CHAPTER SIX

1846 Kata
Tengah malam, Daren merasa gelisah. Ia terus memikirkan soal pernikahan yang harus ia jalani. Ia terus memikirkan Sily. Apa gadis itu menerimanya? Apa gadis itu saat ini sedang dibodohi oleh adiknya agar mau menikah? Banyak prasangka buruk memenuhi otaknya. Ia terus mondar-mandir. Setelah berpikir lama, akhirnya Daren memutuskan untuk berbicara dengan Sily. Ia pergi ke kamar Sily. Dengan ragu, Daren mengetuk pintunya, pelan. "Sily," panggil Daren dengan suara yang tidak terlalu keras karena takut membangunkan yang lain. Dalam hati ia berdoa semoga Sily belum tidur. "Sily, ini saya Daren," katanya lagi namun tidak ada sahutan. "Sily, kamu udah tidur?" Masih tidak ada jawaban. Akhirnya Daren membuka pintu itu. Betapa terkejutnya ia melihat Sily yang berdiri di depannya menggunakan gaun tidur berwarna putih juga masker wajah yang memberikan kesan horor. Untung saja Daren tidak berteriak. "Astaga, Sily. Kamu, kok, bisa berdiri di situ tapi gak buka pintu buat saya? Pake masker segala, lagi. Bikin saya kaget, tahu!" omel Daren. "Sily itu lagi tidur, terus Om dokter bangunin. Sily, kan, harus kumpulin nyawa dulu, usap mata biar melek, gak bisa langsung jalan ke pintu. Om dokter aja gak sabaran!" Daren menghela napas. Ia melangkahkan kakinya masuk lalu menutup pintu kamar. Daren berdiri menghadap Sily yang masih belum membuka matanya sempurna. "Buka maskernya! Masker itu gak boleh dibawa tidur." "Oh, iya, Sily lupa." Sily melepas maskernya lalu membuangnya ke tempat sampah. Gadis itu berjalan agak lunglai sambil menguap ke arah sofa yang ada di dekat jendela lalu menyenderkan tubuhnya. "Om dokter kenapa nyari Sily? Mau minta masker?" tanya Sily dengan mata tertutup. "Saya mau ngomong serius." "Iyaudah, ngomong aja. Telinga Sily gak tidur walaupun mata Sily merem." Daren menyilangkan tangannya. "Kamu emangnya mau menikah sama saya?" Sily tidak langsung menjawab. Gadis itu ikut menyilangkan tangannya meskipun matanya masih tertutup. "Om dokter tengah malam begini datang nyari Sily cuma mau buat nanya itu?" Daren mendengus. "Cuma? Kamu menganggap itu hal sepele, tapi enggak bagi saya." Kali ini Sily membuka matanya, namun tidak membenarkan posisi duduknya. "Ya terus, Sily mesti gimana? Sily bilang gak mau tapi Kak Davina selalu maksa Sily. Tante-Mama, Nenek, semua yang ada di sini nyuruh Sily nikah sama Om dokter. Satu lawan tiga gak akan menang," kata Sily dengan suara yang masih serak, suara khas bangun tidur. "Terus, intinya kamu mau nikah sama saya atau enggak?" Kali ini Sily berdiri. Ia berdiri menghadap Daren yang tengah duduk. Tangannya menunjuk Daren, lalu gadis itu tersenyum. "Om dokter itu ganteng, Sily suka." Sily menunjukkan cengirannya. "Tapi saya galak, suka ngomel, pelit ..." "Yang penting gak makan orang." Sily berjalan menuju tempat tidur, lalu merebahkan tubuhnya di sana. Daren hanya bisa mengedipkan matanya dan mencoba mencerna apa yang gadis itu pikirkan. "Emangnya kenapa kalo saya makan orang?" tanya Daren sedikit berteriak karena jarak sofa dan tempat tidur Sily lumayan jauh. Sily tertawa. "Karena Sily gak tahu caranya masak orang." Daren tertawa tanpa sadar. Jawaban Sily memang ngawur, tapi juga tidak salah. Bocah sepolos Sily memang selalu mengatakan hal-hal secara spontan tanpa berpikir terlebih dahulu. Dan anehnya, Daren dibuat tertawa karenanya. "Dasar bocah," gumama Daren. Pria itu bangkit hendak pergi meninggalkan kamar Sily. Namun, saat pintunya tiba-tiba saja tidak bisa terbuka. Daren yakin ia hanya menutupnya. Kunci kamar Sily juga tergantung di luar dan ... "DAVINA! MAMA!" teriak Daren. Kedua orang yang sedang berdiri di luar hanya cekikikan. Mereka ber-highfive ria karena berhasil mengunci Daren agar berada di kamar Sily semalaman. Sily yang sedang tertidur langsung tertawa pelan. "Sily pokoknya gak mau!" Adel menggenggam tangan Sily, lalu menatap gadis itu penuh harap. "Daren cuma mau menikah sama Sily. Katanya Sily cantik, baik, pintar, dan lucu." "Emangnya Om dokter bilang gitu?" Adel mengangguk begitupula Davina. "Tapi kalo Om dokter galak gimana? Sily gak suka orang galak." "Kalo kak Daren galak, kamu harus galakin balik. Begitu cara mainnya," jelas Davina. Sily terus tekekeh dalam tidurnya. Masa bodo ia ditertawai karena menikahi Om-Om. Yang penting Sily senang. Menikahi Daren? Sily penasaran bagaimana rasanya pernikahan itu. Disatu sisi, Daren terus mengacak rambutnya frustrasi. Terkunci di kamar Sily bukan masalah besar baginya. Tapi kenapa mereka melakukan itu? Daren tidak habis pikir. Akhirnya pria itu memutuskan berjalan menuju sofa dan membaringkan tubuhnya di sana dengan perasaan kesal. Pagi harinya, Sily terbangun saat seseorang mengetuk pintu. Sily mengucak matanya lalu menoleh ke arah pintu. Di sana sudah ada Davina dan Adel yang sedang berdiri menatap Sily cekikikan. "Gimana tidurnya? Nyenyak banget, ya, Sily?" tanya Adel. Sily mengangguk dengan wajah ceria. "Pasti. Sily, kan, selalu membaca doa sebelum tidur. Jadi, tidurnya nyenyak." "Bukan karena ada yang nemenin?" singgung Davina. Sily menggaruk belakang kepalanya. "Oh, ada Om dokter tidur di sofa—" Sily menoleh ke arah sofa, tapi tidak mendapati Daren ada di sana. Lalu ia merasakan selimutnya tertarik ke samping. Daren sedang tidur di sebelah Sily dengan pulas. Sily tidak terkejut, ia malah keheranan. "Sejak kapan Om dokter pindah ke tempat tidur?" Daren menggeliat pelan. Ia mulai membuka matanya, kemudian menguap. Daren begitu terkejut saat melihat selimut yang ia kenakan tidak seperti miliknya. Kemudian ia tersadar. Pria itu menoleh ke arah Sily yang tengah menatapnya heran. "Kamu ngapain di sini?" tanya Daren agak keras. "Kebalik, Om!" "Saya kenapa di sini?" Sily menunjukkan ekspresi datarnya. "Jangan tanya Sily. Sily gak peduli." Gadis itu bangkit daru tempat tidur menuju kamar mandi. Davina dan Adel sama-sama menatap Daren dengan tatapan menggoda. Darena langsung bengkit dan berlari kembali ke kamarnya. "Dasar anak muda," kata Adel. "Mohon maaf tapi Kak Daren udah gak muda lagi, Mah. Udah mau tua." "Maksud Mama jiwanya." "Iyain aja, deh. Takut durhaka." Davina melangkah pergi disusul Adel di belakang. *** Daren benar-benar gugup. Sejak tadi ia menggoyangkan kakinya. Daren terus mengatur napasnya. Matanya beralih menatap sosok cantik disebelahnya—Sily—gadis itu tampak tenang sambil mengagumi henna yang menghiasi tangannya. Sungguh luar biasa, disaat seperti ini Sily bahkan tidak terlihat gugup. Adel memakaikan sebuah selendang putih ke atas kepala Daren dan Sily. Semua orang sudah berada di sana termasuk seluruh keluarga Daren dan keluarga kedua sahabat Sily, Irga dan Amey. Kedua sahabatnya itu mendapat kabar bahwa mereka diminta datang sebagai keluarga Sily. Tentu, Irga dan Amey sangat terkejut mengetahui Sily akan menikah. Lama menghilang, mereka malah mendapati Sily yang duduk manis dengan gaun putih yang membuatnya terlihat cantik. Alih-alih menjawab pertanyaan kedua sahabatnya alasan kenapa dia menikah padahal masih sekolah, Sily hanya mengatakan, "Gak tahu. Dan Sily gak mau tahu." "Gimana? Udah bisa dimulai, Pak?" tanya penghulu kepada David yang duduk di sebelah penghul bersama Adel dan Davina. "Dimulai aja, Pak." "Baik. Saya akan mulai. Saudara Daren. Mari jabat tangan saya." Daren mengikut saja apa yang dikatakan penghulu itu. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Silyka Moerems binti pulan dengan seperangkat alat salat dan satu unit rumah dibayar, tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya, Silyka Moerems binti pulan dengan mas kawin tersebut, tunai." "Sah?" Seluruh orang yang ada di sana berseru. "Sah!" Sily masih tersenyum menatap Adel yang tersenyum padanya. Adel terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Adel menujukkan telapak tangannya. Sily tidak mengerti. Gadis itu berpikir mungkin Adel sangat menyukai henna miliknya, namun, Davina berlari kecil menghampiri Sily, lalu membisikkan sesuatu. "Kamu harus cium tangan Kak Daren," bisik Davina. Sily menoleh menatap Daren yang kini sedang menatapnya. Daren tidak mengatakan apapun selain menatap Sily yang bingung harus melakukan apa. Akhirnya setelah berpikir agak lama, gadis itu langsung tertawa, membuat semua orang yang ada di sana terkejut, termasuk sang penghulu. Sedangkan Irga dan Amey hanya menutup wajah malu karena kelakuan Sily. Sily tertawa agak lama, lalu ia menarik lengan Daren. "Habis ijab kabul, harus salim sama Om, ya? Sily lupa. Maafin, ya?" Sily langsung mencium tangan Daren layaknya ia mencium tangan Brenda. Meskipun hanya sebentar, tapi mampu membuat hatinya berdesir. Ia menelan ludah saat Sily tersenyum ke arahnya. "Om gak bilang Sily, sih," omel Sily dengan suara khasnya yang lucu. Di satu sisi Baska sedang menahan tawanya bersama Davina. Entah kenapa Baska merasa kasihan pada Daren. "Udah gak punya pacar sejak ditinggalin doi, jomlo karat, eh, nikah-nikah sama anak SMA. Kakak kamu hidupnya lawak bat, dah, ah." Davina yang mendengar itu langsung menyenggol lengan Baska. "Hush. Kalo ngomong jangan suka bener, ih!" Davina dan Baska tertawa bersama. Namun, dengan suara yang kecil. Setelah ijab kabul selesai, saatnya acara makan. Pernikahan ini hanya dihadiri keluarga Sily dan Daren saja. Menurut David, akan lebih baik jika pernikahan ini tidak terpublikasi sebelum Sily lulus sekolah. Menurutnya itu lebih baik untu Sily. Setelah Sily lulus, mereka baru akan mengadakan pesta besar. Begitulah rencana David. Daren sibuk menyapa keluarga Irga dan Amey. Berbeda dengan Sily yang sedang sibuk makan bersama kedua sahabatnya. Sily mengambil banyak sekali salad buah yang ada di meja prasmanan. Irga dan Amey hanya geleng-geleng melihat tingkah Sily. "Mey. Sily mau kasih tebak-tebakan, nih," kata Sily dengan mulut penuh buah. "Apaan, tuh?" "Salad ... Salad apa yang kalo liat doi jadi lebay?" Amey menggaruk alisnya, berpikir. Irga mau ta mau juga ikut berpikir. "Salad apaan, tuh?" "Salad tingkah kalo liat dia. Hahahah." Sily tertawa agak keras, sedangkan Irga dan Amey hanya memutar bola mata malas. "Gak nyambung, woi!" "Bodo! Yang penting Sily senang." "Sekarang aku. Telor dadar ... Telor dadar apa yang ganteng tapi tua?" tanya Irga pada kedua gadis yang kini tengah berpikir keras. "Kakeknya telor dadar," kata Sily, asal. Irga menoyor kepala Sily. "Salah, bodoh!" "Telor dadar yang udah punya cucu!" sahut Amey. "False. Jawabannya ... Telor daDaren Lemuel. Buahaha." Irga tertawa lebih keras dari Sily. Kedua gadis itu ikut tertawa, namun sedetik kemudian mereka berheti. Sily berdeham dan kembali melanjutkan kegiatannya menyantap salad yang tertunda. Irga masih tertawa sambil memegangi perutnya. Amey menyenggol lengan Irga, membuat cowok itu menoleh. "Apaan? Lucu tahu! Dadaren Lemuel ... Hahaha, receh bat, sumpah." Amey terlihat gugup dan lebih memilih mengabaikan Irga. "Jadi ... Saya tua, ya?" Suara berat itu terdengar jelas dari belakang Irga. Cowok bermata cokelat itu membeku seketika. Ia terbatuk beberapa kali sebelum akhirnya menoleh memastikan siapa yang bicara. Tentu saja Irga kaget mendapati Daren berdiri di belakangnya. "Eh, Om ... Tadi aku disuruh Sily, kok. Beneran, deh. Suer." "Lah? Kenapa Sily? Enak aja main salah-salahin. Sily lempar garpu salad baru tahu rasa." "Sily jaga sikap kamu!" omel Daren yang melihat Sily hendak melmpar garpunya. Sily yang disalahkan terlihat tidak terima. Ia berdecak pinggang sambil menunjukkan wajah sebal. "Masa Om belain Irga? Istri Om itu, aku apa Irga?" Daren tidak menjawab. Ia hanya menghela napas lalu duduk di sebelah Irga, membuat cowok itu agak ngeri dengan aura yang terpancar di wajah Daren. Menyeramkan tapi tampan. "Ah, Sily jadi gak lapar ...." Sily menaruh garpunya, lalu beranjak pergi dari sana. "Loh, Sily, mau ke mana?" teriak Amey yang langsung menyusul Sily dari belakang. Baru saja Irga hendak menyusul kedua temannya, Daren menahan lengan cowok itu. Tentu saja Irga ketakutan, sampai-sampai ia menutup matanya seolah sedang melihat setan. Ia takut, Daren marah karena kejadian tadi. "Kamu di sini aja. Saya mau nanya ...." "Eh?" Irga membuka matanya. "Mau nanya saya?" tanya Irga masih tak percaya. Daren mengangguk lalu melahap sepotong cake yang ada di meja. "Ceritain saya tentang Sily, kesukaan Sily, hobi, hal apapun itu. Ceritakan ke saya, semuanya." -bersambung-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN