BAB 4 [PART 1]

1222 Kata
Semenjak Mirna berhenti, semuanya kacau. Arthur merasa, tidak ada satu orang pun pelayan yang bisa bekerja dengan baik seperti Mirna. Tidak ada yang bisa dibandingkan dengannya karena sudah mengurus Arthur sejak bayi. Bagaimana pun kondisi Arthur, tentu saja Mirna sudah sangat paham dan tahu cara mengatasinya. Bahkan semua kesukaan dan apa yang tidak Arthur suka, Mirna sudah tahu. Tidak perlu menjelaskan apapun, Mirna juga bisa merasakannya. Mungkin, insting seorang ibu malah Mirna miliki ketimbang Ratna kepada Arthur. Memang, Ratna yang telah melahirkannya. Namun, Ratna tidak pernah mengurusnya. Baru beberapa hari ini saja, Ratna sudah dibuat pusing tujuh keliling karena sikap Arthur. Apapun yang dilakukan perempuan itu, selalu salah di mata Arthur. Ah, atau mungkin karena Ratna malu mengakui, jika dirinya tidak pernah tahu apa kebiasaan dan keinginan anaknya. Tidak bisa sabar dan tidak tahu cara mengurus anak. Ratna begitu memanjakan dengan uang, tidak peduli bagaimana sikap anak-anaknya. Mungkin Ratna bisa mengendalikan Reon dengan banyak uang, namun berbeda dengan Arthur yang tidak peduli dengan banyaknya uang yang diberikan orang tuanya. Jika tidak suka, maka dia seenaknya berontak saja. Sore ini Arthur memilih untuk diam di dalam kolam renang setelah lelah berenang. Sesekali Arthur menyelam untuk membasahi kepalanya. Kolam renang ini tampak sepi, tidak pernah dipakai siapapun kecuali dirinya. Dia pun merasa bingung, mengapa orang tuanya susah-susah membuat kolam renang hanya untuk pajangan saja. Bahkan Raja atau Ratna, sepertinya belum pernah menikmati dinginnya air kolam. Datang ke kolam renang pun, mungkin hanya untuk melihat Arthur saja—memanggil, memarahi, mengomel, dan menyuruhnya untuk berhenti melakukan sesuatu. Jangan tanyakan Reon, laki-laki itu tidak sempat untuk berenang. Mana mungkin Reon sempat melakukan sesuatu di rumah kecuali tidur. Pulang pun hanya kadang-kadang, jika ingat mungkin. Reon terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja—entah syuting film, syuting iklan, atau pemotretan untuk majalah. Setelah selesai bekerja pun, bar atau hotel menjadi tujuan utama untuknya. Jadi, rumah itu untuk apa? Hanya sekedar singgah saja! Senja mulai menghilang digantikan dengan malam. Arthur keluar dari kolam renang, di atas meja sudah tersedia kopi panas. Arthur hanya menatapnya—tidak berniat untuk meminumnya sama sekali. Biasanya, Mirna akan membuatkannya teh hijau hangat dan membawakannya biskuit kacang. Sayangnya, tidak ada yang tahu itu. Arthur sempat melihat perempuan muda datang membawakannya kopi ini. Sebenarnya Arthur tidak peduli siapa pelayan itu, walaupun Ratna memperkerjakannya untuk merawat dirinya—menggantikan Mirna. Ratna tidak mungkin setiap saat mengurus Arthur sedangkan dirinya harus fokus pada launching produk terbarunya. Namun yang Arthur pikirkan adalah, mengapa Ratna memberikan seorang pelayan yang masih muda. Mungkin umurnya hanya berbeda dua atau tiga tahun darinya. Tatapannya terlihat genit walaupun Arthur tidak terlalu melihatnya. Setelah puas memandangi kopi dalam gelasnya, laki-laki itu membungkus dirinya dengan handuk dan kembali masuk ke dalam rumah. "Mana pelayan itu?" Tanya Arthur kepada semua pelayan yang berada di dapurnya. Mereka semua saling pandang, tampak bingung karena tidak mengerti siapa yang Arthur maksud. Arthur yang melihat kebingungan di wajah pelayan di rumahnya, kembali meralat ucapannya. "Pelayan baru yang Mommy berikan padaku." Mereka menganggukkan kepalanya paham, "maaf Tuan muda, kami juga tidak melihatnya lagi setelah Tuan muda Reon memanggilnya." Arthur mengerutkan keningnya bingung, "baiklah! Nanti kalau dia datang, bilang padanya untuk tidak membuatkan aku kopi. Aku tidak suka kopi!" Pelayan-pelayan itu hanya menunduk dan mengangguk. Setelah itu Arthur berjalan menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya. Namun, Arthur cukup penasaran dengan pelayannya yang tidak kembali setelah dipanggil Reon. Arthur menghentikan langkahnya untuk masuk ke dalam kamarnya dan berjalan menuju kamar Reon. Arthur langsung membuka kamar Reon dan terlihat kamar itu masih rapi—seperti tidak ada yang menggunakan. Itu artinya Reon baru saja pulang. Tetapi, di mana Reon sekarang? Arthur melangkahkan kakinya untuk menuju satu ruangan lagi. Ruangan paling pojok yang biasanya digunakan Reon untuk rapat secara pribadi bersama dengan manajernya. Arthur mengerutkan keningnya ketika dia mendengar suara-suara aneh yang terdengar dari dalam ruangan itu. Dengan santainya, Arthur membuka pintu ruangan itu yang tidak dikunci. Mungkin pikir Reon, ruangan ini tak akan disambangi Arthur. Sayangnya perkiraannya salah. Reon yang baru saja hendak melakukan aksinya pun berhenti. Pelayan perempuan yang sudah tidak mengenakan pakaian atasan pun buru-buru menutupi dadanya. Mereka berdua tampak gelagapan, berbeda dengan Arthur yang terlihat biasa saja. "Apa aku mengganggu kesenangan kalian?" Tanya Arthur sinis. Reon merapikan bajunya karena dia masih menggunakan pakaian lengkap. Sedangkan si pelayan muda itu buru-buru menggunakan bajunya. "Lo bisa enggak kalau masuk ketuk pintu dulu?" Tandas Reon marah. Arthur tersenyum sinis, "untuk apa? Oh, aku tahu, supaya aksimu tidak terganggu. Kamu benar-benar sudah tidak bisa tertolong rupanya." Reon mencekik leher Arthur cukup kuat, namun tidak membuat adiknya itu goyah. Arthur memiliki tubuh yang lebih tinggi dari Reon dan memiliki otot yang jauh lebih kuat dari Reon. Cekikan itu tidak ada apa-apanya untuk Arthur. "Berhenti bermain-main dengan hidup gue! Elo enggak berhak untuk merusak kesenangan gue." Bentak Reon kepada Arthur. Arthur menghempaskan tangan Reon dan mendorongnya kasar, "kamu bisa berbuat dosa di manapun. Tapi tidak dengan rumah ini! Jangan jadikan rumah ini kandang iblis. Kalau kamu mau melakukannya, silakan di luar rumah ini. Jangan membawa sampah ke dalam rumah. Ah, atau kalau kamu tidak bisa membawa sampah itu keluar. Biar aku bantu untuk mengeluarkannya!" "Apa maksud Lo?" Tandas Reon. Arthur masuk ke dalam ruangan itu, menarik paksa pelayan muda itu agar keluar. Terdengar penolakan pelayan muda itu cukup keras karena tangan kanannya ditarik oleh Arthur dengan kasar. Tidak peduli seberapa kencang teriakan kesakitan itu, Arthur tetap menyeret pelayan muda itu untuk menuruni anak tangga. Reon berulang kali menyingkirkan tangan Arthur dari tangan pelayan muda itu. Tetapi tenaganya kalah kuat. Ditambah lagi Reon masih dalam mode teler. Dengan satu hentakan, pelayan muda itu didorong keluar dari rumahnya dengan kasar—membuat beberapa orang yang berada di dalam rumah kaget. Mereka tidak pernah melihat Arthur semarah itu pada seorang pelayan. Walaupun kasar, Arthur tidak pernah bermain tangan. Pelayan perempuan itu menangis karena kesakitan dan mungkin malu. Bahkan Ratna dan Raja baru saja keluar dari mobil kaget dengan perlakuan Arthur pada pelayan yang baru sehari bekerja di rumah mereka. "Arthur, apa-apaan kamu!" Bentak Raja dengan keras. "Heh, kalian yang ada di dalam, bantu dia." Perintah Raja kepada beberapa pegawai rumahnya yang berada di belakang Arthur dan Reon. Reon mengusap wajahnya karena urusannya akan panjang. Apalagi orang tuanya berada di depannya. "Kamu benar-benar keterlaluan, Arthur! Kamu boleh saja marah karena Mirna keluar dari rumah ini, tapi tidak seperti ini caranya! Kamu keterlaluan kalau sampai berbuat kriminal seperti ini!" Bentak Raja yang tidak ada habisnya. Bahkan Ratna sudah maju dan menampar pipinya, "bisa dituntut kamu! Enggak tahu malu." Arthur masih diam saja, menatap Ratna dengan tatapan tajam. Sudut bibirnya terangkat ketika beberapa orang tengah membantu pelayan itu untuk bangkit. "Kenapa kalian tidak bertanya dulu kepadanya, rayuan seperti apa yang Reon berikan kepada perempuan ini, sampai-sampai mereka ingin melakukannya di rumah ini. Ya, itu biasa untuk Reon, siapa yang tidak tahu hal itu? Perempuan bagi Reon seperti pembalut bukan? Sekali pakai, buang." Ucap Arthur yang terdengar kasar. "Hei, kamu jangan bodoh dan terus menganggap Reon menyukai kamu. Dia ini predator! Kalau kamu sama saja dengannya, mungkin itu bukan menjadi masalah." Ucapnya dengan sedikit tertawa. "Menjijikkan!" Semua orang diam saja, tidak ada yang berani memotong ucapan Arthur. Bahkan sampai laki-laki itu berjalan pergi meninggalkan pintu depan rumah mereka. Ratna menatap Reon yang kembali menunduk, "bukankah sudah Mommy bilang!" "Maaf Mommy, aku khilaf!" Raja memejamkan matanya lalu beralih menatap perempuan yang sedang dipapah pegawainya, "kamu saya pecat! Silakan ambil gaji kamu dan jangan pernah mengatakan apa yang terjadi jika ingin hidup kamu baik-baik saja. Saya tidak segan untuk menghancurkan apa saja yang menghalangi saya!" ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN