Bertunangan mungkin akan menjadi proses untuk menuju pernikahan. Di mana saat itu akan menyatukan dua manusia menjadi satu—Arthur dan Seina. Mungkin, Seina bahagia saja karena bisa menikah dengan Arthur, setidaknya masa depan anaknya bisa terselamatkan. Toh, anak yang masih dalam kandungannya itu bisa dekat dengan ayah kandungnya. Mungkin itu bisa menjadi nilai plus menikah dengan Arthur.
Seina juga ingin mematahkan semua anggapan teman-teman sekolahnya yang mengatakan jika Arthur tidak mungkin bisa dimilikinya. Nyatanya Arthur sekarang akan bertunangan dengannya—menjadi calon suaminya dan akan selamanya bersamanya. Walaupun dalam tanda kutip, terpaksa.
Suara musik mengalun lembut dari speaker pengeras suara. Arthur tidak keluar dari kamar hotel yang mereka pesan khusus untuk tempat istirahat atau berdandan, sejak tadi. Arthur benci malam ini—malam yang membuatnya tidak tenang, membuatnya kehilangan hal yang dia sukai, membuatnya tertekan, bahkan membuatnya bertanggung jawab dengan apa yang tidak dirinya lakukan. Dunia kejam? Tentu saja sangat kejam.
Gedung utama hotel ini akan menjadi tempat acara pertunangannya dengan Seina. Sungguh sangat membosankan karena acaranya terlalu panjang dan banyak orang—entah itu tamu dari Raja atau Ratna. Bahkan ada sebagian teman Reon sesama artis yang hendak memberikan kontribusi mereka pada acara pertunangannya. Entah apa yang akan mereka kontribusikan, Arthur tidak peduli.
Orang tuanya memang total dalam menyelenggarakan acara yang tidak dia suka. Arthur sama sekali tidak ikut campur dalam acara ini. Dia hanya terima bersih. Walaupun semua orang tampak antusias dengan pertunangannya, Arthur terlihat biasa saja, cenderung tidak bahagia.
Arthur merasa hidupnya layaknya robot yang bisa disetir oleh kedua orang tuanya. Mereka selalu begitu, memaksanya melakukan ini dan itu. Tidak memberikannya ruang yang cukup untuk berkembang. Padahal mereka tahu, Arthur tidak ingin seperti ini—tidak ingin masuk IPA, tidak ingin memimpin perusahaan, tidak ingin menikah dengan Seina, dan banyak tidak inginnya sampai Arthur lupa.
Jika hidup sebagai anak orang kaya sangat sulit, lebih baik sederhana saja. Arthur juga iri dengan semua temannya yang memiliki keluarga hangat. Tidak seperti dirinya yang hanya memiliki keluarga palsu dan menggunakannya sebagai ajang pamer semata.
Klek. Ratna masuk ke kamar Arthur. Perempuan itu sudah siap dengan mengenakan kebaya modern yang terlihat mahal dan mewah. Bahkan aura perempuan itu begitu kuat.
"Mommy punya dua kartu akses?" Tanya Arthur tanpa menoleh sama sekali. Laki-laki itu lebih fokus pada pemandangan di bawah sana—ada banyak mobil yang berjajar dengan orang-orang kaya yang memakai jas dan gaun mahal.
Ratna berjalan mendekati Arthur yang tidak menatapnya sama sekali sejak dirinya masuk, "tamu-tamu sudah datang dan perempuan itu sudah selesai dandan. Ayo keluar dan selesaikan acara ini secepat mungkin. Mommy tidak mau berlama-lama."
Arthur tersenyum sinis, "aku merasa janggal dengan semua ini. Mommy sampai susah-susah membuatkan acara pertunangan semewah ini, tapi Mommy masih alergi memanggil nama Seina dengan benar. Apakah pertunangan ini lebih penting dari masa depanku?"
Ratna menghela napas panjang lalu menatap anaknya kembali, "kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya, Arthur!"
"Mommy hanya menggunakan aku dan Seina untuk pamer pada publik, bukan? Mommy akan meluncurkan produk baru dan memerlukan suatu hal untuk menarik pembeli. Dengan pemberitaan ini, aku yakin produk Mommy akan laku keras. Bukankah begitu yang Mommy inginkan?" Tandas Arthur menatap Ratna dengan tajam.
Ratna tidak menjawab, sedangkan Arthur sudah keluar dari kamarnya untuk segera menyelesaikan pertunangan bodoh ini dan memberantas semua omong kosong tentang pertunangannya dengan Seina. Arthur muak dan ingin pulang secepatnya.
Di ruangan itu sudah dipenuhi oleh para wartawan yang sibuk dengan kamera masing-masing. Arthur dan Seina tampak serasi dengan pakaian yang sama. Arthur mengenakan jas warna merah muda, begitupula dengan Seina yang menggunakan kebaya warna merah muda yang terlihat sangat mahal. Tentu saja begitu, karena Ratna memesankan semua pakaian itu di desainer ternama.
Jika dilihat sekilas, maka tidak ada yang janggal dari hubungan Arthur dan Seina. Bahkan mereka terlihat sangat romantis karena bergandengan tangan. Reon yang berada di ujung ruangan bersama teman-temannya pun tampak sedang menikmati pesta. Lupa bahwa pesta ini seharusnya untuknya—bukan untuk Arthur.
Acara yang ditunggu pun tiba, yaitu pemasangan cincin tunangan. Seina tampak takjub dengan cincin mahal yang sengaja dipesankan. Ini semua adalah rancangan Ratna—yang membuat tamu-tamu di sana berdecak kagum. Mungkin sebagian pun merasa iri karena tidak bisa berada di posisi Seina saat ini.
Satu demi satu acara telah terlewati, Arthur bisa bernapas lega ketika dia berhasil melewati acara ini dengan kesabaran yang tidak ada habisnya. Setelah sibuk menebarkan senyum kesana-kemari karena paksaan dari Ratna—akhirnya Arthur bisa segera menghilang dari tempat itu. Namun, semua penderitaannya belum selesai ketika banyak wartawan yang ingin tahu tentang perjodohannya dengan Seina.
Arthur benci mengatakan jika ini adalah perjodohan—jika boleh jujur, Arthur akan mengatakan bahwa ini adalah paksaan. Paksaan karena Reon tidak mau bertanggung jawab pada bayinya sendiri.
"Bu, bisa dijelaskan kepada pemirsa di rumah, mengapa Bapak dan Ibu lebih memilih menjodohkan putra kedua dari keluarga Dewangga ketimbang putra pertama Bapak dan Ibu?" Tanya salah satu wartawan yang sejak tadi sudah stand by di halaman hotel sejak sore.
Ratna yang sedang berdiri bersama dengan Raja terlihat tenang. Bahkan sudah biasa untuknya berada di depan kamera tanpa rasa gemetar sama sekali.
"Baik, akan saya jelaskan mengapa kami menjodohkan Arthur—anak kedua kami dengan ..." Ratna tampak mengingat-ingat nama Seina yang memang jarang atau malah tidak pernah diucapkannya. "... Seina. Jadi begini, perjodohan ini terjadi karena kedua anak kami sudah saling suka sejak lama. Kami sebagai orang tua tidak ingin anak kami terjerumus pada pergaulan bebas. Sehingga, kami sebagai orang tua sepakat untuk menikahkan mereka. Seperti itu." Ucap Ratna dengan wajah yang sangat meyakinkan.
Arthur muak dengan semua cerita yang dikarang Ratna. Laki-laki itu diam-diam meninggalkan pesta. Dia bukan bagian dalam pesta meskipun berulang kali Ratna menyebutnya di dalam wawancara dengan beberapa wartawan yang datang.
Arthur mencari tempat sepi, sebuah taman yang berada di belakang hotel. Untunglah keluarganya menjadikan gedung utama sebagai tempat untuk acara pertunangannya. Setidaknya, taman belakang yang sepi ini tidak dihuni oleh banyak manusia. Sudah lama tidak menikmati rokok. Setelah Mirna tahu jika dirinya merokok dan langsung melarangnya dengan keras—dia tidak pernah merokok lagi. Apalagi setiap ada masalah dan suntuk, dia bisa bercerita kepada Mirna. Lalu sekarang? Arthur tidak bisa seperti itu. Dia tidak punya tempat untuk bersandar dan bercerita tentang masalahnya.
"Lo pasti lelah," ucap Seina yang baru saja keluar dari gedung untuk mengikuti kemana Arthur pergi.
Arthur menjepit sebatang rokok di mulutnya, tidak peduli dengan kehadiran Seina yang mulai mendekatinya.
"Kamu bisa diam di sana, enggak? Please, biarin aku merokok tanpa gangguan siapapun." Bentak Arthur, meminta Seina untuk meninggalkan dirinya sendiri.
Seina tidak mengindahkan ucapan Arthur, malah semakin mendekat. Arthur menghela napas panjang lalu membuang batang rokoknya yang belum digunakannya. Sudah berapa kali Seina mengganggu kegiatannya? Sudah berapa kali Seina menguji kesabarannya?
"Kenapa dibuang rokoknya? Gue enggak masalah sama cowok yang ngerokok." Ucap Seina dengan tenang setelah berhasil menyusul Arthur.
"Bukan urusanmu," ketus Arthur.
Perempuan itu terus mengoceh dan selalu membicarakan hal-hal tidak penting. Sebenarnya Arthur ingin pergi dari sana—tetapi kemana? Dia masih tahu diri dan menjaga nama baik orang tuanya, sehingga berdiri di taman ini. Jika sudah tidak peduli dengan nama baik keluarganya, Arthur sudah pulang sejak tadi.
"Dingin ya?" Ucap Seina memberi kode kepada Arthur bahwa dirinya sedang kedinginan.
"Aku enggak bakalan ngasih jas ini sama kamu. Kalau kedinginan, sana masuk! Kamu udah besar, harusnya bisa jaga diri sendiri. Jangan terlalu mengandalkan orang lain." Jawab Arthur lalu masuk ke dalam ruangan kembali.
Mungkin, berdiri seperti orang bodoh akan lebih baik ketimbang berduaan dengan Seina. Arthur tidak menyukai Seina—mungkin sampai seterusnya.
###