1120 Kata
Pertunangan Arthur dan Seina telah menjadi tranding di mana-mana. Ada banyak stasiun televisi dengan kabar yang sama—kabar tentang megahnya pertunangan Arthur, anak kedua dari Raja Dewangga dan Ratna Triatama. Bahkan tidak lama setelah itu, semua produk baru di perusahaan make up dan kecantikan milik Ratna diserbu pelanggan. Produk-produknya sangat laku di pasaran, bahkan diluar dari ekspektasinya. Hanya karena semua pemberitaan tentang Arthur, produk terbarunya bisa menduduki puncak, produk dengan penjualan terbanyak dalam satu minggu. Arthur benci dengan kepopuleran ini—merusak waktunya yang berharga karena harus bertemu dengan orang-orang yang menurutnya tidak penting. Keluar rumah pun tidak senyaman dulu, tidak bisa keluar sesukanya, sekarang pun jika ingin pergi dengan aman paling tidak mengenakan kacamata hitam atau topi untuk menutupi wajahnya kalau bisa. Bahkan ada beberapa tawaran dari stasiun televisi untuk menjadi salah satu bintang tamu. Hanya karena ketampanan anak kedua keluarga Dewangga yang tidak pernah terekspos media atau jarang diberitakan—tiba-tiba disorot sampai menjadi perbincangan. Arthur melepaskan kacamatanya saat dia masuk ke dalam cafe yang pernah dirinya kunjungi beberapa minggu yang lalu. Tempat pertama kalinya Arthur bertemu Seta. Beberapa hari sebelum pertunangan itu dilaksanakan, Seta meminta untuk bertemu di cafe ini dan setelah melewati banyak cobaan pasca pertunangan itu, Arthur baru bisa datang sekarang. Seta melepaskan celemeknya yang dipakainya, lalu mendekat ke arah Arthur yang terlihat ribet dengan kacamata dan jaket tebal—padahal udara diluar sangatlah panas. Seta tampak bersalah karena melihat Arthur kesusahan seperti ini hanya untuk menemuinya. "Kamu tunggu di sini sebentar, aku akan bilang temanku dulu." Ucap Seta lalu menepuk pundak Arthur pelan. Bahasa yang Seta gunakan pun sudah berubah—tidak seformal dulu. Arthur hanya mengangguk sambil duduk di salah satu kursi. Untunglah tempat ini tidak pernah ramai oleh pengunjung sehingga aman untuk dirinya. Walaupun Arthur tidak yakin jika orang-orang sekitar mengenalinya. Hanya saja, Arthur sedang berjaga-jaga. Tidak lama kemudian Seta berjalan mendekatinya dan mengajak Arthur untuk pergi dari cafe. Jika Seta tidak salah jam sebentar lagi waktunya anak-anak SMA biasanya nongkrong di sini. Sehingga tidak baik jika sampai melihat Arthur ada di dalam cafe. Bisa babak-belur Arthur diserang fans-fans dadakannya. Seta mengendarai motor Arthur dan mengajaknya ke sebuah rumah yang berada di gang kumuh. Arthur tidak tahu di mana mereka sekarang, tetapi tidak ada pikiran buruk sama sekali tentang kemana Seta akan membawa dirinya. Arthur tidak bertanya, hanya ikut saja. Mereka berhenti di depan sebuah rumah yang sangat sederhana atau mungkin akan Arthur sebut sebagai tempat tidak layak. Bahkan kamar tidurnya lebih besar ketimbang rumah yang dimiliki Seta. Katanya inilah rumahnya—tempatnya hidup selama beberapa tahun ini. Arthur dan Seta ternyata seumuran. Hanya saja, nasiblah yang membedakan keduanya. Arthur bisa duduk dengan nyaman di sekolahan favorit, sedangkan Seta tidak mampu melanjutkan sekolahnya. "Masuk," ajak Seta ketika mereka berada di depan pintu. Arthur menatap kiri dan kanan, ini memang tempat yang sangat kumuh dan tidak terlihat sebagai rumah. Ah, jika terlalu kasar—maka Arthur akan sebut ini sebagai tempat pembuangan sampah. Dengan langkah yang ragu, Arthur berjalan masuk ke dalam rumah Seta. Rumahnya sepi, tidak ada siapa-siapa. "Kamu tinggal sama siapa?" Tanya Arthur berbasa-basi. Seta menyuruhnya untuk duduk, tapi bukan di kursi. Melainkan pada tikar lusuh yang compang-camping. Tidak pernah Arthur bayangkan jika rumah seperti ini bisa digunakan tinggal. Ini tidak ada apa-apanya dengan ukuran kamarnya. Seta meletakkan segelas air yang tampak keruh, "maaf ya, aku cuma punya air putih aja. Eh, tapi keruh kayanya. Aku beli di warung depan dulu, deh." "Enggak perlu, nanti aja." Cegah Arthur karena tidak enak. Arthur tahu jika Seta tidak memiliki banyak uang. Dia tidak ingin membebani dengan membuat Seta membelikan dirinya air mineral. "Oh iya, ada apa kamu ngajak aku kesini?" Tanya Arthur yang langsung bertanya pada poinnya. Seta mengangguk, "jadi begini, aku punya adik perempuan. Sebentar lagi dia ujian nasional SD. Teman-teman di sekolahnya banyak yang ikut les dan bimbingan belajar mahal. Dia ingin ikut juga, tapi aku tidak mampu membiayai biaya les-nya. Aku tahu kamu dari sekolah yang bagus, jadi boleh tidak aku meminta bantuanmu untuk mengajari adikku. Setidaknya beberapa kali saja." Arthur tampak terkejut, namun dia pandai dalam menyembunyikan ekspresi wajahnya. Arthur mengerti mengapa Seta mati-matian bekerja sampai dia putus sekolah, ternyata ini alasannya. Seta berusaha untuk mencari uang agar adiknya bisa sekolah. "Kamu tahu berita itu?" Tanya Arthur kepada Seta. Seta mendongak, "berita tentang apa? Tentang kamu anak konglomerat itu? Siapa yang tidak mengenalmu? Semua foto pertunanganmu bahkan terpajang di semua media. Walaupun orang-orang suka menilai, tapi aku bersyukur karena sudah dipertemukan dengan seorang teman seperti kamu." Arthur sedikit tersentuh, "baiklah, aku akan datang besok." "Serius?" Tanya Seta dengan senang. "Apa yang adikmu suka? Makanan atau minuman?" Tanya Arthur lagi. Seta sedikit bingung, "aku rasa, dia suka semuanya. Apapun makanan yang aku bawa, tidak pernah dia sisakan sama sekali." Arthur terdiam lalu mengangguk, tidak mau banyak berkomentar juga. Meskipun sebenarnya kepalanya penuh dengan pertanyaan—kemana orang tua Seta? Mengapa tanggung jawab sebesar ini dipikulnya sendirian? Sayangnya, mulutnya tidak sampai hati bicara seperti itu. "Rumah Pamanmu?" Akhinya hanya itu yang keluar dari mulut Arthur. Pertanyaan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dia tanyakan. Seta menoleh, "rumah Paman tidak jauh dari gang ini. Paman hidup di bengkel bersama dengan Bibi. Lain kali aku ajak kamu kesana. Paman dan Bibi tidak punya anak, mereka berdua yang merawat aku dan adikku sejak kecil. Ibuku meninggal ketika melahirkan adikku dan Bapakku tidak pernah kembali setelah merantau entah ke kota mana. Aku tidak tahu di mana Bapakku sekarang." Arthur hanya mengangguk saja, dia tidak berani memberikan saran atau kata-kata menenangkan. Dia paham betul rasanya ditinggalkan seperti itu oleh orang tua. Walaupun orang tuanya masih utuh, tetapi tidak ada yang benar-benar merawatnya dengan baik. "Hm, apa kamu bahagia tinggal bersama dengan keluargamu?" Tanya Seta yang telah menyelesaikan acara memasak mi instannya. Arthur tersenyum tipis, "biasanya orang-orang tidak pernah bertanya tentang kebahagiaanku. Terkadang mereka langsung memvonis jika hidupku begitu sempurna. Memang sempurna kelihatannya, tetapi apa itu menyenangkan? Jawabannya tidak." "Apa yang paling kamu inginkan?" Tanya Seta lagi sambil menyodorkan satu piring plastik kepada Arthur. Seta membagi mi instan yang ia buat ke piring Arthur. Seumur-umur, Arthur belum pernah makan memakai piring plastik. Mi instan pun jarang sekali. "Pakai nasi," ucap Seta menunjukkan satu piring nasi yang sudah mulai mengeras. Dengan ragu, Arthur menyendokkan mi instan yang diberi nasi lumayan keras itu ke dalam mulutnya. Arthur terdiam cukup lama—makan seperti ini tidak buruk juga. Pembicaraan mereka terhenti karena makan siang yang terasa mewah ini. Arthur menatap piringnya yang telah bersih—tidak ada nasi yang tersisa sama sekali. Entah mengapa, makan sederhana seperti ini lebih bermakna ketimbang memiliki makanan yang banyak tapi membuatnya merasa sendiri. Bagaimana tidak? Hanya ada dirinya di meja makan—sendirian. "Makasih ya untuk makanannya," ucap Arthur tulus sebelum pulang ke rumahnya. Seta mengangguk, "kamu belum jawab apa yang aku tanya." Arthur mengerutkan keningnya bingung, "apaan?" "Apa yang paling kamu inginkan?" Arthur terdiam cukup lama, "aku ingin memilih jalan hidupku sendiri. Aku ingin bahagia juga! Apa itu tidak mungkin?" ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN