Mereka sama-sama lelah hari ini. Belum mengetahui apa saja yang telah pasangan lewati hari itu. Hanya saja Samesta sadar, minggu-minggu ini agak berat dari biasa. Embusan napas lega mengiringi kehadiran istrinya dari balik pintu. Muka Raya mangkel sebab omelan pada putri sulung mereka dihalangi. Samesta juga kehilangan kata kalau soal Saluna. Mengurus anak remaja ternyata lebih sulit.
"Kamu terlalu manjain anak-anak. Jadinya gitu. Coba kalau aku enggak ke kamar mereka ngecek tiap malam. Enggak akan tahu kan kamu, Luna pergi kemana."
Raya selalu bisa membuat Samesta terdiam memerhatikan setiap gerak-geriknya. Lalu tersenyum menyadari perubahan pada wanita yang sangat ia cintai. Mereka tumbuh dewasa bersama. Embel-embel perjodohan sempat membuat mereka terpaksa hidup di bawah satu atap. Jauh dalam sangkaan Samesta bisa bertahan dengan gadis pendiam yang punya sorot luka itu.
Jika terus diperhatikan, Raya tidak banyak berubah. Entah apa rahasianya, Raya tampak lebih muda dari wanita seusianya. Terkadang Samesta riskan membiarkan Raya pergi tanpa didampingi. Para lelaki suka senyam-senyum tidak jelas di depan Raya. Contohnya tukang ojol tadi. Tatapan mendamba tukang ojol pada istrinya kentara sekali.
Tanpa ancang-ancang Samesta meraih lengan kurus Raya hingga mereka terjatuh di tempat tidur. Dengan perasaan gemas Samesta mengukung Raya dalam pelukan erat. Tanpa mempedulikan wanita itu berontak sekuat tenaga.
“Sam!”
"Kamu sendiri yang mau membagi waktu kita sama anak-anak. Katanya, minggu ini kewajibanku menjaga Sansan. Minggu ini Saluna tugas kamu."
"Ya iya tapi enggak mengabaikan yang lainnya juga. Saluna anak kandung kamu juga. Aku capek banget, Sam. Lepas."
Samesta enggan peduli. Dia terus menghidu rambut wanita di pelukannya. Membaui dalam beberapa lama sambil memejam. Samesta selalu menyukai aroma ini. Seakan menyambutnya pulang di tempat sebenarnya. Nyaman.
“Sam! Aku mau mandi!” Raya terus menggeliat dalam dekapannya.
“Kamu udah harum.”
“Harum apanya?!” Sontak Raya memekik. Samesta agak terganggu dengan lengkingan itu namun dia makin erat mendekap. “Aku bau keringat gini. Kamu enak kalau kita cerai bakal jadi hot daddy sekaligus duda keren, bakal cepet dapet pengganti aku nih pasti, lah aku? Makin buluk aja.”
Tuh kan, erang batin Samesta. Sungguh bosan setiap saat topiknya itu-itu terus, berputar sekitar itu.
“Tapi bau mereka enggak kayak kamu, Raya.”
“Maksudnya?!”
"Jangan bahas ini dulu, ya? Aku kangen kamu, tau!”
Deg!
Perasaan ini ....
Raya membeku, merasakan hantaman sesuatu tak kasat mata. Terakhir mendengar Samesta bersikap begini saat ada masalah. Dulu, lama sekali.
Sadar pemberontakkan Raya melemah, Samesta melonggarkan pelukan. Dia lihat istrinya sedang termangu tenang, menyandarkan kepala di dadanya. Jemari lentik Raya dengan lembut mengusap d**a kiri Samesta.
“Kenapa?” tanya Raya seolah kegelisahan Samesta terpampang jelas.
Tanyanya hanya bersambut bisu dan detik jarum jam. Raya mendongak, menatap rahang kokoh suaminya. Samesta tidak berani menunduk. Membalas tatapan Raya sama dengan memberi tahu semua kegundahannya.
“Aku ketemu sama seseorang,” jawab Semesta amat pelan sambil menatap lurus potret besar pernikahan mereka di dinding. Sayang, suaranya terdengar risau.
Raya berdeham demi menghilangkan kering tenggorokan yang tiba-tiba datang. Kata “seseorang” membuatnya takut. “Aku selalu suka mendengar detak jantung kamu, Sam,” ujarnya mengalihkan pembicaraan.
Bibir Samesta pun mengulas senyum. Dia menghirup rambut istrinya lagi. Aroma yang mampu meredam gundah dari pertemuannya dengan seseorang siang tadi. Salah satu penghuni kotak masa lalu di tumpukan memori Samesta kembali. Kotak kenangan yang terlarang itu terbuka sendiri membuat kenangan lain turut bergulingan tanpa sebab. Membuat perasaannya berantakkan. Samesta benci berantakan. Butuh waktu untuk membuat mereka kembali ke tempat semula.
Kacau yang ia rasa sulit disembunyikan. Meningkatkan gemuruh di d**a dan membuatnya khawatir Raya merasakannya. Sebab Raya mendadak mengeratkan pelukan setelah tadi berusaha lepas.
“Jangan pergi ...,” bisik Raya.
***
Waktu itu usia Samesta sembilan tahun.
Samesta memakai baju merah-putih berjalan riang memasuki rumah. Hari itu luar biasa menyenangkan, dia mendapat nilai seratus pada pelajaran matematika dan diberi hadiah oleh guru. Samesta terbiasa dengan nilai lebih besar dari teman-temannya. Ia sangat suka pelukan ibunya ketika mendapat nilai-nilai tinggi.
Wajah sumeringah Samesta sirna ketika seseorang bukan ibu menyambutnya. Pria yang setahun lalu ibunya perkenalkan sebagai Ayah Fajar.
Kehadiran pria berkacamata tebal itu diakui Samesta mengubah keterpurukan keluarganya. Membuat ibu berhenti bekerja dan lebih sering di rumah. Samesta pun perlahan bisa menikmati apapun yang sebelumnya hanya bisa dilihatnya dari teman-teman.
Samesta memanggilnya Ayah Fajar. Rasanya asing sekaligus rindu setiap dipeluk Fajar. Samesta tahu, Ayah Fajar bukanlah sosok yang selama ini dia tanya-tanya keberadaannya.
“Samesta, ayo ikut Ayah. Ibu sudah menunggu Samesta dan Bang Alam.”
Alam menatap Samesta datar, meraih tangan adiknya. Dari belakang, Fajar tersenyum sendu mengikuti langkat kedua anak itu.
Mereka sampai di sebuah rumah sakit. Samesta berkali-kali melirik kakaknya meminta penjelasan. Sayangnya Alam terus memandang lurus, mengabaikan ketakutan dari genggaman erat Samesta. Fajar membukakan pintu. Samesta semakin mengeratkan genggaman di tangan Alam. Di balik punggung Alam, dia bersembunyi.
“Samesta... Alam...” Suara lembut itu menarik perhatian Samesta seutuhnya dari segala peralatan medis yang berada di ruangan itu. Senja, ibunya terbaring lemah di atas brankar. Dua anak itu mendekat. Mata Samesta berbinar melihat makhluk kecil tengah terlelap dalam dekapan ibu mereka. Tanpa sadar Samesta membuat Alam kehilangan ketika genggaman eratnya terlepas begitu saja.
Samesta tersenyum lebar. Selama ini ia bertanya-tanya kapan adik bayi keluar dari perut besar ibunya. Sedangkan Alam masih terdiam. Anak itu selalu bingung bersikap terhadap hal baru. Seakan mengerti keadaan Samesta pun meraih tangan kakaknya, menyentuhkannya hati-hati pada pipi adik mereka. Bayi itu menggeliat dan menimbulkan kegugupan Alam. Mereka tertawa bersama. Hari itu kebahagiaan terbesar Samesta, mendapat nilai sempurna juga seorang adik yang akan meramaikan hari-harinya.
Hanya butuh beberapa jam, Semesta dibuat termenung ketika melihat anak perempuan duduk sendirian di salah satu lorong. Gadis itu menelungkupkan wajah di antara kedua lututnya. Tubuh kecilnya bergetar ketakutan, tidak ada satu pun orang dewasa yang mendampingi dia. Samesta bersyukur ia punya Fajar.
Entah apa yang membuatnya melangkah menuju gadis itu. Dia mengulurkan s**u kotak cokelat. Kehadiran sepasang sepatu membuat gadis itu menengadah. Lalu menemukan sepasang mata berbinar.
"Kata Bang Alam s**u cokelat bisa mengobati sakit. Aku enggak tahu kamu sakitnya apa tapi aku enggak suka lihat orang nangis."
Samesta terus mempertahankan senyuman lebarnya. Ia sering melihat ibunya menangis di tengah keheningan malam. Dulu, sebelum Fajar datang.
Tiba-tiba gadis itu berlari meninggalkannya tanpa sepatah kata. Mengabaikan kotak s**u dalam genggaman Samesta di udara. Waktu itu Samesta mengedikkan bahu, berlalu ke ruang rawat ibunya. Pikirnya besok gadis itu pasti akan dia temukan lagi.
Benar saja. Samesta melihat gadis itu di taman rumah sakit sendirian. Duduk termenung melihat anak-anak lain bermain. Samesta bisa merasakan kesedihan dia. Samesta ingin menghampiri, sayangnya hari itu ibunya resmi pulang ke rumah membawa adik bayi.
Pikirnya itu adalah pertemuan terakhir mereka. Sampai suatu hari Samesta sumeringah, bertemu kembali gadis itu. Malu-malu gadis itu berdiri di depan kelas atas perintah ibu guru. Dia terus menundukan kepala. Sampai tiba dia mengedarkan pandangan pada seluruh manusia di dalam ruangan, tatapan mereka bertemu. Mata gadis itu membola kaget. Dia kembali menunduk.
"Nama saya Lintang," katanya hampir tak terdengar oleh semua orang. Kecuali Samesta, dia mengangguk senang. Sepertinya mereka akan menjadi teman.
Lengkingan panjang membuyarkan layar hitam putih adegan tersebut. Tayangan alur mundur itu berubah terang. Tangannya terangkat menghalau cahaya yang tiba-tiba datang. Samesta membuka mata, meraba sumber bunyi mengganggu itu. Beberapa detik kemudian dia menormalkan penglihatan, lalu terperanjat. Sudah pagi ternyata. Tangannya menyentuh kekosongan di sampingnya. Tidak ada lagi kehangatan tanda tempat itu telah ditinggalkan cukup lama. Samesta mengusak rambutnya kasar. Mimpi apa dia barusan.
Apa karena ia bertemu kembali dengan Lintang, jadi terbawa mimpi?
Di tengah keheranannya pintu kamar terbuka kasar. Samesta mendapati putranya berkacak pinggang menatap Samesta dengan marah. Hal itu mengingatkan dia pada Raya. Mereka punya kemiripan. Menggemaskan.
"Ayah, ayo bangun! Sansan udah telat ke sekolah nih."
Samesta masih bersyukur, kehidupannya tidak berakhir di alam mimpi. Masih di sini, di tempat seharusnya.