"Om dokter, Sily sakit kepala. Kaya muter-muter gitu. Terus perut Sily kembung, padahal Sily cuma makan salad sama martabak tadi. Terus, mata Sily panas kaya abis ngeliat api unggun," rengek Sily yang terus memukul-mukul kepalanya yang sakit dengan telapak tangan.
Daren datang membawa segelas air putih dan sebutir obat lalu menghampiri Sily yang saat ini wajahnya pucat. "Jangan dipukulin terus kepalanya. Nanti otak kamu kegeser, makin ngawur aja entar cara berpikir kamu. Udah berhenti!"
"Tapi kalo gak dipukul, sakitnya kerasa. Kaya ditusuk sedotan pop ice." Sily merengek, matanya memejam hingga meninggalkan kerutan di sudut matanya. Daren memijat kepala Sily. Tidak terlalu keras, juga tidak terlalu pelan. "Masih sakit?"
Sily membalikkan tubuhnya lalu memasang wajah memelas sambil menatap Daren. "Sily gak mau minum obat."
"Ya kalo gak minum obat, gimana bisa sembuh?"
"Om dokter, Sily gak suka obat."
"Kalo gak suka, makanya jangan sakit," omel Daren. Pria itu menyelimuti Sily, lalu membiarkan gadis itu memejamkan matanya. Beberapa menit setelahnya, Sily sudah tertidur. Namun, disela-sela tidurnya, gadis itu bergumam. "Om dokter jangan marah."
Mendengar itu, Daren jadi tidak tega. Ia terus menemani Sily, mengompres, mengelap keringat, bahkan memijat kepala Sily. Hari sudah semakin larut. Daren kembali ke ruang tamu, lalu membersihkan kotak martabak yang ditinggalkan Sily. Daren bergumam, "Masa karena makan maratabak, sih? Apa jangan-jangan salad?"
Saat Daren hendak membuang sampah ia langsung teringat sesuatu. "Astaga." Pria itu menepuk dahinya agak keras. Bagaimana ia bisa melupakannya?
"Om mau saya ceritain soal Sily?" tanya Irga masih agak ragu.
"Iya. Semuanya."
Irga menggaruk alisnya pelan. "Mulai dari mana, ya?" katanya berpikir, lalu sedetik kemudian ia menceritakan soal Sily, "Pokoknya, Sily itu gampang sakit, Om. Tante Brenda gak pernah izinin Sily ke supermarket, karena kalo Sily ke supermarket, Sily akan beli banyak snack dan es krim. Sily suka banget es krim. Tapi kalo habis makan es krim, Sily langsung demam. Sily suka makan-makanan manis, kaya martabak, gulali, roti goreng, tapi setelah makan itu dia pasti langsung sakit perut."
Daren mengerutkan dahinya. "Kok, bisa?"
Irga menggedikkan bahu. "Gak tahu. Sebenernya bukan Sily gak bisa makan itu semua. Tapi, kalo makan terlalu banyak ya efeknya bakalan kaya gitu."
Daren lupa jika Sily tidak boleh memakan makanan manis dalam jumlah banyak. Ia merutuki dirinya sendiri. Jadi, bisa dikatakan Sily sakit karenanya. Ya, tentu saja. Seharusya ia tetap pada pendiriannya yang menolak membelikan Sily martabak.
***
Daren telah selesai membersihkan tubuhnya dengan mandi air hangat. Rasanya lega sekali dan urat-urat tubuhnya tidak sekaku tadi. Baru saja Daren ingin mengambil bantal dan selimutnya, tiba-tiba Sily terbangun dan langsung terduduk dengan mata masih terpejam. Daren terlonjak kaget.
"Sily, kamu, kok, jadi kaya vampir bangkit dari kubur gini? Saya kaget, tahu!" omel Daren yang dibalas racauan Sily yang tidak jelas. Daren menghampiri gadis itu, memeriksa suhu tubuhnya dan kemudian denyut nadinya. Semuanya kembali normal. Cepat sekali sembuhnya? Hebat.
"Gampang sakit, tapi gampang sembuh juga. Kamu ini manusia dari planet apa? Cybertown?" gumam Daren sambil mengelap keringat Sily dengan handuk yang baru saja ia pakai.
"Om dokter ... Sily mau sekolah," gumam Sily, meskipun matanya masih tertutup. "Sily kangen teman-teman. Sily kangen masakan kantin. Sily kangen jalan kaki. Besok boleh, kan, Sily sekolah?" kali ini Sily sudah membuka matanya lalu menatap Daren dengan tatapan sayu. Daren menghela napas, ia menaruh handuknya ke atas nakas.
"Tapi, kamu baru mendingan. Masa besok udah mau sekolah?" tanya Daren lagi. Sily mengerucutkan bibirnya. "Tapi, Sily kalo sakit gak pernah lama. Besok Sily pasti sembuh. Om dokter harus percaya."
Daren tertawa pelan. "Iya, kamu cepet sembuhnya, tapi cepet juga sakitnya."
"Emangnya Om dokter gak kangen sama pasien-pasien Om dokter? Pasti mereka nyariin Om dokter terus kaya Sily nyari Om dokter pas Sily sakit tadi."
Daren menidurkan Sily, lalu menarik selimut, menutupi tubuh gadis itu sampai d**a. Pria itu mematikan lampu kamar dengan sebuah remote, lalu menyalakan lampu tidur yang ada di nakas. "Sebenarnya, alasan kamu itu gak menarik perhatian saya. Tapi, karena besok saya juga ada jadwal konsultasi, Bi Ratih juga belum datang, saya izinkan kamu sekolah."
Mata Sily yang tadi sayu langsung berbinar. Gadis itu tersenyum lebar. "Om dokter emang terbaik," kata Sily sambil mengacungkan kedua jempolnya di hadapan Daren.
"Tapi saya yang antar kamu sekolah."
"Siap, laksanakan."
“Ya udah, tidur. Ini udah tengah malam." Sily mengangguk. Namun, perhatiannya teralihkan saat melihat Daren mengambil selimut dan bantal. Pria itu berjalan ke arah sofa, lalu meletakkan bantal dan selimutnya di sana. Sily yang mellihat itu merasa kebingungan. "Om dokter tidur di sofa?" tanya Sily saat Daren hendak merebahkan tubuhnya.
Daren menoleh ke arah gadis yang kini menatapnya. Meski samar-samar karena hanya lampu tidur yang menyala, tapi Daren masih bisa melihat wajah Sily dengan jelas. "Iya."
"Kenapa gak tidur di tempat tidur bareng Sily? Sily udah biasa, kok, tidur bareng cowok."
Daren mengerutkan dahi. "Kamu tidur bareng cowok?"
"Iya, sama Irga. Sily sering tidur bareng Irga kalo lagi nginap di rumahnya."
Daren menggaruk alisnya. Ia mengehela napas. "Sily—saya dan Irga itu berbeda. Mungkin gak masalah buat Irga untuk tidur sama kamu, tapi itu masalah buat saya."
Sily kebingungan. Padahal ia tidak pernah membuat masalah saat tidur. Apa Daren takut jika Sily tidur dengan brutal? Atau karena Daren memang tidak suka tidur dengan Sily? Gadis itu masih tidak mengerti di mana salahnya sampai Daren tidak mau tidur di tempat tidur bersamanya.
"Sily, kan, gak pernah buat masalah kalo tidur," kata gadis itu dengan polosnya yang membuat Daren tidak tahu lagi harus menjawab apa. Daren lebih memilih membaringkan tubuhnya dan menyelimuti diri, lalu berkata, "Saya 27 tahun, Irga 18 tahun, ingat? Kami punya arti berbeda tentang tidur dengan kamu. Saya mau tidur, ngantuk. Jangan tanya lagi atau besok kamu gak boleh sekolah," katanya dengan sedikit nada marah.
Sily mendengkus. Padahal niatnya baik untuk menyuruh Daren tidur di tempat tidur. Tidur di sofa, kan, pegal. Kenapa malah Sily yang dimarahi? "Dasar Om-Om. Tahunya marah aja. Gak tahu apa, kalo Sily baik hati kaya ibu peri. Malah diomelin."
***
Pagi hari yang spesial bagi Sily, namun biasa saja bagi Daren. Sily senang memakai seragam sekolahnya lagi. Meskipun seragam sekolahnya baru, karena seragam yang kemarin sempat terkena kobaran api saat mencoba menerobos masuk karena mengira Brenda ada di dalam. Sily terus menciumi dasinya sambil tersenyum. Daren sedang menyiapkan sarapan. Sebuah sandwich berisi telur dan beef. Daren melirik Sily yang tidak berhenti tersenyum sambil menciumi dasinya.
"Sesenang itu kamu ke sekolah lagi?" tanya Daren sambil memberikan sepotong sandwich kepada Sily. Bukannya mengambil sandwichnya, Sily malah langsung menggigitnya padahal sandwich itu masih berada di tangan Daren. Sily mengangguk penuh senyum. Pipinya agak mengembung karena sedang mengunyah makanannnya. Daren menghela napas. "Saya suruh kamu pegang, bukan mau nyuapin kamu."
Sily menatap Daren yang kini sudah siap dengan kemeja biru muda, dan celana navy. Rambutnya di tata rapi. Sebuah kacamata berada sempurna menghiasi wajah putih Daren. Sily menunjuk kacamata itu. "Om Dokter emang pakai kacamata?" tanya Sily.
Daren menyuapi Sily lagi. Ya, meskipun tadi ia marah-marah karena Sily malah mengigit sandwich dan bukan mengambilnya. Alih-alih marah, Daren malah melanjutkan aksinya dengan menyuapi gadis itu. "Saya pakai kacamata diwaktu tertentu aja."
"Tapi, itu kacamata minus?" Sily berdiri di kursi, lalu mengambil kacamata yang dipakai Daren tanpa permisi. Daren tidak marah bahkan tidak berkata apapun. Sily memakai kacamata itu, namun tidak merasa menemukan sesutau yang berbeda dengan kacamata miliknya. Dan tentunya kacamata miliknya bukan kacamata minus.
"Ini kacamata biasa?"
Daren mengambil kacamata itu dari tangah Sily, lalu memakainya kembali. "Iya. Supaya mata saya gak sakit karena lihat kamu terus."
Sily mendengus. "Bohong!"
"Emang bohong."
Sily melompat ke bawah lalu berjalan membuntuti Daren di belakang. Mereka berjalan ke arah garasi. Sily langsung masuk ke mobil dengan perasaan senang. Senang karena bisa ke sekolah lagi. Ia rindu semua temannya. Saat sampai di sekolah, Sily langsung membuka seatbell nya dan hendak turun. Namun, dehaman Daren membuat gadis itu mengurungkan niatnya.
"Iya, lupa." Sily mencium tangan Daren.
"Pulangnya saya gak bisa jemput. Nanti saya minta Davina jemput kamu."
"Sily masuk aja belum, udah ngomongin pulang."
"Saya cuma kasih tahu."
Sily menganggukan kepalanya cepat. "Iya, Sily paham. Yaudah, Sily turun. Assalamu alaikum."
"Waalaikum salam."
-bersambung-