E M P A T

1884 Kata
"Humairah, perkenalkan ini Faiz dan keluarga besarnya. Insyaallah mereka akan menjadi keluargamu juga jika kamu menerima lamaran dari Nak Faiz ini." Hasan berujar-menjelaskan maksud dari kedatangan keluarga Faiz. Humairah tersenyum kecil dan ia melihat wajah Faiz menegang. Pria itu seperti tidak nyaman berada di rumahnya. Alasannya kenapa? Kenapa pria itu tidak nyaman berada di rumahnya? Apa jangan-jangan kedatangannya hanya karena dipaksa oleh orang tuanya? Benarkah begitu, jika benar berarti Faiz melamarnya karena desakan orang tua. "Astaghfirullah." Humairah membatin. Apa-apaan ia ini. Ia gak boleh mikir hal seperti itu. Ia tidak boleh berpikiran buruk tentang orang lain. Itu perbuatan dosa besar. Yang ia pikirkan belum tentu benar. Bisa-bisanya otaknya ini berpikiran sampai ke arah sana. "Faiz, ayo ngomong. Bilang sama Humairah langsung, kalau kamu mau melamar dia. Jangan diam aja. Jadi pria itu harus berani. Ayo ngomong, jangan buat Humairah menunggu lama," bisik Khadijah di telinga Faiz. Dia mendesak Faiz untuk bicara. Dia takut Faiz tidak berkata sepatah katapun. Maklumlah anaknya itu datang ke rumah ini atas permintaannya dan suaminya. Bukan dari inisiatif Faiz sendiri. Makanya dia takut Faiz hanya diam dan nanti rencana perjodohan ini batal. Faiz menghela nafasnya gusar. Kenapa hal ini harus terjadi padanya? Melamar seorang wanita yang ia kenal adalah kesalahan baginya. Karena apa? Karena hal itu memalukan untuknya. Humairah itu rekan kerjanya dan ia tidak pernah membayangkan akan menikahi wanita yang kelihatannya sholehah itu. Secara pakaian Humairah memang terlihat wanita yang baik dan mungkin saja akan menjadi ibu yang baik untuk Noah. Akan tetapi ia belum mau memiliki pendamping. Wanita baik pun percuma saja jika ia tidak menginginkan wanita itu. Wanita itu hanya akan menjadi beban untuknya saja. Khadijah menyingkut siku Faiz. "Ayo, ngomong," katanya. Faiz tak kunjung juga bicara membuatnya jadi mendesak Faiz lagi agar anaknya itu segera berbicara. "Iya-iya," ucap Faiz pelan ke mamanya. Percakapan mereka hanya merekalah yang mendengar. Faiz meneguk salivanya. Ia jadi gugup di depan Humairah. Mau mengeluarkan satu katapun sulit. Dia harus berbicara seperti apa? Lembut, tegas, atau santai. Jika berbicara tegas nanti Humairah mengira ia marah dan wanita itu nanti jadi tahu jika ia datang melamar karena keterpaksaan. Jika berbicara dengan lembut nanti terkesan lebay. Sepertinya berbicara dengan santai adalah pilihan yang paling tepat. Sebelum berbicara Faiz pun menghela nafasnya lebih dulu. Agar ia tidak gugup dan tidak salah ucap. "Humairah, aku ingin melamar kamu," ucapnya dengan singkat padat dan jelas sambil memandangi seorang wanita cantik yang di hadapannya saat ini. Humairah memanglah wanita berwajah cantik. Faiz akui itu, namun cantik bukan berarti ia akan mudah tertarik. Berwajah cantik bukan tolak ukur baginya untuk menyukai seorang wanita. Mudah mendapatkan wanita cantik di dunia ini. Namun masalahnya, untuk mencari pasangan tidak cukup sekedar cantik di wajah. Sebab yang lebih penting itu wanita yang memiliki hati yang cantik dan pikiran yang selalu positif. "Apa Faiz serius? Apa selama ini dia diam-diam menyukaiku atau dia dipaksa oleh orang tuanya untuk menikah?" Batin Humairah bertanya-tanya. "Gimana Nak Humairah, kamu mau?" tanya Khadijah yang tidak sabar menunggu jawaban Humairah. "Mama gak sabaran sekali. Pandai saja Maira berbicara tidak perlu ditanyakan lagi," batin Faiz. Ia kesal pada mamanya. Humairah yang ditanya tidak langsung menjawab. Ia masih tak percaya seorang Faiz melamarnya. Dokter yang terkenal hebat namun sangat dingin itu ingin menjadikannya seorang istri. Benarkah itu? Entah kenapa ia merasa tak yakin. Ia merasa ada yang mengganjal di hatinya. Ia jadi bingung sekarang. Apa ia harus terima atau tidak? "Humairah, Faiz ini anak kami. Dia seorang dokter bedah. Usianya 24 tahun. Faiz ini sudah memiliki seorang putra. Kamu gak masalah kan, jika Faiz ini seorang duda?" tambah Khadijah sambil menjelaskan singkat tentang putranya pada calon menantunya. "Mama apa-apaan sih," batin Faiz kesal. Humairah mencerna perkataan mamanya Faiz yang baru saja didengarnya. Ada yang mengganjal di pikiran Humairah. Yaitu tentang Faiz yang sudah memiliki seorang putra. Humairah baru tahu ternyata Faiz seorang duda dan sudah memiliki anak. Ia pikir Faiz itu seorang dokter yang belum menikah. Alias masih lajang. Rupanya dugaannya salah. Ternyata dokter itu sudah married dan malahan berstatus duda. Fakta itu cukup mengejutkannya. Apa Faiz bercerai dengan istri sebelumnya? Humairah jadi penasaran. "Jadi gimana, kamu mau menerima Faiz?" Kali ini yang bertanya adalah Ilham. Dia ikut-ikutan bertanya karena tidak sabar juga menunggu jawaban dari anak tunggal Hasan itu. Humairah bingung mau menjawab apa. Ia memilih diam dan menunduk saja. Ia belum bisa memutuskan apa-apa. "Maira, jangan diam aja. Mereka menunggu jawaban kamu," kata Hasan dengan pelan kepada putrinya. "Maira takut Bi, takut tidak amanah menjaga anaknya Faiz. Maira takut membuat orang tua Faiz dan Faiz juga kecewa dengan Maira yang tidak berpengalaman mengurus anak ini," bisik Humairah pada abinya. Setelah mendengar keluhan Humairah. Hasan tidak akan memasak anaknya untuk menerima lamaran itu. Jika anaknya keberatan ya sudah. Dia tidak akan memaksa. Keputusan bukan berada di tangannya. Biarpun dia orang tuanya Humairah namun soal pasangan dia lepas tangan. Dia tidak mau nanti Humairah tertekan jika yang memutuskan adalah dirinya. Jadi dia serahkan pada anaknya saja. "Maaf Ham dan maaf juga Faiz. Humairah bukannya menolak tapi dia merasa belum berpengalaman untuk menjadi seorang ibu. Dia takut mengecewakan kalian," jelas Hamdan kepada para tamunya. Agar tidak ada kesalahpahaman lebih baik dia menjelaskan semuanya dengan jujur. Jika memang anaknya takut untuk membuat Faiz dan keluarga pria itu kecewa. "Gapapa Om. Saya tidak masalah jika Humairah menolak. Saya tidak akan memaksa," ucap Faiz santai. Ia sih tidak masalah jika Humairah menolak. Malahan ia senang jika wanita itu tidak menerima lamarannya. Jadi ia tidak perlu ambil pusing dan perjodohannya pun gagal. Itu lebih baik daripada ia diterima. Noah seketika langsung meneteskan air matanya. Dia sedih karena batal memiliki seorang bunda. Humairah melihat anak kecil bermuka sedih itu dan ia jadi merasa bersalah karena anak kecil itu bersedih atas sebab penolakannya. Ia jadi iba melihat anak itu. Apa sebaiknya ia terima saja lamaran Faiz? Pikirnya. Noah memeluk Faiz dan dia menangis tapi tidak mengeluarkan suara. Dia hanya sesegukan menahan suara tangisan yang ingin keluar dari mulut mungilnya. Tak lama, beberapa detik kemudian tangisan Noah pun pecah. Dia menangis histeris dalam pelukan ayahnya. Meski Noah masih kecil tapi dia sudah mengerti. Dan paham maksud dari ucapan ayahnya. Tangisan Noah menjadi-jadi. Faiz jadi bingung bagaimana mau mendiamkan Noah. Ia pun tidak ada jalan lain selain harus menggendong Noah dengan posisi berdiri. Faiz pun berdiri dan mengangkat tubuh Noah dan menyandarkan kepala Noah di pundaknya. Ia juga mengusap-usap punggung Noah sambil berkata, "Ayah minta maaf, Noah. Ayah, tidak bisa mengabulkan permintaan kamu. " "Ayah jahat! Ayah jahat," ucap Noah setengah berteriak sembari memukul-mukul punggung ayahnya. "Permisi," ucap Faiz izin keluar. Ia merasa tidak enak dengan orang-orang yang mungkin merasa terganggu dengan suara tangisan Noah. Ia beranjak pergi ke luar rumah. Ia ke teras-mondar-mandir menggendong Noah yang terus menangis. Faiz lelah sekali. Jujur saja, setiap hari ia harus seperti ini. Saat Noah mau tidur malam hari. Ia juga harus mengendong Noah sampai anaknya itu tertidur. Jika Noah tidak ia gendong, pasti Noah tidak bisa tidur. Dan ketika ia pulang kerja, sampai rumah ia langsung menggendong Noah. Karena Noah selalu menangis tiap hari. Kadang tanpa sebab. Kata mamanya Faiz, Noah butuh sentuhan seorang ibu. Namun sampai detik ini Faiz malas menikahi seorang wanita. Sehingga Noah sampai detik ini juga belum merasakan sentuhan seorang ibu. Faiz menghela nafas beratnya sambil terus mondar-mandir di teras rumah Humairah. "Humairah, begitulah Faiz kerjaannya setiap hari. Kadang tante sedih melihatnya. Kasihan sama dia. Kadang pulang kerja, baru aja nginjakin kakinya di depan pintu. Langsung Noah minta digendong, kalau gak dituruti dia bakal menangis sejadi-jadinya. Malam hari menjelang tidur, juga seperti itu. Menangis terus, gak tahu menangis karena apa. Kita pernah bawa ke rumah sakit. Dokter bilang dia baik-baik saja. Dokter hanya mengatakan Noah hanya butuh perhatian. Jika Noah mau sama kami tidak masalah. Tapi dia hanya mau ditenangkan sama ayahnya. Saya kasihan sama putra saya itu. Dari usianya 19 tahun, dia merawat anaknya. Semakin bertambah usianya Noah, semakin pula Faiz harus bekerja keras merawat Noah," ucap Khadijah bercerita. Tak terasa air matanya ikut jatuh dan dia cepat mengusapnya. "Maaf ya, Noah menangis lagi," ucap Ilham jadi gak enak dengan tuan rumah. Pasti tuan rumah terganggu dengan tangisan cucunya itu, pikirnya. "Gapapa, maklum anak kecil," ucap Hasan dengan santai. "Maira, apa gak sebaiknya kamu terima aja lamaran Faiz. Bukannya kamu suka anak kecil. Abi yakin kok kamu bisa amanah menjadi seorang ibu walau tanpa berpengalaman," bisik Hasan ke putrinya. Dia bukannya mendesak Humairah hanya saja dia memberikan sedikit masukan. Humairah hanya diam, namun dia sedang berpikir. "Abi, setuju jika kamu menerima lamaran Faiz. Abi yakin, dia akan menjadi suami yang baik. Tapi itu terserah kamu, Abi tidak mau memutuskan apa-apa," tambah Hasan dengan berbisik. Humairah sudah memutuskan. "Bi, Om, dan Tante. Maira, permisi ingin bertemu Noah," pamitnya ingin beranjak menemui Faiz. Ilham, Hasan, dan Khadijah mengangguk dan memberikan senyuman. Mereka bertiga berharap semoga Humairah menerima lamaran Faiz. Humairah melangkah mendekati Faiz. Faiz belum menyadari kehadirannya. Ia ada di belakang Faiz dan Noah juga tidak melihatnya. Karena Noah menangis dengan memejamkan mata. "Hai Noah," sapa Humairah dan Faiz jadi memutar badannya menghadap Humairah. "Calon bunda," ucap Noah sambil menghapus air matanya. Dia malu terlihat cengeng di depan calon bundanya. "Faiz, sini, biar aku saja yang menggendong Noah," ujar Humairah dengan lembut sambil ingin menggapai tubuh Noah. "Noah, apa Noah mau digendong sama Tante ini?" tanya Faiz. Noah mengangguk dengan mantap. Faiz pun memberikan Noah pada Humairah dan Humairah dengan senang hati menggendong Noah. Faiz gak nyangka Humairah mau menggendong Noah. Apalagi Noah mau digendong sama Humairah. Padahal Noah mana pernah mau digendong sama orang lain. Sepertinya Noah memang sangat ingin Humairah menjadi bundanya. Namun, Faiz tidak akan memaksa Humairah untuk menerima lamarannya. Meski Noah ngotot ingin Humairah menjadi ibunya, Faiz tidak bisa apa-apa. Keputusan ada pada Humairah. Wanita itu mau atau tidak menjadi ibunya Noah. Lagian perjodohan ini kehendak orang tuanya. Humairah menolak pun Faiz tidak masalah. Humairah menepuk-nepuk punggung Noah dengan pelan dan ia juga sambil melantunkan sholawat dengan merdu. Meski bersuara pelan tapi Faiz dapat mendengarnya. Suara Humairah indah. Itulah yang Faiz ucapkan dalam hati. Faiz memperhatikan Noah yang tampak nyaman di pelukan Humairah. Memang benar yang dikatakan mamanya. Bahwa Noah hanya butuh sentuhan seorang ibu. Apa mungkin Humairah mau menjadi bundanya Noah? Pikir Faiz. "Humairah," ucap Faiz dengan pelan namun dapat Humairah dengar dengan jelas. Humairah menghadap Faiz. "Apa?" tanya Humairah. Faiz menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia gak pede bertanya pada Humairah. Dia ingin bertanya soal lamarannya. Tapi dia terlalu gengsi buat ngomong. Humairah tersenyum pada Faiz. "Aku menerima lamaran kamu," ucapnya membuat wajah Faiz seketika cengok. Humairah akan mencoba membuka hatinya untuk Faiz. Ia lakukan ini untuk Noah. Ia peduli dengan anak kecil itu. Humairah tahu betapa sedihnya anak kecil itu tanpa seorang ibu, karena ia mengalami hal sama. Jadi ia akan berusaha menjadi seorang ibu untuk Noah. Semoga ia bisa amanah. Faiz hanya diam saja setelah mendapatkan lampu hijau dari Humairah. Jujur ada rasa tenang saat Humairah menerima lamarannya, karena dengan penerimaan itu orang tuanya tidak akan mencarikan jodoh untuknya lagi. Tapi ada rasa tidak suka juga karena dengan penerimaan itu ia akan menikah lagi dan itu artinya ia akan memiliki seorang istri. Rasanya ia belum sanggup untuk memiliki pendamping. "Apa aku harus senang? Atau sebaliknya?" ucap Faiz dalam hatinya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN