BRAKK...
Terdengar benturan keras dari ujung jalan raya. Beberapa pengemudi yang baru melintas hanya bisa menunduk takut. Sedangkan beberapa warga di daerah sana keluar dari rumah untuk melihat apa yang terjadi. Kemacetan pun terjadi—beberapa orang tengah sibuk menghubungi ambulance dan sebagian juga menghubungi polisi. Tidak ada yang berani mengangkat korban kecelakaan yang tergeletak di aspal jalanan dengan darah yang sangat banyak.
Truk bermuatan itu menabrak motor yang melintas di depannya. Beberapa saksi mata mengatakan jika truk yang dikemudikan seorang bapak itu sudah mulai berjalan tidak normal karena kelebihan muatan. Ditambah sopir sedang mengantuk berat sehingga kendaraan yang dikendarainya oleng dan mengakibatkan kecelakaan.
Sedangkan motor hitam di depannya ringsek tidak berbentuk dengan sang pengendara yang terpental lumayan jauh—masih mengenakan helm-nya karena belum ada yang berani untuk mendekat.
Warga sekitar seperti menahan sang supir truk agar tidak kabur. Mereka sudah mengantisipasinya terlebih dulu karena tidak mau kecolongan. Tidak berapa lama sirene ambulance terdengar nyaring dan mobil polisi berdatangan. Mereka buru-buru keluar dan memasang police line di sekitar lokasi. Tenaga medis yang keluar dari ambulance langsung mendekat ke arah korban yang berada di aspal. Mengecek kondisi korban untuk melakukan penanganan yang tepat.
"Kondisinya kritis," ucap salah satu tenaga medis yang berada di sana. Lalu semua tenaga medis dibuat sibuk.
Orang-orang berlalu-lalang, tetapi tak ada yang berani mendekat. Beberapa polisi sudah mengambil alih agar tak ada warga yang masuk area yang saat ini dibatasi garis polisi.
Arthur berjalan melewati beberapa orang dan berhenti cukup jauh. Dia tidak mau sampai diusir-usir karena melewati garis. Dia hanya mengamati dari jauh—sampai sadar suatu hal. Ketika melihat motor yang ringsek adalah motor ... miliknya.
Arthur buru-buru mendekat, tidak peduli jika sampai dirinya dihadang oleh petugas. Namun, entah mengapa tidak ada yang mempedulikan dirinya dan membiarkannya tetap berjalan mendekat. Semua keanehan itu tidak bisa diterima begitu saja oleh Arthur. Apalagi ketika dirinya melihat orang yang tergeletak di aspal dengan darah yang mengucur deras.
Matanya tidak lepas dari sosok yang tengah ditangani tenaga medis. Helm itu begitu dikenalnya, baju itu sama dengan yang dikenakannya, motor itu juga adalah motornya, tas itu adalah tas sekolahnya—semuanya sama dan orang yang terbaring di trotoar itu adalah dirinya.
Arthur menggelengkan kepalanya dan berusaha untuk tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Namun, sayang sekali, semuanya benar-benar terjadi. Bukan hanya sekedar mimpi, bukan khayalan, atau mungkin sebuah hal yang lucu—yang bisa dia tertawakan.
Tubuhnya seperti lemas, dia baru saja ingat kejadian itu. Kejadian ketika ada truk yang tiba-tiba menabraknya dan membuatnya terpental jatuh sampai seperti ini. Namun, Arthur tidak bisa mempercayai jika rohnya tidak lagi menyatu dengan raganya. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin rohnya keluar dari raganya. Bahkan ini bukan film atau cerita yang ada di dalam novel misteri.
Mana mungkin Arthur yang sangat mencintai ilmu pasti dihadapkan pada kondisi seperti ini. Kondisi ketika dirinya tidak bisa mengaitkan ilmu manapun dengan dirinya yang seperti ini. Dengan semua usahanya, Arthur mencoba untuk membuat orang lain tertarik kepadanya, agar orang-orang di depannya melihat apa yang dilakukannya. Tetapi semuanya mustahil dan sia-sia.
"Percuma! Mereka tidak bisa melihat kamu!" Ucap seorang laki-laki yang mengenakan jubah hitam.
"Siapa kamu?" Tanya Arthur dengan nada ketakutan.
Laki-laki itu tersenyum, "aku adalah Dewa Kesempatan. Panggil saja aku begitu."
Arthur tertawa, tidak ingin percaya dengan ucapan laki-laki berjubah di depannya. Arthur adalah orang paling logis, mana mungkin dia percaya hal seperti ini. Tetapi, dia kembali diam. Menyadari dirinya yang sekarang pun terlihat tidak logis sama sekali.
"Apa aku sudah mati?"
Tiba-tiba pertanyaan itu keluar dari mulut Arthur. Seperti ada nada takut di ujung kalimatnya. Iya, apakah dia sudah mati sekarang? Lalu, laki-laki di depannya ini adalah orang yang akan mengajaknya pergi ke langit yang jauh—tidak tinggal lagi di bumi.
Arthur mundur beberapa langkah lalu berlari menjauh, dia tidak mau mati. Dia tidak mau meninggalkan semua yang belum selesai di dalam hidupnya. Arthur menatap ke arah laki-laki berjubah itu, dia hanya diam. Tidak berusaha untuk mengejarnya.
Rasanya ingin berteriak, tetapi tidak tahu harus berteriak seperti apa agar orang-orang mendengarnya. Bahkan semua orang tampak sibuk dengan tubuhnya—berlalu-lalang membawa dirinya ke ambulance dengan ranjang dorong dari rumah sakit.
"Perhatikan langkahmu! Hati-hati karena kamu tidak bisa menembus benda apapun. Ingat, kamu bisa terbunuh walaupun dalam bentuk roh!" Ucap laki-laki berjubah hitam yang entah bagaimana caranya bisa berada di depannya.
"Pergi kamu! Ini hanya khayalan, Arthur. Khayalanmu! Ini hanyalah mimpi—jangan percaya apapun yang ada di dalam mimpimu." Ucapnya pada diri sendiri.
Sebelum pintu ambulance tertutup, Arthur sudah ikut naik kesana. Dia bingung melihat tenaga medis yang sedang memasangkan alat-alat medis ke tubuhnya. Arthur masih bisa mendengar deru napasnya—seperti tidak mungkin jika rohnya berada di sini dan raganya terbaring kaku di depannya.
Apa yang harus dilakukannya?
Arthur mencoba berpikir dengan logis. Tetapi tidak ada jawaban yang bisa menjawab pertanyaannya. Dia bersiap untuk masuk ke tubuhnya—jika dia bisa keluar, pasti bisa masuk lagi. Namun, baru hendak mendekat—suara alat yang biasanya digunakan untuk mendeteksi detak jantung mulai terdengar nyaring. Arthur buru-buru menjauh, hampir saja dia mati. Setelah menjauh, suara itu normal kembali. Sesaat dia tidak sadar bahwa hal itu sangat fatal.
Arthur kembali mengingat tentang ucapan laki-laki berjubah itu, "... Ingat kamu bisa terbunuh walau dalam bentuk roh!"
Arthur frustasi, apa yang harus dia lakukan untuk masuk kembali ke dalam tubuhnya. Bagaimana caranya agar tidak menjadi roh gentayangan seperti ini—walaupun saat ini Arthur tidak tahu sudah mati atau belum.
Tiba-tiba pintu ambulance dibuka, Arthur turun terlebih dahulu dan ikut berjalan di belakang ranjangnya yang sudah didorong beberapa tenaga medis yang menunggu di depan pintu UGD.
"Aduh!" Suara perempuan yang saat ini jatuh di depannya membuatnya bingung. Pasalnya, perempuan itu sedang menatapnya.
"Hati-hati dong, Mas. Lain kali kalau jalan lihat-lihat," gerutu perempuan itu dengan menatap Arthur.
Karena merasa tidak masuk akal, Arthur kembali berjalan—menyusul ranjangnya yang telah didorong ke ruangan UGD. Sebelumnya, dia ingin masuk, namun tidak jadi. Rasanya Arthur merasa sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa berdiri di depan pintu, mencoba untuk memegang pintu atau membukanya. Sayangnya, memang tidak bisa. Arthur tidak bisa memegang apapun. Dia juga tidak bisa menyentuh siapapun, tidak bisa dilihat orang lain.
Arthur menatap laki-laki berjubah itu—entah sejak kapan dia ada di sana. Namun, Arthur buru-buru mendekat karena hanya laki-laki itu yang bisa melihatnya dan mungkin saja bisa membantunya.
"Tenanglah!" Ucap laki-laki itu yang menahan langkah Arthur mendekat padanya. "Kamu akan mendapatkan semua jawaban yang ingin kamu tanyakan. Tapi tunggullah sebentar lagi." Sambungnya.
"Siapa kamu?" Tanya Arthur sekali lagi.
"Dewa Kesempatan!" Jawabnya.
"Kamu Dewa kematian?" Tanya Arthur memastikan dan takut-takut. "Kalau memang kamu dewa kematian, silakan bawa aku sekarang." Tegasnya.
Laki-laki berjubah itu tersenyum lalu berjalan sedikit menjauh, "sabarlah! Belum waktunya kamu mendengar semuanya. Tugasmu sekarang adalah tenang. Jangan membuat tindakan yang bisa membahayakan dirimu sendiri. Dan satu lagi, jangan berusaha untuk masuk ke tubuhmu dengan caramu sendiri. Itu akan berakibat fatal!"
Wush...
Arthur menatap kepergian laki-laki berjubah hitam itu dengan sekejap. Hanya mengibaskan jubahnya dan tiba-tiba menghilang begitu saja. Arthur menghela napas panjang lalu terdiam kembali. Dia memang tidak menangis, tidak meraung-raung, tetapi semua pertanyaan ini membuatnya semakin bingung.
Apa yang harus dia lakukan?
Berapa lama dirinya menunggu penjelasan laki-laki berjubah hitam yang menyebut dirinya sebagai "Dewa Kesempatan"?
###