Surgamu Ada di Sana Bukan

1430 Kata
"Mau apa?” ketusnya. “Mas cuma mau ambil Dion.” “Enggak usah!” “Dek sayang, Mas gendong Dion biar kamu bisa makan ya?” Dia tak menjawab tak juga berinisiatif memindahkan bayinya padaku, hanya menatap lekat tanpa satu patah kata pun terucap, sejenak kami terdiam, sorot matanya pilu, seperti ada kecewa yang teramat sangat di sana. “Loh kalian sedang apa di sini? Kok ini piringnya berantakan.” Suara Ibu tiba-tiba terdengar, merusak suasana saja. Dilra tampak menghembuskan nafasnya pelan, terlihat sekali dia berupaya menetralkan semua sakit yang mendera. Ekspresinya berubah dalam sekejap, tak ada lagi raut sendu, berganti senyum palsu yang kini menghiasi wajahnya. “Oh ini tadi tumpah, nanti biar Dilra beresin,” katanya tenang. “Ini biar Dilra saja yang cuci, sekalian sama yang berantakan,” tambahnya lagi. Aku masih diam memperhatikan perubahan sikap Dilra yang drastis. “Kamu kenapa sih Lang, kok bengong kayak orang bingung?” Aku? Sejenak kucuri pandang dengan Dilra, rupanya dia juga tengah menatapku. “Gak apa-apa, Ibu salat aja sana, katanya mau magrib.” “Eh hmmm Ibu...ya sudah deh Ibu magrib dulu.” Ibu terlihat tak nyaman, aku tahu dia pasti tak akan salat lagi, tapi kali ini urusanku dengan Dilra perlu diselesaikan dengan segera. Dilra masih menyusui Dion sambil menimangnya. Sedang aku memutuskan mencari sapu, membersihkan bekas nasi Dilra yang berantakan. Melihatku menyapu lantai, perempuan itu hanya menatap datar, tanpa ekspresi seperti biasanya, sempat melirikku sekilas tapi setelahnya malah acuh, jangankan ucapkan terima kasih sih, sekedar peduli pun dia sungkan. Apakah sudah sekeras itu hatimu Dil. “Aku mau tidurkan Dion, biar aku yang cuci piring! Kamu jangan cari perkara pakai cuci segala! Aku sudah capek Mas, jangan bikin aku jadi bahan gosip orang sekampung! Terima kasih sudah membantu tapi lain kali enggak usah,” katanya seraya berjalan meninggalkanku sendiri di dapur. Luar biasa. Sungguh bagaimana bisa dia bicara seperti itu padaku, kenapa menghadapi wanita serumit ini, aku hanya berniat membantunya dan dia malah takut jadi bahan gosip sekampung, apa maksudnya. Sudahlah toh tidak tiap hari, kuputuskan untuk mengerjakan semuanya, mencuci piring bukan perkerjaan yang sulit juga. “Kamu kenapa cuci piring sih Lang? Istrimu itu ke mana? Apa saja yang dia lakukan dari tadi, sampai piring bekas makannya dicucikan kamu?” “Ya sudah sih Bu, gak tiap hari ini, Dion juga tadi rewel, kasihan Dilra belum makan juga dari tadi.” “Itu nasi di piring bekas siapa?” “Tadinya mau di makan tapi malah tumpah soalnya Dion enggak bisa diam.” Aku terpaksa berbohong. “Ibu enggak pernah loh suruh almarhum Bapa kamu cuci piring kami, haram hukumnya laki-laki pegang kerjaan rumah.” “Bu, sudah toh Dilra juga istriku, kan aku yang cuci bukan Ibu, jangan memperbesar masalah, kasihan Dilra.” “Kamu dinasihati susah, nanti kebiasaan.” “Enggak bakal, nah Ibu sudah salat belum?” “Hmm ibu...” “Belum salat kan?” “Mending salat dulu, sini mangkok bekas kolaknya biar sekalian Galang cuci.” Ibu terlihat malu, pasti dia belum salat lagi, terkadang aku bingung, bagaimana menyuruh keluargaku untuk ibadah, ibuku sudah tak lagi muda tapi seolah dia akan hidup selamanya, tak pernah ingat akhirat juga enggan di ingatkan. Aku berpikir setelah kematian Bapak, ibu lantas berpikir untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa, nyatanya dia malah semakin jauh. ~ Selesai sudah semuanya, kali ini aku berniat langsung ke kamar, tapi sepertinya Ibu juga dari kamarku kulihat dia menuruni tangga, wajahnya tampak masam. Sedang dari atas tampak Dilra masih berdiri di ambang pintu kamar kami, begitu aku mendekat bukannya menyambut, wajahnya malah di tekuk lagi, lantas dia masuk ke dalam tak mau menunggu untuk masuk beriringan. “Dil, tadi ibu ke sini?” tanyaku. “Sudah kubilang jangan di cuci!” “Memangnya Ibu bilang apa?” Dilra tak mau menjawab, tapi sudah kutebak pasti Ibu menegurnya karena hal ini, sungguh rasanya kepalaku ingin pecah. “Mau kamu apa?” “Enggak usah repot-repot! Stop bikin hidupku tambah susah, bisa kan?” “Mana bisa begitu, kamu kan istriku, Dion juga anakku, kamu repot ya aku bantu.” “Dibilang enggak usah ya enggak usah, apa susahnya sih!” “Sebenarnya mau kamu apa, Mas serba salah kalau begini!” “Mau tidur capek!” Astaghfirrullah, sabar Galang. Kenapa kamu berubah Dil, sekarang dia malah tidur memunggungiku. Kalau sudah begini bisa kupastikan sampai sahur menjelang tak akan ada percakapan di antara kami. Andai Dion tak ada, entah apa jadinya kamar ini, tak ayalnya macam area pemakaman, sepi dan sunyi. Sudah lama sekali kami tak terlibat dalam obrolan santai, nada bicara Dilra yang makin hari makin acuh, membuat sungkan untuk mengajaknya bicara. Jam masih menunjukkan pukul 18.50, aku bersiap untuk pergi teraweh, entah dengan Ibu dan Mia mereka malah memilih mampir ke tetangga sebelah katanya ada arisan. “Cuma sebentar Lang," kata Ibu, saat kuajak dia tarawih, malah menolaknya dengan alasan lain. Mengocok arisannya memang sebentar tapi bergosipnya yang lama. Dilra sudah pasti tak tarawih karena harus menjaga Dion. “Dil makan dulu, gak bagus loh menunda makan.” Kuputuskan kembali ke kamar, tiba-tiba saja teringat Dilra yang belum makan dengan benar. “Iya.” “Mas tinggal sendiri enggak apa-apa?” “Enggak apa-apa.” “Bener ya nanti makan?” “Iya,” sahutnya acuh seperti biasa. Tampaknya Dilra mulai tak suka, salah lagi, niat hati ingin berbaikan dengannya tapi tak ada satu pun yang benar di matanya. ~ Setelah tarawih seharusnya Dilra masih di rumah, kususul ke kamar sayang hanya ada Dion yang terbaring di kasur sendirian. Ke mana dia? Kususuri setiap ruang pun, tak kutemukan di mana pun, sampai akhirnya kulihat balkon rumah kami masih gelap, mungkin Dilra lupa menyalakan. Begitu mendekat ke skalar lampu, tampak bayangan hitam di ujung tembok, seperti orang yang tengah mengintip, aku mendekat dengan mengendap-endap, dari aroma tubuhnya saja aku sudah hafal, bisa kupastikan itu Dilra. Sedang apa dia di sana, mengintip rumah sebelah? Pakai acara mematikan lampu segala. Sebentar, kenapa dia terisak? Apa lagi kali ini. Pandanganku tertuju ke arah di mana Dilra mengintip. Rumah Bu Farah rupanya tetangga sebelah, di sana sedang ada arisan, ada Ibu juga Mia di sana, sangat ramai. Sesekali tawa nyaring mereka sampai terdengar ke atas sini, tapi kenapa dengan Dilra yang justru terisak. Apa lagi Ibu, bisa kudengar tawanya paling keras di antara yang lain. Sedang Dilra justru makin terisak lagi, mendengarnya. Tak tahan melihatnya terus terisak, kutekan skalar lampu hingga membuat keadaan menjadi terang benderang. Dilra lantas mengerjap, lalu dengan cepat menyembunyikan diri di balik dinding. “Kamu sedang apa di situ Dil?” Dengan cepat dia mengusap wajahnya dengan kasar. “Enggak apa-apa.” “Kamu ingin ikut gabung?” Dilra malah diam dan menunduk. “Mas kan lagi ngomong kenapa malah menunduk, kalau mau ikut, ya ikut saja.” Dari sini aku tahu, sisi lain dari istriku, saat sendiri dia terlihat begitu rapuh, tapi saat kudekati dia bagai bunga mawar yang berduri. Nyatanya tak ada yang berubah darinya, hatinya tetap lembut, yang berbeda hanya dia yang terlalu membentengi diri, terutama dariku. “Kamu mau ikut? Bilang saja, enggak apa-apa kok.” Aku berusaha mengalah kali ini, bukankah hampir semua perempuan memang suka kelembutan, kuraih lengannya perlahan, berharap itu mampu membuatnya mau berbaikan denganku. “Mau bayar pakai apa? Daun?” ketusnya. Astaghfirrullah. Dilra malah menepis lenganku, lalu setelahnya pergi begitu saja. Bisakah dia sopan sedikit. Aku mengejarnya, ada apa dengannya kenapa jadi begitu kasar dan temperamental. “Kenapa sih kalian ribut lagi?” tiba-tiba Ibu sudah ada di bawah, melihatku mengejar Dilra, dia malah berteriak dari bawah, aku tak peduli, Dilra sudah lebih dulu masuk kamar, rupanya dia menungguku, saat masuk kamar dia sudah berdiri bersandar ke dinding tepat di samping pintu, sedang pandangannya lurus ke depan menatap bayi Dion yang terlelap di ranjang kami. “Mas pikir enak, minta segala sesuatu ke Ibu, barangnya enggak dapat, yang ada malah dihina,” lirihnya dengan penuh penekanan. “Jaga bicaramu Dil, kamu boleh enggak menghormati Mas, tapi enggak buat ibu.” “Terserah Mas mau percaya atau enggak, itu sama sekali bukan urusanku!” “Dilra, jadi kamu di belakang menjelekkan Ibu?” Tiba-tiba Ibu sudah ada di belakangku, aku lupa belum sempat menutup pintu jadi Ibu leluasa masuk ke kamar kami, salahnya malah menangis, lalu berlari turun ke bawah. “Tunggu Bu, bukan maksud Dilra begitu!” Aku sedikit mengeraskan suara, karena Ibu makin menjauh. Di tengah kebingungan ini, kulirik istriku dia terlihat santai, justru setelahnya Dilra malah tersenyum, pandangannya lurus menatap ke punggung Ibu yang makin menjauh. “Kejar Mas, surgamu ada di sana bukan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN