T I G A

1865 Kata
Humairah, gadis cantik berhijab ini baru saja selesai sholat dhuha lalu menyempatkan diri untuk mengaji. Membaca Qur'an sudah seperti hobi untuknya. Banyak banget yang bisa ia dapatkan dengan membaca kitab suci umat muslim itu. Pertama, ia bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Kedua, memberikan ia kedamaian dan ketenangan dalam hidup. Ketiga, mendapatkan sakinah, rahmat, serta dinaungi para malaikat. Dan ia akan mendapatkan kebaikan-kebaikan yang lainnnya lagi. Pokoknya dengan ia rajin membaca Al-Qur'an hidupnya terasa lebih membahagiakan. Jauh dari rasa gundah. Terkadang kan, hidup ini selalu saja ada masalah. Entah itu masalah kecil atau besar, keduanya sama-sama memberikan rasa sakit. Namun, dengan membaca Al-Qur'an insya Allah semua akan baik-baik saja. Disela Humairah sedang asyik membaca Al-Qur'an, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. "Shadaqallahul-'adzim." Humairah menyudahi mengajinya dan menutup Al-Qur'an-nya dan menyimpan Al-Qur'an itu di atas nakas. Humairah membuka mukenanya dan menaruh mukena itu di dalam lemari. Setelah itu baru ia beranjak membuka pintu kamarnya. "Ada apa Bi?" tanya Humairah. Abi-nya yang ternyata mengetuk pintu kamarnya. Awalnya ia mengira yang mengetuk pintunya itu bi Ina, pembantu rumahnya. Rupanya Abi-nya yang datang menemuinya. Entahlah kenapa Abi-nya itu datang menemuinya padahal jarang sekali Abi-nya pagi-pagi pergi ke kamarnya. Abi-nya 'kan selalu tahu jika jam segini ia sibuk mengaji. Namun kenapa sekarang malah datang dan jadi membuatnya harus berhenti membaca Al-Qur'an. Ada urusan penting kah? Abi-nya melempar senyum lalu menggapai pundaknya. "Kamu dilamar seorang dokter, Nak," kata Hasan membuat wajah putrinya langsung berubah jadi semacam menggambarkan orang yang sedang kaget setelah mendengar sesuatu yang tak biasa. Dilamar? "Hah!" Humairah langsung terkejut. Benarkah ia dilamar? Siapa yang melamarnya? Apa ia tidak salah dengar? Atau Abi-nya itu sedang membuat lelucon? "Abi pasti bercanda, kan?" tanya Humairah tak percaya. Abi-nya itu suka mencandainya. Pasti kali ini ia juga dicandai oleh Abi-nya itu. Abi-nya itu kadang-kadang jaim juga. "Abi serius kali ini, abi gak bohong," ucap Hasan menyakinkan anaknya. Dia tidak sedang bercanda. Putrinya itu malah tidak percaya dengannya. "Abi gak main-main, Bi. Abi serius?" tanya Humairah. Hasan mengangguk mantap. "Iya, abi serius kali ini," jawabnya. "Ada yang melamar kamu. Prianya juga baik, dan abi senang sekali. Akhirnya abi punya menantu juga." Jadi, hari ini ia betul-betul dilamar. Benarkah itu? Apa ini hanya mimpi? Humairah mencubit pipinya. Terasa sakit. Rupanya ini kenyataan. Siapkah ia untuk dilamar? Oh tidak. Ia belum siap jika sekarang ia dilamar. Terlalu dadakan. "Abi menjodohkan Humairah ya, Bi?" tanya Humairah curiga. Jangan-jangan Abi-nya itu menjodohkannya secara diam-diam. Tanpa meminta perizinannya dulu. Jika itu benar, ia akan kecewa pada Abi-nya. Harusnya Abi-nya itu memberitahunya dulu, jangan main dijodohkan gitu aja. Harus tahu ia mau atau gak dijodohkan. Jika ia mau baru boleh. Ini main langsung lamar. Ia 'kan belum siap jika keadaannya seperti ini. "Enggak. Abi gak jodohin kamu sama siapapun. Tapi temanya abi yang tiba-tiba datang dan ingin menjadikan kamu menantunya. Mereka yang datang bermaksud baik, jadi abi terima dengan baik juga," jawab Hasan. "Enggak mungkin Bi, pasti Abi kan, yang jodohin Maira. Mana mungkin orang tiba-tiba datang gitu aja, main langsung lamar lagi." "Enggak, abi gak jodohin kamu. Mereka yang datang bermaksud baik untuk menjodohkan anak mereka dengan kamu. Cocok lah, kamu dengan dokter itu. Dia tampan dan terlihat baik. Abi yakin dia bisa membahagiakan kamu. Insyaallah kalian akan jadi pasangan yang sakinah mawadah warahmah," jelas Hasan. "Sama aja Abi jodohin aku, Bi." "Ya gapapa lah, Maira. Kamu kan, juga udah dewasa. Jadi sudah sepantasnya untuk kamu menikah. Abi juga udah gak sabar punya menantu." Humairah menghela nafasnya. "Iya deh, iya," ucapnya pasrah. Sebagai gadis baik ia harus menurut dengan orang tuanya. Gak boleh ngebantah. Jadi anak harus berbakti kepada orang tua. Ya cara berbaktinya seperti ini. Terima dengan lapang d**a keputusannya. Orang tuanya juga pasti memilihkan yang terbaik untuknya, jadi menurut saja. "Sebaiknya kamu temui mereka. Keluarga pemuda itu sedang menunggu kamu di ruang tamu. Sebaiknya kamu bersiap-siap." "Baik Bi." "Abi, duluan ya," pamit Hasan. Humairah mengangguk. Hasan beranjak pergi meninggalkan Humairah. Sedangkan Humairah masuk kembali ke dalam kamar dengan perasaan kebingungan. Gimana ia gak bingung. Tengah asyik mengaji tiba-tiba abi-nya bilang ada yang melamarnya. Momen seperti ini gak pernah ia alami sebelumnya. Apalagi ia dilamar secara mendadak begini. Siapa yang melamarnya pun dia enggak tahu. Humairah jadi deg-degan. Ia jadi gugup. Haruskah ia menemui dokter yang melamarnya itu? Apa ia tolak aja lamarannya? Jujur saja ia belum siap. Tapi sebaiknya ia temui dulu dokter itu. Ia jadi penasaran juga dengan dokter yang nekat melamarnya itu. Kira-kira siapa dokter itu dan mengapa dokter itu melamarnya secara tiba-tiba begini? Apakah ini jawaban dari doanya yang ingin segera menikah? Entahlah, bisa jadi juga iya. Bisa juga bukan. Ia memang ingin segera menikah. Namun tidak dadakan juga seperti ini. "Dokter itu siapa ya?" tanya Humairah pada dirinya sendiri. "Apa dia mengenaliku?" "Apa jangan-jangan selama ini dia memperhatikan aku tanpa aku tau?" "Tapi dia siapa? Kenapa malah aku yang dia lamar? Bukankah banyak wanita yang lebih baik dariku? Kenapa dia malah memilihku?" "Ah, ini membingungkan sekali." *** Noah sudah tidak menangis lagi. Maka dari itu Faiz pun membawa Noah masuk kembali ke dalam rumah. Ia mendudukkan dirinya di samping papa-nya. Dan Noah terus memeluknya dan tidak mau dilepas. Jadinya Noah duduk di pangkuannya dengan posisi menghadapnya. "Faiz, sini biar mama aja yang mangku Noah," ucap Khadijah sambil ingin mengambil Noah dari Faiz. "Enggak mauk," tolak Noah. "Noah mau sama Ayah, gak mau sama Oma," tambahnya. Karena takut jauh dari ayahnya. Noah pun mempererat pelukannya. Membuat Faiz tersiksa dan merasa sesak. Jika Faiz berada di rumah, sudah ia marahi anaknya itu. Noah kelewat batas kadang-kadang dan ia jadi terbawa emosi. "Noah, kasihan Ayahnya. Ayah sakit nanti." Khadijah memberi pengertian untuk cucunya itu. Noah memang anak yang manja dan lengket sama Faiz. Khadijah jadi kasihan melihat Faiz yang tampak tersiksa meski hanya diam saja. Namun dia tahu bahwa putranya itu menahan sakit. "Ayah sakit, Yah?" tanya Noah dengan polosnya. "Sedikit," jawab Faiz seadanya saja. "Maaf, Ayah." Noah melepaskan pelukanya. Tapi dia tetap duduk di pangkuan Faiz dan menyandarkan dirinya di d**a Faiz. "Noah, jangan gitu dong. Ayahnya kan, mau bertemu calon bunda kamu. Nanti baju Ayah berantakan. Nanti calon bunda kamu gak mau lho, sama ayah kamu," ujar Ilham. Dengan trik akal-akalannya ini. Dia yakin pasti Noah mau melepaskan diri dari Faiz. Semoga saja. Noah turun dari pangkuan Faiz. Dan dengan tingkah polosnya dia pun merapikan baju Faiz. Khadijah dan Ilham tertawa melihat tingkah cucunya itu. "Udah rapi belum?" tanya Noah sambil menoleh ke Oma dan Opanya. "Udah kayaknya. Sini, opa pangku kamu." Ilham mengakat Noah dan mendudukkan cucunya di pangkuannya. Akhirnya Faiz bisa bernafas lega. Faiz berdiri untuk merapikan pakaiannya lalu ia duduk kembali. Ia jadi gugup seketika. Saat melihat Hasan yang mendekat ke arahnya. Lalu menepuk pundaknya saat lelaki yang mungkin seumuran dengan orang tuanya itu hendak mendudukkan diri. "Selamat ya, om menerima lamaran kamu. Selebihnya om serahkan pada anak om. Semoga dia menerima kamu juga," ucap Hasan. "Apa, aku diterima?" Faiz membatin. Faiz tersenyum kikuk saja tanpa mengucapkan terima kasih. Karena ia sama sekali tidak mengharapkan lamarannya diterima. Ia malah ingin mendapatkan penolakan. Tapi sayang, ternyata ia diterima. Sungguh mengesalkan. Faiz menghela nafas berat. Selang beberapa menit kemudian. Humairah pun menemui para tamunya. Dengan perasaan gugup Humairah mencoba bersikap tenang. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Ia menuruni satu persatu anak tangga. Saat sudah sampai di ruang tamu semua orang meliriknya dan melemparkan senyuman padanya. Kecuali satu orang, yaitu seorang pemuda yang hanya menundukkan kepala. Pria itu terlihat seperti sedang frustasi berat. "Mungkinkah pemuda itu? Benarkah? Dia, kan ..." Humairah membatin. "Ayah, itu pasti calon bunda Noah," ucap Noah sambil menunjuk seorang wanita yang berbusana muslimah kekinian namun tidak melanggar syariat islam. Humairah tersenyum memandang anak kecil yang sedang menunjuk ke arahnya. Lucu sekali anak kecil itu. Membuat Humairah gemas ingin mencubit pipi anak kecil itu. Ia sangat suka dengan anak kecil. Anak kecil itu menggemaskan menurutnya. Humairah berjalan mendekat lalu mendudukkan dirinya di samping abinya dan melempar senyum ramah kepada para tamunya. "Ternyata benar dia," batin Humairah saat melirik Faiz sekilas. Faiz hanya diam meski Noah terus mengangkat dagunya untuk melihat wanita yang akan dilamarnya. Faiz tetap tidak melihat wanita yang sudah duduk di hadapannya. Dia tetap menunduk. Ia bukannya malu kepada wanita yang ia lamar. Namun ia malas untuk memperlihatkan wajahnya pada wanita itu. "Ini Humairah Alisyah Al Hasan. Dia anak tunggalku Ham. Usianya 24 tahun. Setahun lalu dia sudah menyelesaikan kuliahnya. Alhamdulillah, kini dia sudah menjadi seorang perawat." Hasan memperkenalkan putrinya. "Humairah," batin Faiz berucap. Ia merasa tak asing dengan nama itu. Nama itu rasanya sering ia dengar. Tapi dimana? "Masya Allah," puji Khadijah. "Dia cantik sekali. Perawat pula, kalau gitu dia sangat cocok dengan putraku yang seorang dokter" tambah Khadijah. Humairah yang dipuji hanya membalas pujian itu dengan senyuman. "Oh iya kebetulan sekali. Mungkin mereka berjodoh," timbal Ilham. "Bisa jadi," sahut Hasan. Mereka bertiga pun tertawa setelah itu. "Faiz, ini Humairah," ucap Hasan memperkenalkan putrinya kepada Faiz. Mau tidak mau Faiz mengakat pandangannya untuk melihat wanita yang dilamarnya itu. Faiz dan Humairah pun saling mengangkat pandangan mata mereka untuk saling melihat satu sama lain. Mata mereka berdua pun bertemu. "Dia ___" Faiz membatin saat betatapan mata dengan Humairah. "Kenapa dunia ini sempit sekali, kenapa aku harus melamar wanita itu," pikir Faiz. Ia benar-benar tak menduga ternyata wanita yang dilamarnya adalah rekan kerjanya di rumah sakit tempatnya bekerja. Pantas saja ia merasa tak asing dengan nama wanita itu. Rupanya wanita itu seorang perawat yang bertugas di rumah sakit yang sama dengannya. Ia mengenal wanita itu. Ini memalukan baginya. Kenapa sih wanita itu yang ia lamar? Betul-betul membuatnya malu. Ia seakan pria yang tidak laku jadi melakukan lamaran secara dadakan seperti ini. Ini semua salah orang tuanya. Ia kesal sekali. Humairah cepat merundukkan kepalanya begitu juga dengan Faiz. Mereka tak ingin bertatapan lama karena mereka merasa canggung. Mereka saling mengenal walau tidak akrab. Humairah mengenal Faiz begitu juga dengan sebaliknya. Bekerja di rumah sakit yang sama membuat mereka bertemu dan jadi satu rekan kerja. Meski selama ini Humairah mengenal Faiz. Namun pria itu tidak pernah menyapanya. Jangankan menyapa untuk senyum juga tidak pernah. Berbicara pernah tapi hanya sebatas membahas pekerjaan. Itupun perkatanya dapat dihitung. Faiz terkesan pria yang pelit dalam berucap bagi Humairah. Faiz itu pria cuek dan sangat dingin. Tapi anehnya, kenapa Faiz malah melamarnya? Jangan-jangan pria itu diam-diam menyukainya selama ini? Pikir Humairah. Faiz itu terkenal dokter muda yang hebat. Dokter bedah yang bisa semua bidang. Tidak heran Faiz dianggap dokter yang hebat karena selain membedah ia juga bisa mengobati orang yang sakit walau di luar dari keahliannya. Di rumah sakit cinta kasih, di sana tempatnya bekerja. Tapi pria itu sangat cuek dan terkesan sombong di mata para perawat dan di mata dokter lainnya. Termasuk juga di mata Humairah yang sering dipasangkan dengan dokter tampan yang namanya Faiz itu. Dan setiap kali bersama dokter itu Humairah merasa kaku karena terbawa dengan sikap Faiz yang dingin. "Ya Allah, mimpi apa aku dilamar oleh dokter Faiz," batin Humairah tak menyangka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN