Senja berganti malam, Gama baru saja kembali ke vila setelah memeriksa keadaan sekitar lebih dulu. Wajahnya terlihat begitu kelelahan, tetapi beberapa detik kemudian, senyum smirk tersungging di bibirnya. Langkah panjangnya mengarah ke sebuah tangga. Sepertinya malam itu Gama hendak menemui tawanannya lagi. Sekedar untuk bermain-main ringan, sembari mengusir rasa lelahnya.
Ceklek!
Pintu terbuka dengan sempurna. Menampakkan seorang gadis dengan bibir dan pipi yang lebam. Ya, ia adalah Liana. Gama perlahan mendekat ke arah gadis yang masih terikat pada sebuah kursi sejak siang tadi. Jemari lebar Gama mulai mengurai tali yang mengikat tubuh Liana. Membuat gadis yang saat itu terlelap, menjadi sedikit terusik.
“Ga ... Tu–Tuan,” panggil lirih Liana. Hampir saja bibir gadis itu salah menyebut nama pria iblis di hadapannya. Jika saja terjadi, sudah dapat dipastikan telapak tangan Gama ada akan kembali menghantam wajahnya.
“Kenapa kau tidak memakan makanannya, hah!?” bentak Gama dengan suara yang tinggi. Emosionalnya kembali memuncak, kala melihat nasi tanpa lauk pauk yang masih utuh tak tersentuh.
“Bagaimana bisa aku memakannya, kau buta? Tubuhku saja terikat!” balas Liana dengan nada yang sama tingginya dengan Gama. Liana yang sadar, buru-buru menunduk dan merutuki mulutnya. Itu hannyalah tingkah refleksnya, ketika seseorang membentak dirinya.
Gama yang tak terima langsung mencengkeram kedua belah pipi Liana dengan kasar. Sorot mata pria itu cukup tajam seperti biasa.
“Jaga ucapanmu! Jangan berani-berani bibir ini membentakku. Atau, akan kurobekkan mulutmu ini!” Gama menghempaskan wajah Liana dengan kasar, hingga menoleh ke samping. Tubuh Liana yang ikut tak seimbang, hampir saja terdorong jatuh.
“Sekarang, habiskan makananmu sebelum nyawamu yang kuhabisi!” hardik Gama dengan napas memburu.
“Ta–tapi, makanannya ....” Liana tak berani melanjutkan ucapannya, ketika aura iblis kembali menyelimuti raut wajah pria jangkung di hadapannya.
Gama sedikit membungkuk, menyejajarkan tubuhnya dengan Liana. Perlahan tapi pasti, Gama mengikis jarak wajahnya dan wajah Liana. Bahkan kini, embusan dan aroma mint dari napas Gama dapat tercium jelas oleh rongga hidung Liana.
“Ada apa? Kau mau bilang nasi ini basi? He, dengar baik-baik. Jangan protes kepadaku, proteslah kepada ayah sialanmu itu. Sebasi-basinya nasi ini, lebih basi perkataan munafik ayahmu!” sungut Gama sembari menendang guci tua di dalam kamar tersebut. Membuat benda yang terbuat dari bahan keramik itu, seketika jatuh dan luluh lantah menjadi beberapa kepingan.
“Makan dan habiskan. Dalam lima menit, jika kau belum menghabiskannya, kau akan tahu akibatnya. Satu lagi, di ruangan ini ada CCTV. Jadi, kau tak akan bisa macam-macam. Paham!” setelah berkata demikian, Gama melangkah ke luar kamar. Sebelum benar-benar pergi, Gama menekan sakral lampu di dekat pintu ke luar. Alhasil, kamar tersebut menjadi minim cahaya. Hanya lampu remang-remang dan sinar rembulan dari jendela kamar, yang menerangi ruangan tersebut. Gama sengaja tak menutup pintu jendela, membiarkan angin malam berembus masuk.
“Putuskan sambungan lampu kamar ini untuk sementara!” perintah Gama yang langsung dibalas anggukan oleh bawahannya.
“Tuan! Tolong nyalakan lampunya!” Jeritan Liana mulai terdengar dari dalam kamar.
Liana terlihat ketakutan di dalam sana. Gadis itu sepertinya memiliki trauma. Pernah mengalami hal buruk di situasi yang sama. Hal itu benar adanya, Gama pun cukup tahu menahu perihal trauma yang mendera Liana dulu. Entah, dari mana pria itu mengetahuinya. Namun, jika melihat dari tatapan Gama, seperti tak asing baginya.
“Ayah, ibu, kakak, tolong aku!” teriak Liana dengan napas memburu. Bahkan kini, permukaan dahinya sudah dipenuhi keringat dingin.
BRAK!
“Tolong! Aku takut!” jerit Liana lagi bersamaan dengan pintu jendela kamar yang menabarak kencang seiring embusan angin malam.
Di malam yang sunyi tersebut, Liana terus menjerit pilu dengan rasa takutnya yang teramat sangat. Bagai mimpi buruk baginya berada di ruangan tersebut. Di tengah ketakutannya, Liana merindukan sosok Erick, sang kakak. Juga sosok ibunya yang kini tengah sakit. Mengingat hal itu, Liana menjadi cemas. Ia takut ibunya khawatir, dan malah berakibat fatal terhadap kesehatannya yang justru akan menurun lagi.
“Tolong, tolong buka pintunya!”
“GAMA! BERENGSEK, BUKA PINTUNYA!” teriak Liana sembari memukul-mukul bilik pintu tersebut.
Sementara di sisi ruangan tersebut, Gema terbaring dengan bola mata tertutup. Teriakan Liana bagai lagu yang mengayun merdu di indra pendengarannya. Tak sia-sia dirinya memindahkan Liana dari ruang kedap suara sebelumnya. Namun, kenyamanannya sedikit terusik kala mendengar teriakan dari beberapa anak buahnya. Pria bermata sipit itu spontan beranjak dari posisinya. Kaki panjangnya mulai melangkah lebar menghampiri arah sumber kegaduhan.
“Ada apa?” tanya Gama dengan suara yang menggelegar.
“Maaf, Tuan. Nona di kamar ini seperti berusaha melarikan diri,” jelas pria dengan pakaian berwarna hitam.
“DASAR BODOH!” teriak Gama selepas memberikan sebuah tinju, tepat di tubuh pria berbadan tegap di hadapannya.
“Menjaga satu gadis lemah saja kalian tidak bisa. Apa gunanya kalian? Dasar tidak becus!” hardik Gama dengan napas memburu. Sementara pria di harapannya hanya bergeming, tanpa berniat menyangkal atas kesalahannya.
“Cari dan temukan dia secepatnya! Kembalikan dia kepadaku, atau aku penggal kepala kalian semua!” hardik Gama.
Selepas kepergian anak buahnya, Gama meraung tak karuan. Amarahnya kembali memuncak kala mengetahui Liana berani mencoba lari dari genggamannya. Dengan tangan terluka, Gama ikut mencari sosok Liana di gang-gang kecil perkebunan tersebut. Ya, vila milik Gama memang sengaja dibangun di tengah perkebunan. Gama selalu datang ke sana jika tengah mencari kedamaian. Lingkungannya terasa amat asri di sekitar vila. Semuanya masih berbau alam.
“Lepaskan aku. Tolong aku mohon. Lepaskan!” pekik seseorang yang cukup mengundang perhatian Gama saat itu. Gama berjalan mendekati sumber suara berasal. Saat sudah sampai, bibirnya terangkat mengukir senyum. Dilihatnya gadis yang ia cari sejak tadi, tengah diganggu oleh para pria tua yang sepertinya dalam pengaruh minuman alkohol.
Liana terus memberontak dari celakalah empat pria, yang tengah mabuk dan rundung hasrat tersebut. Tatapannya tak sengaja menangkap sosok Gama tak jauh darinya. Pria jangkung dengan paras tampan tersebut, mengulas senyum kepadanya.
“Tuan, maaf kami—“
“Hust!” potong Gama dengan cepat.
Beberapa anak buah Gama bungkam seketika, saat mendapat arahan dari tuannya untuk diam. Gama terus mengamati pergerakan kelima orang di hadapannya. Ketakutan di wajah Liana setia menghiasi paras cantiknya. Tubuh Liana sudah disentuh di beberapa bagian, oleh lengan para lelaki berumur tersebut.
“Lepaskan, lepas!” Liana terisak sembari berusaha menyingkirkan lengan yang mulai tak senonoh menyentuhnya.
“Kubilang lepaskan, jika kakakku tahu tangan kalian akan dipatahkan!” sentak Liana dengan suara yang justru terdengar menggemaskan bukan menyeramkan.
“Nikmati saja, Nona. Jangan terlalu agresif, daun muda sepertimu pasti akan sangat menggairahkan,” tutur salah satu pria, dari keempat berumur tersebut.
“Benar, seluruh bagian tubuhnya masih terasa sintal dan padat,” timpal pria lain dengan ambigu. Liana terus memberontak, merasa jijik dengan para lengan lelaki tua yang terus saja menjelajah di tubuhnya.
“Tuan, bagaimana ini?” tanya salah satu anak buah Gama. Hal itu terdengar samar oleh Liana dari jarak yang tidak terlalu jauh. Bahkan gadis itu menatap Gama dengan tatapan penuh harap. Sementara Gama, membalas tatapan itu dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Kita kembali ke vila. Sisakan beberapa orang di sini. Biarkan para lelaki itu menyentuhnya. Setelah selesai, bawa kembali gadis itu ke vila!” perintah Gama yang langsung dibalas anggukan patuh oleh anak buahnya.
Gama hendak melangkah dari sana, tetapi pergerakannya tiba-tiba saja terhenti bersamaan dengan lengan mungil seseorang yang mencekal pergelangan tangannya.
“Tuan, tolong aku. Bawa aku pergi dari sini, kumohon, Tuan!” pinta Liana dengan bibir bergetar. Gadis itu sudah bersujud di bawah kaki Gama.
Ketika melihat Gama hendak pergi tadi, Liana menendang aset berharga milik para pria tua yang mencekal pergelangan tangannya. Setelah lepas, dirinya berlari menghampiri Gama.
Mendengar perkataan Liana, Gama tersenyum penuh kemenangan. Gadis yang semula memilih kabur darinya, kini justru memohon untuk ikut dengannya. Dengan harga diri dan egonya yang tinggi, Gama tetap bergeming.
“Tuan, kumohon!” pinta Liana lagi, sembari mendongak menatap wajah Gama dari bawah. Tak munafik, Liana mengakui ketampanan pria itu sejak dulu hingga sekarang.
“Lepaskan!” sentak Liana kembali histeris, kala keempat pria tadi mulai mencekal pergelangan tangannya lagi. Melihat hal itu, Gama menarik tubuh Liana yang bergetar ke arahnya. Sementara para pria mabuk tadi sudah ditangani oleh anak buah Gama.
Gama menatap lekat wajah pucat, dengan bibir bergetar di hadapannya. Jantung Liana berdegup kencang, terlihat jelas dari deru napasnya yang memburu. Gama meraih dagu gadis yang tingginya hanya sebatas dagunya tersebut.
“Apa keuntungannya bagiku, jika aku menolongmu?” tanya Gama dengan senyum meremehkan. Mendengar pertanyaan Gama, Liana diam mematung. Tak jua mendapat respons, Gama kembali berbicara.
“Bagaimana jika aku sama halnya dengan para pria tua di sana?” tunjuk Gama pada para lelaki yang tadi mengganggu Liana.
“Maksudnya?” tanya Liana dengan gugup.
“Bagaimana, jika aku menginginkan hal yang sama terhadapmu, seperti keinginan mereka tadi,” ulang Gama memperjelas.
“Ta–tapi ....”
“Tidak berlaku negosiasi. Pilihanmu hanya dua. Pertama, aku menolongmu, tapi kau harus bersedia melayaniku di ranjang malam ini dengan tubuhmu. Opsi kedua, aku tidak akan menolongmu dan kau akan menjadi piala bergilir para tua bangka itu,” papar Gama. Liana menatap nanar ke arah Gama, setelah mendengar penawaran yang keduanya sama-sama merugikan dirinya.
“Aku hitung mundur dari sekarang. Tiga ....” Gama menghitung menggunakan jari tangannya.
“Dua ... satu. Waktumu habis, dan kau tidak menjawab. Artinya, kau lebih memilih untuk melayani pria tua tersebut.” Gama mengangkat kedua pundaknya.
“Kalian semua, kembali ke vila sekarang!” perintah Gama. Namun, langkahnya lagi-lagi terhenti.
“Tunggu, Tuan. A–aku siap melayanimu. Aku memilih opsi kedua.” Liana menundukkan wajahnya selepas mengatakan hal itu. Sementara Gama, pria itu langsung menyunggingkan senyum penuh kemenangannya.
“Pilihan yang tepat. Bisa kau ulangi perkataanmu barusan?” pinta Gama.
“A–aku siapa melayanimu, Tuan.” Seperti perintah Gama, Liana mengulang perkataannya.
“Good Girl!” puji Gama. Jemari pria itu membelai pipi kiri Liana. Ibu jarinya bergerak mengusap bibir belah Liana yang merekah.
Tanpa banyak bicara, Gama mendaratkan kecupannya di bibir Liana. Para anak buah Gama sudah mengerti dengan hal itu. Mereka hanya diperintahkan untuk tak melihat apa pun yang dilakukan tuannya bersama seorang wanita, bagaimanapun caranya. Terlihat para anak buah Gama saat itu serempak menundukkan wajahnya.
Gama memperdalam ciumannya. Bola matanya tak terpejam. Sorot matanya menatap bola mata Liana dari jarak yang hanya tersisa beberapa senti saja. Sementara Liana, tatapan gadis itu terlihat kosong. Bahkan kini air matanya mulai luruh membasahi kedua belah pipinya. Merasakan hal itu, Gama dengan kasar melepas pagutan keduanya. Itu adalah kali kedua yang dilakukan keduanya setelah sebelumnya Gama pernah menciumnya juga.
“Jangan menangis. Tidak usah bertingkah polos di hadapanku. Bahkan tubuhmu saja, entah sudah berapa pria di Jerman yang menikmatinya,” ejek Gama.
“Tidak. Aku tidak pernah—“
“Jangan banyak berbicara. Buktikan saja semuanya saat di atas ranjang nanti,” bisik Gama tepat di telinga Liana. Membuat gadis itu bergidik ngeri dan sedikit meremang.
“Kau tenang saja, jika masih virgin aku akan membayarmu dua kali lipat dari harga p*****r beroperasi. Lumayan bukan? Uangnya bisa kau berikan kepada kakakmu yang tidak berguna itu, untuk membiayai pengobatan ibumu. Tapi aku tidak yakin, jika kau masih perawan,” sambung Gama dengan nada meremehkan.
“Ayo, cepat kita ke kembali ke vila. Tubuhku sudah dingin, ingin segera dihangatkan olehmu,” bisik Gama sembari menyentuh bahu Liana yang bergetar.
“Ya, Tuhan. Tolong selamat aku,” ucap Liana dalam hati.