CHAPTER FIVE

1956 Kata
Daren sudah selesai memakai bajunya. Ia membuka pintu berniat keluar dari kamar, namun langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan pintu. Daren tersenyum kikuk. "Davina," sapa Daren selembut mungkin. Davina hanya menunjukkan tatapan datarnya. "Mana?" pintanya. Daren menggaruk belakang kepalanya dengan wajah memelas. "Kakak lupa. Beneran, kali ini gak pake bohong." "Udah aku duga. Kakak gak pernah nepatin janji. Tahu gitu, aku gak usah percaya." "Bukan gitu, Vin. Kakak beneran lupa. Kakak sibuk banget akhir-akhir ini. Kamu, kan, tahu, Baska kalo dimintain tolongnya susah banget." "Jadi Kakak nyalahin Kak Baska?" "Ya, enggak gitu." Daren menghela napas. Ia lalu mengeluarkan dompetnya kemudian memberikan sebuah ATM pada Davina. "Nih, kamu beli aja sendiri!" Davina langsung mengambilnya dengan wajah sumringah. Ia melompat ke arah Daren dan langsung memeluknya. "Kakak emang terbaik," ungkapnya. Daren hanya bisa tertawa melihat tingkah adiknya yang satu ini. Davina memang manja, tapi kadang bersikap dewasa. Davina hanya berbeda dua tahun darinya. Saat itu, Sily datang sambil memakan sosis yang ia ambil di kulkas. Gadis itu tak sengaja melihat seorang gadis yang sedang berada di gendongan Daren. Seorang gadis yang hanya memakai baju handuk. Tali bra merah yang terlihat karena lengan pakaiannya yang sedikit merosot. Sily menutup mulutnya. Daren yang melihat Sily datang langsung menjatuhkan Davina ke lantai, membuat gadis itu meringis. "Daren!" omel Davina. Davina juga menyadari kehadiran Sily. Beda hal nya dengan Daren yang terlihat kikuk, Davina malah kebingungan. Tentu saja. Seorang gadis asing berada di rumahnya adalah satu hal yang aneh. "Kamu siapa?" tanya Davina, sambil membenarkan baju handuknya yang merosot. Sily tersenyum. "Bukan siapa-siapa. Yaudah lanjutin aja. Sily gak lihat, kok. Nih, Sily tutup mata," katanya sambil menutup matanya dengan telapak tangan. "Sily, dia itu ..." "Sily masuk dulu." Sily berlari masuk ke dalam kamar. Daren menghela napas kasar, lalu menatap sang adik dengan tatapan sebal. "Kenapa?" tanya Davina yang merasa aneh karena ditatap seperti itu. "Pakai baju kamu!" omel Daren yang langsung pergi meninggalkan Davina. *** Malam ini, seluruh keluarga Lemuel berkumpul. Adel sengaja mengumpulkan semuanya untuk memperkanalkan Sily. Yang ingin diperkenalkan malah sibuk menghabiskan kue di toples. Daren dan Davina berjalan menuruni tangga. Semua mata tertuju pada mereka. "Gimana mau dapat istri, nempelnya sama Davina terus," kata wanita tua yang tidak lain adalah nenek mereka. "Tahu, nih. Udah sebesar ini, pacarpun gak punya," sambung Adel. "Kakak itu bukan gak punya pacar, Ma. Tapi emang gak ada yang mau sama dia." Davina meledek sang Kakak. Daren hanya membalas dengan cubitan kecil dipinggul gadis itu. Adel menghapiri Sily yang asik memakan camilan. Ia mengajak Sily untuk duduk di meja makan. "Tapi, Sily, kan, bukan keluarga Lemuel. Kenapa Sily harus ikut ke meja makan?" tanyanya. "Sebentar lagi akan jadi keluarga Lemuel." Adel tersenyum penuh arti. Ia menarik tangan Sily, membawanya ke meja makan yang sudah dipenuhi keluarga Lemuel. Daren sebenarnya agak risi dengan perkumpulan keluarga ini. Memang tidak banyak yang datang, tapi cukup memenuhi meja makan panjang yang ada di ruang makannya. Apalagi, saat ini Sily duduk disampingnya. Biasanya Davina yang berada di tempat itu. "Adel. Kamu bilang mau kenalin seseorang," tanya wanita berambut ikal yang tidak lain adalah Kakak perempuan Ayahnya. "Ah, iya." Adel mengajak Sily berdiri. "Ini Silyka ... Ayo sapa mereka, Nak," perintah Adel. Sily tersenyum sambil membungkukkan badannya memberi hormat. "Halo," sapanya dengan suara lucu yang mampu membuat seisi ruangan tersenyum. Kecuali Daren. "Hanya Silyka?" tanya Nenek. "Silyka Moerems." "Moerems?" Wanita tua itu melirik Adel yanhg saat itu tersenyum. Tak lama sebuah senyuman mengembang di wajah wanita tua itu. Daren menangkap senyum di wajah Mama dan Neneknya. Ia bergumam, "Sebenernya ada apa dengan 'Moerems'? Kenapa mereka selalu senang kalo dengar marga itu?" Davina yang mendengarnya langsung mendekati Daren dan berbisik. "Itu karena dia yang akan jadi istri Kakak." Uhukk! Uhukk! Daren mengusap dadanya yang sakit karena tersedak. Ia melotot ke arah Davina, meminta penjelasan soal apa yang gadis itu katakan tadi. Davina hanya tersenyum, lalu menyilangkan kedua tangannya, menyuruh Daren mendengarkan pembicaraan antara Nenek, Mama dan Ayahnya. "Jadi, kamu anak Brenda Moerems?" tanya David—Ayah Daren. Sily mengangguk. "Kalian semua kenal sama Mama Brenda?" tanya Sily takjub. Ia tidak tahu Mamanya akan seterkenal ini. "Tentu. Kami punya kesepakatan." "Kesepakatan apa?" tanya Sily penasaran. "Menikahkan kamu dengan Daren." "APA?!" ucap Sily dan Daren bersamaan, mebuat Davina hampir saja tertawa. Lucu saja melihat ekspresi terkejut di wajah Daren dan Sily. Sebenarnya Davina sudah tahu sejak lama. Tentu ia tahu. Selama ini, ialah orang yang mengawasi Sily dan Brenda. "Ma-maksudnya gimana?" tanya Daren. Adel menyuruh Davina untuk membawa Sily ke kamar. Setelah memastikan Sily dan Davina pergi, Adel langsung duduk di sebelah putranya. "Kamu bilang, Brenda menitipkan Sily ke kamu, kan?" "Iya. Tapi gak bilang aku harus nikahin dia." "Memang." Daren tertawa sumbang. "Sebenarnya Mama ini mau ngomong apa, sih? Aku gak ngerti." "Brenda itu teman Mama kamu, Ayah, dan Mama. Kami berempat satu sekolah sampai kita kuliah. Tapi ... Setelah lulus kuliah, kami udah gak pernah melihat Brenda. Kami gak tahu dia ada di mana, tinggal di mana, dan gimana keadaannya. Sampai waktu itu, Brenda datang ke Ayah dan Mama kamu. Dia membawa bayi. Dia bilang dia diperkosa. Dia gak sanggup hidup seperti itu. Ayah dan Mama kamu membantu Brenda. Sebagai gantinya, mereka ingin merawat bayi yang Brenda bawa. Tapi, Brenda gak mau. Dia mau membesarkan bayi itu sendiri." "Bayi itu ... Sily?" Adel mengangguk. "Brenda punya penyakit kanker otak sejak kuliah. Semakin lama semakin parah. Brenda hanya ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama putrinya. Dia meminta tolong, untuk menjaga Sily jika suatu hari nanti dia udah gak ada. Tapi ... Gak tahu kalau ternyata dia meninggal karena kecelakaan, bukan karena penyakitnya. Dan kebetulan juga, kamu yang menolong Brenda. Semua kaya takdir, kan? Takdir kamu dan Sily untuk ketemu." Daren tertawa sinis. "Takdir macam apa yang harusin aku nikah sama gadis sepolos Sily? Dia lebih cocok jadi adik aku ketimbang istri. Dia bahkan lebih kekanak-kanakan dari Bian yang jelas-jelas masih SMP. Kalian semua ngaco!" Daren bangkit dari kursi dan pergi menuju kamarnya. David yang diam sejak tadi langsung angkat bicara setelah Daren pergi. "Kenapa kamu ngarang cerita kaya gitu?" "Dia gak akan mau menikahi Sily kalau kita kasih tahu yang sebenarnya. Moza suruh kita menikahkan Sily dan Daren. Kamu pasti tahu permintaan terakhir dia sebelum meninggal. Hanya ini satu-satunya cara menyatukan mereka." "Gimana kalo suatu hari nanti, Daren ingin caritahu? Soal Sily, soal Brenda, dan Hendrey?" "Benar. Kami semua tahu, Daren orang yang kaya gimana," sambung Dina—Adik David. "Soal itu, kita bisa urus nanti. Yang terpenting, Daren harus menikahi Sily. Itu permintaan Moza." *** Sily menatap Davina dengan wajah bingung. Gadis itu masih tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Davina. Menikah? Dengan Daren? Yang benar saja. Sily memang polos, tapi bukan berarti ia tidak tahu apa itu menikah. Bagaimana bisa gadis seusianya disuruh menikahi pria yang hampir menginjak 30 tahun? Dan lagipula, Sily tidak terlalu mengenal Daren. Ia tidak ingin menikah dengan pria yang tidak ia kenal. "Sily gak mau!" tolaknya sambil memalingkan wajah dari Davina. "Bukannya Sily sayang Mama Brenda?" tanya Davina. "Iya, tapi Sily tetap gak mau menikah sama Om dokter!" Davina tersenyum. Ia mengerti alasan kenapa Sily tidak ingin menikah. Tapi siapa yang bisa menolak ketampanan seorang Daren?. "Padahal, Om dokter baik, pintar masak, banyak uangnya. Om dokter juga ganteng. Ya, kan?" Apa yang dikatakan Davina memang benar. Daren itu sempurna. Tapi masalahnya Sily tetap tidak mau menikah. Jika ia menikah, ia akan terlihat tua dan tidak muda lagi. Sily juga tidak mau jadi bahan ledekan teman-temannya jika mereka tahu ia menikah tiba-tiba. Bagaimana reaksi Amey dan Irga? Sily bisa di wawancara tujuh hari tujuh malam. Membayangkannya saja Sily merasa ngeri. "Sily dengerin aku," kata Davina sambil menggengam tangan Sily. "Aku tahu mungkin pernikahan ini tiba-tiba. Tapi, Sil ... cuma kamu satu-satunya orang yang aku percaya bisa jadi istri Kak Daren. Selama ini Kak Daren selalu menutup hati. Dia bukan tipe pria yang mudah jatuh hati. Aku selalu pengin lihat Kak Daren menikah. Dia selalu kesepian, gila kerja, dan gak pernah urus diri sendiri. Dia gak peduli dengan orang selain pasiennya. Aku cuma mau Kak Daren punya seseorang disisinya." Sily menundukkan wajahnya. "Kenapa harus Sily? Banyak cewek di luar sana yang lebih baik buat Om dokter." Davina tersenyum. "Karena kamu Silyka. Aku tahu kamu istimewa." *** Daren duduk di balkon kamarnya sambil meminum segelas s**u hangat yang dibuatkan Davina. Ia merenung agak lama. Hanya suara angin malam dan beberapa serangga yang terdengar. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Davina masuk membawa makan malam yang tidak sempat dimakan Daren tadi. Ia menghampiri Daren dan menaruh nampan itu di meja, lalu gadis itu duduk di kursi sebelah. "Makan dulu!" "Iya, nanti aja." "Kak Daren—" Daren tersenyum lalu mengangguk. Ia mulai melahap makan malamnya. "Pasti mikirin omongan Mama tadi, ya? Soal pernikahan Kakak sama Sily?" "Hmm," gumam Daren sambil terus menyuap nasinya. "Terus gimana? Kakak mau?" Daren tidak menjawab. Davina tahu Daren pasti tidak akan mau. Tapi, Davina tahu Sily. Dia tahu segala hal tentang Sily. Sudah dua tahun terakhir, Adel menyuruh Davina untuk memantau Sily dan Brenda. Lebih tepatnya menjaga diam-diam. Adel tahu Brenda tidak mau menerima bantuan. Tapi, kehidupan mereka tidak baik-baik saja selama ada Hendrey. Davina selalu mengikuti Sily ke sekolah. Ia juga menyewa beberapa siswa untuk menjaga Sily. Semua sudah direncanakan Adel dan Davina. Hanya saja, mereka berdua tidak tahu jika Brenda akan meninggal karena kecelakaan itu. Sejujurnya Davina juga agak tidak setuju dengan pernikahan ini. Tapi ... Ini semua adalah keinginan Moza—Mama kandungnya. Moza meminta agar Daren hanya menikah dengan Sily. Itu permintaan terakhir Moza pada Adel dan Davina harus membantunya. Davina memang tidak tahu banyak tentang bagaimana cara membujuk Daren agar mau menikah. Tapi ... Ia sudah menyiapkan satu cara yang entah berhasil atau tidak. Ia akan mencobanya sekarang. "Thania—" Daren membeku saat Davina menyebut nama itu. Belum pernah ia mendengar nama itu lagi sejak 5 tahun terakhir. Ia bahkan sudah berusaha melupakan nama itu. Namun, hari ini Davina menyebutnya. Membuat hati Daren sedikit sesak. Tangannya gemetar, namun ia berusaha menutupinya dan mencoba tenang. "Jangan sebut nama itu." "Mungkin Kakak bisa melupakan Thania kalo Kakak mau menikah sama Sily." Daren menaruh piringnya di meja. Ia menghela napas. "Melupakan Thania itu urusan Kakak. Gak ada hubungan dengan menikahi Sily." "Kak. Tapi Kakak tahu kalo sebentar lagi dia kembali. Udah 5 tahun ... Harusnya begitu." Daren terdiam. Tangannya mengepal kuat, namun ia berusaha membuat ekspresinya tetap tenang. Ia menatap Davina. "Cuma karena dia kembali bukan berarti Kakak harus menikahi Sily. Gadis SMA yang akan merelakan masa mudanya hanya untuk hidup sama Kakak. Kamu beneran tega? Dia masih harus hidup sama teman-temannya, menghabiskan masa mudanya, supaya dia gak seperti Kakak yang menyesal karena mengorbankan masa muda Kakak hanya untuk menangisi gadis bernama Thania." Kali ini, nada bicara Daren sedikit meninggi. Tapi Davina tidak terkejut. Ia sudah menduga akan seperti ini. Daren selalu terbawa emosi jika ada yang mengungkit soal Thania. "Kenapa Sily gak dijadikan anak angkat?" "Sily gak seperti gadis SMA. Kakak tahu betul gimana sifatnya. Dia lebih lemah dari anak seumurannya. Sily butuh seseorang untuk menjaga dia, melindungi dia, dan menyayangi dia karena Mamanya udah gak ada. Kakak ingat siapa yang disuruh untuk menjaga dia? Kakak ingat siapa yang menyanggupkan untuk melakukan itu? Aku yakin Kakak lagi gak sedang lupa ingatan." Ya. Yang dikatakan Davina memang benar. Ia yang menyanggupi akan menjaga Sily bagaimanapun caranya. Ia sudah berjanji. Itulah yang ia sesali. Kenapa semudah itu ia menyanggupkan untuk menjaga Sily? Ia bisa saja diam saat Brenda memintanya melakukan itu. Salahnya. "Gimana sama Sily? Mana mungkin dia mau menikah sama Kakak yang seharusnya lebih cocok jadi Om nya?" Davina tersenyum. "Aku anggap Kakak setuju. Soal Sily, jangan khawatir." Davina menepuk bahu Daren sebelum pergi. Pria itu memijat pelipisnya. Jadi ... Apa yang akan terjadi selanjutnya?. -bersambung-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN