Setelah memastikan Sily masuk ke sekolahnya, Daren melajukan mobilnya pergi menuju rumah sakit. Sily berjalan dengan riangnya sambil menyapa siapapun yang ia temui. Senyum Sily mampu menghipnotis beberapa adik kelas cowok yang melewatinya. Ya, siapa yang tidak kenal Sily—kakak kelas paling cantik di angkatannya. Sily punya banyak penggemar, bahkan sudah banyak yang menyatakan perasaan pada gadis itu. Sily tidak punya musuh. Semua orang menyukainya termasuk guru-guru. Itu karena Sily sangat ramah dan murah senyum.
"Kak Sily itu udah cantik, sopan, ramah, murah senyum. Yang modelan kaya gini mau ketemu di mana lagi, coba?" kata salah seorang cowok yang duduk tak jauh dari Sily.
Sily berjalan memasuki kelasnya. Semua mata langsung tertuju pada Sily yang baru datang. "Kenapa? Kenapa lihatin Sily kaya gitu?" tanya Sily kebingungan.
"Sily, katanya rumah kamu kebakar?"
"Sily, sekarang kamu tinggal di mana?"
"Sily, udah sarapan belum?"
Berbagai pertanyaan menyambut Sily pagi itu. Gadis bermata cokelat itu tersenyum, lalu menjawab pertanyaan yang tertuju padanya, "Rumah Sily kebakar, tapi Sily sekarang tinggal sama Om dokter. Sily udah sarapan, kok, Genta," kata Sily sambil menatap Genta—temannya.
Gadis itu duduk di mejanya, kemudian menatap kedua manusia yang kini tengah memandangnya penuh tanya. Sily mengerutkan dahi menatap Irga dan Amey. "Ini kalian kenapa lagi?"
"Semalam kamu ngapain?" tanya Amey tanpa basa-basi. Sily mengedipkan matanya, lalu menyilangkan kedua tangannya. "Tidur, lah."
"Tidur sama siapa?" Sily mengingat-ingat. Jika ia bilang tidur sendirian pasti tidak benar. Toh, Daren ada di kamar juga. Akhirnya Sily menjawab, "Sama Om dokter."
"Nah, kan. Apa kata aku, Ga. Sily sama Om Daren pasti tidur," kata Amey kepada Irga yang masih diam tanpa ekspresi. Sedangkan, Sily malah kebingungan dengan reaksi Amey yang menurutnya terlalu ... heboh.
"Terus semalam gimana? Kamu ngerasain apa?"
Sily menaikkan sebelah alisnya, lalu sedetik kemudian gadis itu tersenyum. "Oh, semalam Sily sakit."
"Nah, kan. Sakit banget, ya? Pasti Om Daren gak pelan-pelan, deh." Amey memasang wajah khawatir, sedangkan Irga masih mencerna ucapan Sily.
"Enggak, kok. Semalam Om dokter pelan-pelan ngompres Sily. Lihat! Sekarang Sily udah sembuh."
"Dikompres juga? Ya ampun. Beda, ya, kalo malam pertama sama Dokter. Pake di kompres segala. Cepet banget lagi sembuhnya."
Mendengar kata 'malam pertama', Sily makin kebingungan. Sebenarnya ke mana arah pembicaraan Amey? Kenapa Sily makin tidak mengerti?
Irga menggebrak meja, membuat Sily dan Amey terkejut, begitupula teman-teman sekelasnya. Irga meyentil kening Amey juga Sily. "Aduh!" ringis keduanya setelah mendapat sentilan yang lumayan sakit di kening mereka.
"Kalian berdua itu ngomong tapi gak satu pemikiran tahu, gak?" omel Irga yang sudah tidak tahan mendengar percakapan kedua temannya itu. "Tidur yang dimaksud Amey itu, tidur yang dilakukan pengantin baru, Sily."
"Oh, itu." Sily mengangguk paham, lalu menatap Amey yang kini malah kebingungan sendiri. "Sily semalam tidur sama Om dokter. Tapi, Sily tidur di tempat tidur, Om dokter tidur di sofa. Sily semalam demam, makanya Om dokter ngompres Sily. Sekarang Sily udah sembuh."
"Nah, kan. Imajinasi kamu itu terlalu liar buat Sily sama Om Daren. Ya jelas mereka gak ngapa-ngapain. Sekarang kamu lihat Sily! Emangnya dia udah bisa ngelakuin tidur yang kaya kamu maksud tadi?"
Amey menggaruk belakang kepalanya. Benar juga kata Irga. Mana mungkin Sily melakukan itu sedangkan gadis yang satu ini saja tidak tahu banyak soal menikah dan menjadi istri. Kadang Amey masih tidak percaya jika temannya itu sudah menikah. Jika satu sekolah tahu, pasti akan menjad hari patah hati se-SMA Cakrawala.
"Iye, iye. Bawel bat, dah."
Tak lama, Bu Ratna datang dengan seseorang di belakangnya. Semua mata tertuju pada sosok itu terkecuali Sily yang sibuk merogoh tas mencari ponselnya namun tak kunjung ditemukan. Gadis itu lumayan panik sampai mengeluarkan semua isi tasnya ke atas meja.
"Pagi, anak-anak. Di sini saya akan memperkenalkan teman baru kalian yang akan mengikuti semester akhir di kelas ini. Kebetulan, dia pindahan dari Amsterdam dan akan melakukan ujian nasional di Cakrawala. Ayo, perkenalkan diri kamu!"
Cowok berambut agak cokelat itu tersenyum ramah. Semua cewek yang ada di kelas dibuat luluh hanya dengan satu senyuman. "Halo. Nama saya Zebaro Griel. Panggil aja Baro."
"Hai, Baro," sapa semua anak cewek termasuk Amey.
"Gila. Ini pasti Tuhan lagi baik banget sama aku. Pagi-pagi udah ada pangeran di depan kelas. Cakep bener, dah, ah."
"Biasa aja," sungut Irga yang sibuk dengan ponselnya. Ketika semua sedang sibuk mengagumi ketampanan Baro, saat itu juga Sily berdiri dari mejanya. Perhatian kini tertuju pada Sily.
"Ada apa, Sily?" tanya Bu Ratna yang terkejut karena tiba-tiba saja Sily berdiri dengan wajah kebingungan.
"Hp Sily hilang, Bu. Tadi perasaan Sily pegang. Kok, sekarang gak ada, ya?"
Bu Ratna sedikit menurunkan kacamatanya, lalu menghela napas. "Kalo saya tidak salah lihat, hp kamu ada di saku kemeja kamu."
Mendengar itu, Sily lagsung menundukkan kepalanya lalu melihat sakunya. Ternyata benar ... ponselnya ada di sana. Sily tersenyum kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya. "Sily lupa kalo di kemeja Sily ada sakunya."
Seluruh kelas tertawa terbahak-bahak termasuk Baro. Cowok itu tidak bisa mengalihkan pandagannya dari Sily. Gadis dengan rambut yang dikuncir kuda, serta jam tangan merah muda yang melingkar di pergelangan tangannya. Baro tidak berhenti tersenyum.
"Baro ... kamu duduk di sebelah Anton."
"Iya, Bu." Baro berjalan menuju mejanya. Kebetulan sekali, meja Anton ada di sebelah meja Amey dan Sily. Baro melirik ke arah Sily yang tengah menghidupkan ponselnya. Cowok itu mengulurkan tangannya.
"Hai, Sily. Aku Baro."
Sily menoleh karena merasa namanya dipanggil. Gadis itu awalnya kebingungan, namun sedetik kemudian ia tersenyum sangat ramah. Cantik sekali.
"Hai, Baro," kata Sily membalas jabatan tangan Baro. "Kamu pindahan? Kok, pindahnya pas beberapa bulan sebelum ujian? Emangnya boleh, ya?"
Baro menggaruk alisnya, kemudian tersenyum kikuk. "Aku gak tahu. Aku cuma disuruh pindah ke sini sama ayah. Habis itu, ketemu kamu, deh."
Sily mengangguk paham lalu kembali fokus pada ponselnya. Baro sempat melirik gadis itu yang sedang mengirim pesan pada seseorang. "Emang boleh main hp di kelas?" tanya Baro.
Sily menoleh ke kanan-kiri, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Baro. Gadis itu berbisik, "Gapapa, asal jangan bilang Bu Ratna, nanti diomelin."
Baro tertawa pelan, lalu berkata, "Kamu lucu Sily."
"Udah tahu," kata Sily penuh percaya diri juga.
"Kamu juga cantik."
"Yang ini juga udah tahu."
"Tapi kamu jomlo, ya?" Pertanyaan Baro membuat Sily tertawa agak keras. Bu Ratna sampai menoleh ke belakang.
"Itu yang di belakang, jangan ketawa! Kerjain tugasnya!"
Sily menutup mulut. Gadis itu berdeham pelan, lalu berbisik lagi ke arah Baro. "Yang ini, kamu yang sok tahu."
"Jadi, udah punya pacar?"
"Enggak."
"Terus?"
"Rahasia."
Baro tersenyum. Ia kembali menatap buku tulisnya. Cowok itu bergumam, "Menarik."
***
Sily sedang menunggu Davina di depan gerbang sekolah bersama Irga dan Amey. Ketiganya sama-sama sedang memakan es doger yang dibelikan Irga. "Gimana rasanya menikah? Enak, gak?" tanya Amey penasaran.
"Biasa aja." Sily fokus menatap jalan tanpa menoleh ke arah temannya itu.
"Biasanya gimana? Ayo, dong, cerita."
Akhirnya Sily menatap Amey. "Biasa aja. Sily tetap bangun tidur, langsung mandi, sarapan, sekolah, belajar, ke kantin, belajar lagi, pulang, makan es doger sambil nunggu Kak Davina," kata Sily dengan polosnya, membuat Amey menepuk dahi. Percuma saja menanyakan hal itu pada Sily.
"Iyaudah, terserah, deh."
Saat itu, Baro datang dengan motor merahnya dan berhenti di depan Sily. Cowok itu membuka kaca helmnya sambil tersenyum ke arah Sily. "Mau pulang bareng?" tawarnya.
"Enggak, Sily udah dijemput Kak Davina."
Baro mengangguk. Amey langsung begerak mendekati Baro sambil bersikap sok cantik. Ya, meskipun memang cantik. "Aku aja yang diajak pulang bareng. Aku, kan, gak dijemput."
Baro terkekeh pelan, kemudian mengangguk mengiyakan. Tentu saja Amey senang. Anak itu langsung naik ke boncengan Baro dengan senyum merekah. “Ya udah, kita duluan, ya."
"Bye-bye, rakyat-rakyat kurang beruntung," kata Amey sambil melambaikan tangannya lalu motor Baro melesat meninggalkan gerbang sekolah.
"Idih, apanya yang kurang beruntung? Jelas-jelas Sily duluan yang ditawarin, dia cuma dapet eres-eresannya," sungut Irga.
Tak lama, sebuah mobil putih datang dari arah berlawanan dengan arah yang dituju Baro. Mobil itu berhenti di depan Sily. Kaca mobil itu terbuka, menampilkan Davina yang tersenyum cantik. "Nunggu lama, ya? Ayo masuk! Kamu juga Irga!"
Irga dan Sily masuk ke dalam mobil. Mereka mengantarkan Irga pulang terlebih dahulu, lalu setelah itu barulah Sily yang diantar pulang. "Gimana sekolahnya? Senang?"
"Banget. Oh, iya. Sily juga punya teman baru namanya Baro. Dia ganteng, sih. Dia baik banget. Tadi dia antar Amey pulang."
Davina mengangguk. Jika diingat, Davina tidak pernah seantusias ini saat masih SMA. Melihat Sily sebegitu menyukai sekolah membuat Davina berpikir, mungkin Sily adalah cerminan Daren. Daren yang menggilai rumah sakit dan Sily yang menggilai sekolah. Manis sekali mereka berdua.
"Oh, iya. Om dokter kerja di rumah sakit mana?"
"Di Lemuel hospital. Itu rumah sakit milik keluarga kami."
"Jauh, gak, dari sini? Sily boleh ke sana?" Mendengar permintaan Sily, Davina tidak langsung mengiyakan. Ia jutsru bertanya, "Kenapa mau ke sana? Di sana bau obat."
Benar juga. pasti di rumah sakit bau obat. Tapi ... Sily ingin sekali ke sana. Terakhir Sily pergi ke rumah sakit adalah saat sekolah dasar. Saat itu Sily terkena campak. Sily sangat tidak suka rumah sakit. Ada banyak orang dan bau obat yang sangat menyengat. Tapi ... rasa tidak suka itu malah menjadi rasa penasaran karena ia ingin tahu, tempat seperti apa yang membuat Daren sangat senang bekerja seperti yang ia dengar dari Adel dan yang lain.
"Sily pengin ngelihat tengkorak-tengkorakan di sana."
Davina tertawa mendengarnya. Ia bahkan sampai menyeka air disudut matanya saking lucunya. "Kamu ke sana cuma mau lihat tengkorak? Di sekolah, kan, ada."
"Iya, tapi beda baunya, Kak."
"Apanya yang beda?"
"Kalo tengkorak rumah sakit pasti bau obat. Kalo tengkorak di kantor Pak Indra bau kecoa."
Davina dan Sily tertawa disepanjang perjalanan.
-bersambung-