Prolog

2825 Kata
Aku selalu bertanya-tanya mungkinkah ada sebuah tempat di atas langit dimana orang-orang yang telah mati akan berkumpul disana? Sebuah tempat dengan makanan yang berlimpah, sungai panjang yang mengalirkan air jernih, dan juga taman bermain dimana semua orang yang pernah kujumpai hadir disana? Mereka tampaknya sangat bahagia, aku dapat melihat mereka mengenakan setelan yang bagus dan bahkan tanpa riasan, wajah mereka tampak bersinar. Beberapa dari mereka berdiri di altar, menatap ke arahku, tersenyum, dan menjulurkan tangannya ketika menyambutku. Mereka membisikkan sesuatu ke telingaku – sesuatu yang terdengar seperti jawaban atas semua pertanyaan. Mungkinkah tempat itu benar-benar ada? Surga – dunia yang bahkan tidak diketahui eksistensinya. Tapi apa yang paling relevan di dunia ini bahkan bisa menjadi suatu yang sulit untuk dipercayai. Alam semesta dapat menjadi begitu membingungkan, tapi jika tidak begitu, siapa yang akan mencari jawaban atas semua itu? Siapa yang akan bersedia menyelami kegelapan untuk menemukan satu titik terang – titik dimana semua itu bermula? Titik dimana sebuah pilihan dan konsekuensi tidak diperhitungkan, dan titik dimana ruang dan waktu tidak berlaku. Apa yang benar-benar membingungkanku adalah bagaimana semua itu dapat terjadi? - “Sebutkan namamu!” Evan tertegun menatap lurus ke depan, memandangi pantulan wajahnya di atas cermin sembari berdiri mematung. Tubuhnya berdiri dengan kaku dan rasanya ia dapat mendengar suara denyut jantungnya yang berdetak lambat. Dadanya membusung ketika ia menarik oksigen masuk ke dalam paru-parunya sebelum mengembuskan nafas perlahan melalui hidungnya. Kini tatapannya menyapu ke setiap sudut tempat di dalam ruangan seluas belasan meter itu. Ia mengamati tirai birunya menggantung dengan santai di belakang jendela, dan juga karpet hijau tua yang membentang di atas lantai kayu, sebuah sofa di sudut, dan nakas kecil dimana seseorang telah meletakkan vas berisi bunga lilac di atasnya. “Evan.” “Evan, apa kau siap?” “Ya.” “Kita bisa mulai dari awal, santai saja dan ikuti perintahnya, aku akan ada disini jika kau sudah selesai, oke?” Ide untuk menempati sebuah lukisan di salah satu sudut dinding ruangan muncul begitu saja di kepalanya. Evan suka memandangi lukisan bertema abstrak setiap malam sebelum ia pergi tidur, atau pagi ketika ia terbangun. Menurutnya, ada sesuatu tentang lukisan itu yang mengingatkannya akan sebuah kejadian yang pernah dialaminya belasan tahun silam, persis setelah insiden kecelakaan yang mengubah hidupnya. Evan menarik nafas panjang, mencium aroma lembut yang tersebar di setiap sudut ruangan. Aroma itu tercium akrab, rasanya ia tidak akan melupakan tempat itu dan juga seorang wanita yang duduk di sudut ranjang. Evan dapat mengamati kerutan muncul di dahinya, atau sepasang mata cekungnya yang berkedip dengan gelisah. Kemudian ingatannya berputar belasan tahun ke belakang, persis pada masa-masa yang telah mereka lewati bersama. Evan nyaris tidak melewatkan satupun detail kecil tentang wanita itu: kernyitan yang sering muncul di dahinya, sepasang mata cekungnya yang sayup, atau caranya menekuk punggung dengan kaku ketika ia mulai gelisah. Rambut coklat gelapnya tergerai di belakang bahu. Dulu rambut itu tampak lebih panjang hingga beberapa tahun yang lalu, wanita itu memutuskan untuk memotongnya dan menyisakan rambut coklat gelap sepanjang bahu yang membingkai wajah ovalnya dengan sempurna. Wanita itu meremas jari-jarinya ketika bangkit berdiri. Kemudian Evan menyaksikannya begerak mendekat. Kini seisi ruangan terasa seperti lahan kosong yang luas dimana langit membentang di atas kepala mereka, dan angin yang bergerak lembut menyapu kulitnya. Tanpa diduga-duga, wanita itu telah menjulurkan tangannya, meletakkan jari-jari kecilnya di atas rahang Evan dan berbisik pelan: “Kapan kau akan kembali?” Keheningan menjalar di setiap sudut tempat di dalam ruangan itu. Evan mengamati wanita itu dari dekat, melihat garis tipis kerutan di bawah matanya, sejenak mengingat gadis muda yang menatapnya dengan cara yang sama. Bahkan setelah belasan tahun, wanita itu tidak berubah, kecuali – tentu saja – karena usianya yang tidak lagi muda. Kemudian sepasang alisnya menyatu, bibirnya mengatup dan kelopak matanya berkedip hanya untuk menyadarkan Evan bahwa ia masih menunggu jawaban atas pertanyaannya. “Aku tidak tahu,” bisik Evan akhirnya. Wanita itu telah mengangkat satu tangan Evan ke bibirnya, ia meninggalkan kecupan panjang disana. Kini Evan dapat merasakan kehangatan itu merangkulnya. Keheningan sudah seperti melodi yang menemani mereka selama belasan tahun. Waktu seakan bergerak di belakang dan membayangi mereka kemanapun mereka pergi. Dalam kekosongan itu, ia dapat mendengar suara-suara yang menggema di kepalanya, terkadang bagian dari ingatan tentang masa lalunya muncul secara acak. Kemudian, ia mulai membayangkan dirinya sebagai asap yang melompat-lompat di ujung lidah api, menari dan bergerak di antara lilin-lilin yang disusun berjejer menuju altar dimana sesuatu yang besar telah menunggunya. “Aku Evan, dan ini adalah rekaman terakhir sebelum misi dimulai. Aku telah melewati empat minggu untuk melakukan rangkaian persiapan. Aku merasa sehat sekarang. Aku sedikit gugup, tapi aku sepenuhnya siap untuk misi penerbangan ini. Ini bukan penerbangan pertamaku, jadi aku akan menanganinya dengan baik – aku selalu tahu ini akan terjadi, jadi aku membuka pikiranku. Aku tahu konsekuensi yang mungkin akan kuhadapi di sana, aku tahu bahaya yang menungguku, tapi aku telah berbicara dengan putriku, Melissa, dan aku sepenuhnya merasa lega. Terkadang aku khawatir ketika memikirkan apa yang mungkin terjadi padaku di ruang angkasa, terkadang aku memikirkan kematian dan betapa rapuhnya hal itu. Begitu gelap diluar sana, begitu senyap, dan ada banyak cara konyol untuk mati disana.. tapi aku telah melihat cahaya kerlap-kerlip bumi dari atas sana. Tidak ada tempat yang cukup nyaman di ruang angkasa yang dapat menggantikan kenyamanan yang dapat ditawarkan di planet ini. Meskipun begitu, aku suka berada di ruang angkasa, aku suka memandangi cahaya kerlap-kerlip bumi dari atas sana. Suatu saat ketika aku kembali setelah misi ini, aku akan menceritakan pengalaman tentang perjalanan ini pada putriku..” Evan dapat merasakan air mata wanita itu jatuh di atas punggung tangannya. Ketika Evan menunduk untuk mencium keningnya, bahu wanita itu mulai berguncang, isak tangisnya teredam dalam pelukan. “Aku harus pergi,” bisiknya di telinga wanita itu. Putrinya telah menunggu di luar, berdiri di seberang pintu dengan mengenakan dress berwarna biru muda. Pita hijau kecil menggantung di atas rambut gelapnya yang panjang. Sepasang mata hazel-nya berkilat ketika memandanginya. Gadis itu telah mengayunkan tangannya begitu Evan bergerak mendekat, ia menggenggam sebuah logam kecil berbentuk lingkaran berwarna perak dengan pengatup yang dibuatnya. Ketika meletakkan alat itu di sakunya, Melissa membisikkan sesuatu ke telinganya: sebuah kalimat ringan yang akan selalu diucapkannya, menggema di antara suaranya yang serak. “Kau sudah berjanji padaku.” Untuk kali terakhir Evan menyaksikannya tersenyum, samar-samar mengingat cahaya mentari yang jatuh di atas wajah polos itu, menyapu lembut kulitnya yang pucat. Tangannya kecilnya melambai-lambai. Dari balik kaca mobil, Evan tersenyum pada mereka untuk terakhir kali sebelum mobil yang ditumpanginya membawanya bergerak menjauh meninggalkan halaman rumah, semakin jauh hingga yang terlihat hanyalah sebuah titik di kejauhan, tempat dimana ia akan kembali setelah menyelesaikan misi penerbangannya menuju bulan. “Apa kau siap untuk penerbangan ini?” “Ya,” sahut Evan untuk menjawab suara yang muncul melalui mikrofon kecil di dalam ruangan itu. Tatapannya terarah lurus ke depan, persis pada kaca gelap yang memantulkan bayangan wajahnya, namun ia tahu seseorang berdiri di luar sana, mengamatinya selagi ia menyelesaikan rangkaian tes terakhir sebelum misi penerbangan dimulai. “Ada hal lain yang ingin kau katakan sebelum kita mengakhiri ini?” “Tidak.” Suara itu menggema di kepalanya sebelum akhirnya teredam oleh bunyi mesin yang keras. Asap mengepul dari bagian luar roketnya, menjalar naik melewati jendela kecil dan memblokir seluruh pemandangan keluar, kini yang tersisa hanyalah langit di atasnya. Langit itu seakan terbuka untuk menyambutnya. Mesin bergedengung keras, beradu dengan suara wanita dari mikrofon kecil yang memberitahu Evan dan kelima awak lainnya bahwa roket mereka akan meluncur dalam hitungan detik. Lima, empat, tiga.. Evan mencengkram kuat logam hitam pada mesin kendali, menekan serangkaian tombol di atas kepalanya, mengamati layar mesin berbentuk persegi yang memberinya semua laporan tentang kecepatan peluncuran. Sesekali ia memalingkan wajahnya untuk menatap lima awak kapal yang duduk di belakangnya. Urat-uratnya menegang, bibirnya bergetar. .. dua, satu.. meluncur. Guncangan yang dahsyat mulai terasa saat ujung roket bergerak melewati lapisan atmosfer. Pada hitungan ketiga lampu merah yang berkedip memberitahunya untuk melepas satu tenaga pendorong. Mesin itu melaju dengan kecepatan tinggi, memecah kerak es dari awan yang menggumpal di atasnya, kemudian bergerak maju menuju lapisan stratosfer, menciptakan dengungan keras yang nyaris memekakan telinga. Sejauh itu seluruh mesin berfungsi dengan baik. Para awak menunduk menyaksikan daratan melalui kaca jendela, berusaha untuk melepas ketegangan dari raut wajah mereka. Seluruh mesin berada di bawah kendali, Evan sepenuhnya meyakini bahwa roket mereka akan mencapai lapisan atmosfer berikutnya, kemudian mencapai ketinggian yang cukup untuk melepas mesin pendorong berikutnya sebelum mencapai orbit. Tepat di bawahnya, ia dapat menyaksikan lautan membentang luas, nyaris tak berujung, kini daratan hanya terlihat seperti sebuah titik kecil di tempat yang jauh. Para awak sudah menyadarinya, jauh sebelum guncangan berikutnya mengacaukan mesin. “Apa? Apa yang terjadi?” Gumpalan awan yang mengkristal menghantam bagian samping mesin, menyebabkan kehancuran kecil pada tenaga pendorong yang kemudian melebar dalam hitungan detik. Alarm berbunyi keras. “Mesinnya terbakar!” Dua orang awak nyaris melompat dari atas kursinya, seseorang dari mereka berkutat dengan sabuk pengaman, berusaha untuk menghentikan kekacauan. Evan merasakan dahinya berkeringat, jantungnya terpompa kuat. Tenaga pendorong mengalami kerusakan total, berikutnya mesin yang menompang mereka akan meledak. Sementara itu alarm peringatan yang berbunyi memberitahunya untuk melompat keluar. Keributan antar awak kapal mendengung di kepalanya, sebagian dari mereka siap untuk melompat. “Ayo!!” teriak Daniel. “Tidak, tidak, jangan! Aku akan melepas mesinnya sekarang!” Evan berteriak keras, jari-jarinya bergetar ketika ia menekan serangkaian tombol kunci pada mesin kendali manual. Jantungnya berpacu cepat seiring dengan dengungan dari suara ledakan mesin di belakangnya. Kabut gelap menggumpal di kepalanya, disusul oleh suara ledakan berikutnya dan teriakan yang berdengung keras di telinganya. Terlambat untuk menyadari ledakan yang terjadi disana. Perbandingan waktunya hanya beberapa detik sebelum tenaga pendorong utama berhasil dilepaskan dan kapsulnya meluncur dengan kecepatan tinggi sebelum menghantam permukaan laut. Jika ia lebih cepat beberapa detik, ledakan itu mungkin dapat dicegah, namun terlambat untuk menghindarinya, dan ia hanya membiarkan mesin itu terjun bebas, menghantam lapisan atmosfer di bawahnya, terkikis oleh panas yang disebabkan oleh pergesekan udara kemudian membawanya terjun ke lautan lepas. Ada banyak suara yang berdengung di kepalanya, namun itu bukan suara mesin atau alarm peringatan yang berbunyi keras. Suara-suara itu berasal dari dalam kepalanya dan membawa gambaran ingatan tentang kejadian yang dialaminya belasan tahun silam. Masa-masa terburuk yang pernah dialaminya akan selalu bergerak mengikutinya di belakang, membayanginya seperti kabut gelap yang menggantung di atas kepalanya. Ia pernah bermimpi untuk dapat terbang, mimpi itu sekaligus membawa pengalaman yang tak terlupakan. Ia mengingat sepeda tuanya yang berkarat, atau lumbung milik orangtuanya, tempat dimana sejumlah hewan ternak hidup dan bekembang biak. Rumahnya bukanlah istana yang megah, bagunannya tidak tersusun dari beton melainkan tersusun dari kayu-kayu tua yang cukup kuat untuk melindunginya dari hujan badai atau salju yang sesekali datang menghampiri mereka. Jendela kayunya mengeluarkan suara berderit setiap kali tertiup angin. Udara dingin di sekitar sana terasa menusuk, namun cahaya matahari paginya cukup hangat. Aroma rumput dan tanah basah tercium tajam di sekitarnya. Evan mengingat malam-malam yang dilewatinya di dalam lumbung untuk memastikan hewan ternak milik mereka tetap aman, atau siang yang panjang yang dihabiskannya pada sebuah kabin kecil di dekat danau – sebuah tempat rahasia dimana ia dapat menjauh dari orang-orang dan kebisingan di sekitarnya. Ia akan mengayuh sepeda tua pemberian kakeknya untuk sampai disana, duduk selama berjam-jam untuk menyelesaikan tugas sekolah atau hanya diam memandangi air di permukaan danau yang bergerak tenang. Kemudian kabut tebal menggumpal di atas kepalanya dan menariknya kembali pada insiden mengerikan malam itu, ketika truk yang dikendarainya melaju dengan kecepatan tinggi di atas permukaan aspal yang licin. Salju menggumpal di atas jalanan, sisanyanya telah mencair. Udara dingin menyusup masuk melewati celah kecil dari kaca jendela mobil yang terbuka. Suara keributan menggantung di udara, suara itu beradu dengan dengungan mesin truk di sekitarnya. Langit gelap menyelimuti setiap sudut tempat. Lampu jalanannya sempat berkedip, cahaya remang-remangnya menyentuh permukaan aspal sebelum akhirnya padam. Evan nyaris tidak memerhatikan jalanan di sekitarnya. Seekor anjing liar melompat keluar dari semak-semak, mengejutkannya hingga ia hilang kendali dan truknya menabrak pembatas jalan sebelum meluncur bebas di atas permukaan tanah berumput yang melandai, jatuh berguling sejauh belasan meter dan berhenti sebelum mencapai anak sungai. Hal terakhir yang dilihatnya malam itu hanyalah sebuah cahaya yang berkedip di atas langit gelap. Mesin kapsul itu menghantam permukaan laut dengan keras, kaca jendelanya nyaris pecah. Evan dapat mendengar suara teriakan, isak tangis seseorang ketika berusaha meminta bantuan, kemudian ia menyadari bahwa para awak telah menghilang, sebagian dari mereka mungkin tewas dalam ledakan yang terjadi beberapa detik lalu, dan suara yang didengarnya tidak lain adalah suara yang muncul di kepalanya. Matanya mengerjap beberapa kali saat air dingin itu menyentuh kulitnya. Wajahnya memerah saat sekujur tubuhnya mati rasa. Evan harus berusaha keras untuk melepas sabuknya, matanya mencari-cari dimana ia dapat menemukan awak kapal lainnya. Namun bangkai mesin itu terbelah dan bertebaran dimana-mana, tak jauh disana ia dapat menyaksikan sisa api yang membakar mesin roketnya. Ketika Evan akhirnya berhasil melepas sabuk, lengannya terkilir, ia menyadari bahwa lempengan besi yang patah melubangi kulitnya. Cairan merah gelap merembes keluar dari pakaiannya, ia mendesis kencang saat rasa sakit itu menggerogotinya. Satu.. dua.. tiga.. Nafasnya bersembus cepat. Evan menarik lempengan besi yang menancap di lengannya. Wajah menjadi pucat persis ketika Evan berhasil membebaskan lengannya dari besi itu. Darah membanjiri pakaiannya. Evan kemudian bergerak untuk mematikan alarm. Ia menekan serangkaian tombol mesin di dalam kapsul itu untuk dapat terhubung dengan seseorang. Suara seseorang yang dikenalinya baru saja keluar dari mikrofon kecil, namun panggilan itu terputus-putus akibat mesinnya yang teredam air. Sementara itu ia berusaha mencari radio panggil manual. Alat berwarna hitam kecil itu masih menggantung di sisi lain kursi ketika Evan mencoba meraihnya. Namun, ombak pasang yang muncul secara tiba-tiba telah mengguncangkan kapsulnya hingga membuat alat itu terlepas jatuh dari genggamannya. “Tidak, tidak, tidak! Tolong, jangan! Tidak!!” Genangan air masuk ke dalam kapsulnya, bagian samping jendela yang pecah hanya membuat air itu mengalir lebih cepat untuk masuk ke dalam kapsul dan perlahan membuatnya tenggelam. Evan tidak memiliki pilihan selain bergerak keluar meninggalkan kapsulnya. Tangannya berpegangan erat pada bangkai roket yang terpecah ketika menghantam air dengan keras. Sementara rasa sakit akibat luka pada lengannya terasa menusuk. Evan nyaris tidak dapat merasakan kakinya yang membeku. Suhu air di sana berada di bawah nol derajat, ombaknya yang pasang membawanya terombang-ambing tak menentu arah. Lautan kosong membentang di sekitarnya. Ketika ia memandang di kejauhan, Evan melihat sebuah kain putih yang muncul ke permukaan, jadi ia berenang membawa dirinya mendekat dengan harapan bahwa satu atau dua orang awak lainnya dapat selamat. Namun ketika Evan bergerak semakin dekat, ia menyadari air laut yang mencabik tubuh awak itu, ketika berbalik Evan mendapati satu awak lainnya tewas dengan pecahan mesin yang menancap di tubuhnya. Pakaian yang mereka kenakan membuat tubuhnya mengambang di atas air, sementara wajah pucatnya menatap ke arah langit. Hawa panas menjalar naik ke atas wajahnya. Evan berenang menjauh, ia berniat untuk kembali ke kapsulnya sebelum menyadari bahwa ombak pasang telah menghisap benda itu ke dalam air. Tubuhnya mengambang di tengah lautan dimana tidak ada apapun selain air dan ombak pasang. Air bah itu seperti mengisapnya. Ia tidak dapat merasakan jari kaki dan pergelangan tangannya yang membeku, jadi Evan membaringkan tubuhnya di atas bangkai mesin yang terpecah. Kedua matanya terpejam dan ketika ia membukanya, langit membentang luas. Suara gemuruh air di sekitarnya menggema keras, kemudian ada suara lain seperti kicauan seekor burung yang terbang bebas. Samar-samar Evan mendengar suara gadis kecil yang bernyanyi di dekatnya. Suara itu terdengar begitu merdu seperti kicauan lembut burung di udara. Tatapannya terkunci, sesuatu telah menarik dirinyanya jatuh ke dalam pusaran yang dalam, dimana semua pintu-pintu yang terkunci rapat kini terbuka. Kemudian ia dapat mendengar dirinya berkata: Aku pernah bermimpi untuk dapat terbang. Setiap anak punya mimpi. Mereka memimpikan sesuatu yang membuat mereka merasa terpesona, dan aku selalu memimpikan berada di antara bintang-bintang. Ini mimpiku, dan bahkan ketika dunia mengatakan sebaliknya, aku tidak pernah kehilangan keyakinan. Aku tidak peduli berapa harga yang harus kubayar untuk itu, aku mengorbankan semuanya untuk sampai disini. Dan sekarang aku disini, jatuh untuk kesekian kalinya. Dunia tampaknya berusaha keras meyakinkanku bahwa disinilah tempatku. Ketika kupikir aku akan mencapai ketinggian itu: dimana aku akan terbang bebas di antara bintang-bintang, dunia akan menghentikanku, melemparku ke bawah, dan membuatku menyadari bahwa disinilah tempatku. Kupikir aku dapat mengurus segalanya, tapi aku hanya tumbuh dan mengacaukannya. Aku mengacaukannya.. maafkan aku Melissa, aku sangat menyayangimu, tapi aku selalu mengacaukannya. Tolong maafkan aku.. Maafkan aku.. Suara nyanyian itu kembali menggema di kepalanya, menjelma menjadi irama lembut yang menuntun dua ekor burung terbang menari-nari di atasnya. Kicauannya terdengar kencang, kemudian di kejauhan ombak pasang menghampirinya. Ia menunggu, berpikir untuk berenang menjauh, namun tubuhnya membeku. Tangannya merogoh ke dalam saku, ia meraih benda logam kecil berbentuk bulat yang ditinggalkan putrinya disana, kemudian ia membuka pengatupnya. Sebuah kompas. Evan menarik rahangnya, tersenyum, kemudian memejamkan mata sembari meremas alat itu di tangannya. Kemudian ia mendengar suara gemuruh air yang besar bergerak ke arahnya dan hal terakhir yang disaksikannya adalah sebuah ombak besar yang bergerak semakin dekat sebelum menghantam tubuhnya dengan keras. I N F I N I T E
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN