CHAPTER SEVEN

1828 Kata
Sily dan Daren sibuk berfoto bersama keluarga. Sebenarnya Sily agak lelah harus tersenyum ke sana-ke mari. Ia juga ingin sekali membuka gaunnya. "Sily! Kak Daren! Lihat sini!" panggil Davina. Keduanya menoleh lantas Davina langsung memotret begitu saja. Tentu saja Sily langsung menghampiri Davina untuk melihat hasil jepretan gadis itu. "Ah, Sily nya merem. Gagal! Gagal! Dari ulang!" Sily kembali berdiri di samping Daren. Ia menunjukkan kedua jarinya yang berbentuk V lalu menaruhnya di dekat wajah. "Kak Daren senyum, kek!" suruh Davina. Sily melirik Daren. "Om dokter ...." "Hmm." "Om dokter lihat Sily dulu!" Daren menoleh, lalu jari telunjuk Sily menusuk lesung pipi Daren. Gadis itu tersenyum senang. "Jari Sily teggelam, masuk ke lubang hitam. Aaaaa ... Tidak ...." kata Sily sambil berakting bahwa tangannya tertarik. Padahal, jarinya hanya menempel di pipi Daren. Melihat itu, Daren tertawa. Lesung pipi yang tadi hanya samar-samar sekarang mulai terlihat jelas. Sily langsung menoleh ke arah Davina. "Oke, cekrek, kak!" Davina memotret keduanya yang sama-sama tertawa. Daren juga terlihat senang sekali, membuat Davina tersenyum. Sily senang dengan hasil jepretan Davina. Ia juga senang karena ia bisa membuat Daren tersenyum lepas di foto itu. "Yaaa ... Perfect! Harus kirim ke aku, ya, Kak. Wajib!" "Siap!" Daren menghampiri Sily. “Kenapa sekarang manggilnya Om dokter?” Sily tersenyum. “Harusnya pas Sily tahu Om kerjanya sebagai dokter, Sily panggilnya Om dokter, Tapi Sily lupa mulu. Baru ingat sekarang.” Daren hanya bisa gelng-geleng kepala. Terserah apa katanya. Setelah acara selesai, Daren dan Sily pamit pulang ke rumah baru mereka yang dijadikan mahar. Sebenarnya, Daren lebih suka tinggal di apartmennya. Tapi David melarang karena apartmen itu terlalu berisik dikarenakan berada di pinggir kota. David sengaja membelikan rumah yang tidak jauh dari sekolah Sily. Itu karena Sily meminta agar rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah lamanya. Akhirnya, mereka pulang setelah acara yang melelahkan. Hari juga sudah mulai gelap. Sily sudah berganti dengan pakaian santai, namun riasan wajahnya belum dihapus, membuat Sily risi. "Ish, ini orang kalo dandanin enggak sayang sama bedak, apa, ya? Tebel, beut. Jadi kayak lenong." Sily berbicara sendiri di depan cermin kecil yang ia bawa. Daren masih fokus menyetir. "Wah, pantesan mata Sily kayak ada beban-bebannya gitu. Ternyata ada penipu di mata Sily." Kali ini Daren seperti tertarik dengan gadis itu. Ia menoleh, melihat Sily sedang berusaha melepas bulu mata palsunya. "Apanya yang penipu? " tanya Daren kebingungan. "Iya. Nih!" Sily menunjukkan bulu mata palsunya pada Daren. "Dia penipu. Bukan bulu mata asli. Bohong ini bohong." Daren tertawa kecil mendengar apa yag dikatakan Sily. Memang, yang dikatakan Sily ada benarnya juga. Tapi, cara Sily menyampaikan sesuatu selalu membuat Daren ingin tertawa. Bukan cuma cara bicara Sily yang seperti anak-anak, tapi juga gadis itu selalu berbicara ngawur. "Sily, kamu lapar?" tanya Daren pada akhirnya. "Enggak. Tapi Sily pengin makan martabak keju yang kejunya banyak, terus susunya satu kaleng, yang ada wijennya juga, tapi wijennya harus terpisah." "Tapi itu minyak semua. Keju udah mengandung s**u, kamu gak perlu pake banyak s**u lagi. Terus juga, margarin dalam martabak itu banyak banget, gak baik buat—" “Ya udah, ga usah," kata Sily, memotong omongan Daren yang bahkan belum selesai. Gadis itu menatap ponselnya tanpa bicara lagi. Melihat itu, Daren menghela napas. Ia terus melajukan mobilnya. Beberapa menit kemudian ia memarkirkan mobilnya di dekat sebuah kedai kecil bertuliskan 'Martabak Yapora'. Daren turun dari mobil tanpa mengatakan apapun. Sily yang melihat itu hanya bisa menggaruk belakang kepalanya. "Tadi, bilangnya gak boleh makan martabak. Tapi sekarang malah berhenti di tempat martabak. Dasar Dadaren," umpat Sily. Setelah 15 menit, Daren kembali ke mobil membawa kantong plasik di tangannya. Ia menaruh kantong iti di atas pangkuan Sily. "Kejunya banyak, susunya sekaleng, wijennya dipisah," jelas Daren yang membuat mata Sily berbinar. "Eh, satu lagi, Om. Kita belum beli es krim." Daren melebarkan matanya. "Kamu makan manis-manis semua? Gak takut gemuk?" tanya Daren. Ia tidak bisa membayangkan makan banyak makanan yang manis. Pasti mual sekali. Daren tidak terlalu suka manis. Sily menyilangkan kedua tangannya, lalu memasang wajah sombong. "Om gak tahu? Sily punya kekuatan super." "Kekuatan super-superan?" "Bukan! Sily punya kekuatan super yang lebih hebat dari kekuatannya Thanos," katanya menyebut salah satu karakter dalam film avangers. "Kekuatan Sily adalah gak akan bisa gemuk walaupun makan banyak makanan manis, asam, asin, gurih, pedas. Apapun itu, Sily akan tetap ramping seperti Ola Ramlan di iklan korset." Daren mendengus. "Itu karena kamu belum punya anak. Rata-rata, gadis seusia kamu memang susah gemuk, bukan gak bisa. Tapi, setelah nanti kamu hamil dan punya anak, hormon kamu akan meningkat. Gak menutup kemungkinan kamu akan jadi kaya gentong hajatan." Sily tidak terima tentang asumsi Daren yang mengatakan ia akan gemuk jika hamil. Buktinya, Brenda tidak gemuk sama sekali meskipun sudah punya anak sebesar Sily. "Enggak. Sily gak akan jadi gemuk meskipun punya anak. Kalo gak percaya, ayo buktiin!" Daren mengerutkan dahinya. "Buktiin apa?" "Buktiin kalo Om dokter salah. Ayo kita punya anak!" Sily benar-benar gila. "Ngomong itu dipikir dulu, Sily. Ngawur aja kamu kalo ngomong. Kamu mau punya anak hanya sebagai eksperimen kamu buat ngebuktiin kalo saya salah? Jangan ngomong lagi. Saya mau fokus nyetir." Sily yang tadinya hendak bicara langsung diurungkan saat melihat ekspresi datar dari Daren. Kenapa pula Daren yang marah? Harusnya, kan, Sily yang marah karena Daren mengatainya akan menjadi gentong hajatan. Daren memang aneh. Disisi lain, Daren mencuri-curi pandang melirik Sily yang sibuk memandang ke luar jendela. Perkataan Sily tadi mampu membuat Daren menegang. Bisa-bisanya Sily mengatakan itu dengan santai sedangkan ia harus mengendalikan dirinya agar tidak terlihat gugup. Ah, benar-benar membuat frutrasi. Salahnya karena mengungkit-ungkit soal hormon pada Sily. Sudah tahu pemikiran Sily seluas jagat, masih saja bicara padanya. Mereka sampai di sebuah rumah berwarna abu-abu. Sily tidak memperdulikan Daren. Ia langsung berlari sambil memebawa kantong plastik martabaknya ke arah pintu. Sily sudah tidak sabar ingin melihat rumah baru. Daren menekan pin rumah, lalu terdengar bunyi, 'Bip'. Sily bergegas masuk ke dalam. Daren menyalakan lampu rumah dan saat itu Sily terkagum-kagum. Rumahnya lebih besar dari apartmen Daren. Tapi ... Ia jadi tidak bisa melihat pemandangan kota dari atas. Sily jadi rindu apartmen Daren. Menangkap perubahan ekspresi Sily, Daren langsung bertanya, "Kenapa?" "Di sini gak bisa lihat gedung-gedung tinggi lagi," kata Sily kecewa. "Siapa suruh kamu minta pindah?" "Sily menyesal!" teriak Sily dengan penuh dramatisasi. Daren memutar bola mata malas. "Penyesalan memang selalu datang diwaktu yang tepat," gumam Daren. Pria itu membuka jasnya, lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Bahkan Ayahnya membelikan sofa yang mahal. Benar-benar luar biasa. David melakukan semua ini untuk Sily. Sudah selesai menghadapi penyesalan, Sily langsung duduk di sofa satunya dan mengeluarkan martabak yang dibeli Daren. Sebelum membuka kotaknya, Sily menghirup aroma manis martabak yang keluar dari lubang-lubang kecil di sekitar kotak. "Martabak emang yang terbaik," kata Sily senang. Gadis itu dengan lahap memakan martabaknya. Daren melirik sebentar. Ia melihat banyak minyak yang mengalir di sela-sela jari Sily. Pria itu mengambil tisu basah lalu menarik tangan Sily yang satunya, sedangkan tangan satu lagi sibuk menyomot martabak. "Lain kali, makan harus pake sendok atau garpu. Jangan makan pake tangan kaya gini. Banyak kuman." "Orang Indonesia itu, makan pake tangan, yang pake sendok itu orang yang gak punya tangan," kata Sily dengan mulut penuh martabak. "Tapi, kalo tangannya gak dicuci dulu sebelum makan, sama aja kaya makan pake sendok semen." "Bodo. Yang penting Sily kenyang." "Saya juga masa bodo. Yang penting saya udah kasih tahu." Daren menarik tangan Sily yang satu lagi lalu mengelapnya. Sily mengusap perutnya yang begah karena makan terlalu banyak. Memang luar biasa. Kapasitas perut Sily melebihi kapasitas karung beras yang sering dibawa Bi Ratih. "Om dokter, Sily boleh nanya?" "Enggak," jawab Daren, cepat. "Kenapa, sih, Om dokter mau nikahin Sily? Padahal, di luar banyak cewek cantik bin seksi, bin bohay yang syalala macam-macam Lucinta Luna seksinya. Terus pasti di rumah sakit tempat Om dokter kerja, banyak yang cantik. Lagi viral, tuh, perawat cantik yang suka bikin t****k. Sily pernah lihat waktu itu. Kenapa Om mau nikahnya sama Sily?" Daren selesai membersihkan tangan Sily. Sekarang tangan itu kembali bersih tanpas setetes minyak pun. Daren bangkit berniat membuang tisu yang tadi ia gunakan, namun tangannya di tahan oleh Sily. "Sily nanya, kok, gak dijawab?" "Perasaan, saya gak pernah bolehin kamu nanya tadi. Kalo kamu ingat." Sily terdiam. "Iya juga, sih. Tapi Om harus jawab Sily. Ini penting banget, beneran, no tipu-tipu." "Sepenting apa jawaban saya buat kamu?" Sily berpikir sebentar, lalu menatap Daren. "Sepenting pelajaran matematika di sekolah Sily. Kalo Sily gak lulus matematika, Sily gak akan naik kelas." "Hmmm, gitu." Daren mengangguk. Ia melempar tisu itu dan masuk ke dalam tempat sampah. Pria berambut cokelat itu menyilangkan kedua tangannya di d**a, lalu menatap Sily yang tengah menunggu jawabannya. "Saya gak pernah bilang mau nikahin kamu. Saya bilangnya akan jaga kamu. Tapi ... karena dengan dengan menikahi kamu berarti menjaga kamu, ya, harus saya lakukan." Bohong ... Bukan itu yang membuat Daren mau menerima pernikahan ini. Semua ini karena Thania. Ia berharap, dengan menikahi Sily, ia bisa melupakan Thania. Ia juga berharap, Thania tidak akan pernah muncul lagi dihidupnya. Jika suatu saat ia harus bertemu Thania, setidaknya ia punya Sily untuk dijadikan alasan. Mungkin, sebagai alasan agar gadis itu tidak mengira bahwa perasaan Daren masih sama seperti lima tahun lalu. Daren hanya ingin Thania beranggapan ia sudah move on. Hanya itu saja. Meskipun kenyataanya tidak begitu. "Mama Brenda tahu, gak, ya, kalo Sily menikah?" Daren menggaruk alisnya. "Tahu, kok. Mama yang kasih tahu ke Mama Brenda." "Oh, iya. Waktu itu Mama Brenda kirim pesan ke Sily—" saat Sily membuka ponselnya, ia terkejut karena tidak mendapati pesan dari sang Mama. Ia sibuk men-scroll pesan masuk yang ia terima. Namun, ia tidak menemukan pesan Mamanya. Padahal ia ingat sekali Mamanya mengiriminya pesan di hari saat rumahnya terbakar. "Kok, gak ada? Padahal Sily ingat Mama Brenda kirim pesan." Sily masih sibuk mencari pesan dari Brenda. Disisi lain, Daren hanya bisa manghela napas berat. Sebenarnya, di hari Sily menunjukkan pesan itu padanya, Daren diam-diam menghapusnya. Ia tidak ingin Sily curiga jika ia menyembunyikan sesuatu tentang Mamanya. Rasanya, Sily masih belum siap menerima kenyataan itu. Ia tidak bisa membayangkan akan betapa hancurnya gadis seceria Sily jika tahu Mamanya telah lama meninggal. Daren tidak akan sanggup melihatnya. "Kamu mimpi, kali. Buktinya, gak ada pesannya." "Tapi, aku ingat waktu itu aku pernah kasih tahu, Om. Ya, kan?" "Enggak, saya gak ingat." Sily menggaruk alisnya. Apa iya, dia cuma bermimpi? Tapi kenapa rasanya nyata sekali? "Gak tahu, ah. Sily migrain. Sily mau tidur." Daren manarik Sily, membuat gadis itu kembali terduduk. Sily mengerutkan dahinya kebingungan. "Jangan langsung tidur. Kamu baru habis makan." "Kenapa? Apa alasannya?" tanya Sily. "Alasannya, karena kamu harus beresin semua ini!" Daren menunjuk kotak martabak dan plastik yang berserakan di lantai, lalu mencubit pipi Sily pelan. "Bersihin yang bener, ya. Bi Ratih belum datang, jadi kamu yang harus beresin rumah." "Kenapa Sily? Sily, kan, tuan rumah." Daren memasang wajah sombongnya. "Tapi ... kamu, kan, istri. Istri harus menuruti kata suami. Jadilah istri yang baik, wahai Silyka Moerems. Ah, ralat ... Silyka Lemuel." "OM DOKTER!" -bersambung-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN