Lepas menemui Liana untuk pertama kalinya, setelah sekian tahun. Gama kembali ke kota. Pria itu masih harus menyelesaikan banyak hal. Sepanjang jalan ingatannya berputar. Mengingat kembali pada kejadian dulu. Denyut lara di hatinya kembali terasa, tiap kali memori ingatannya terbayang kejadian dirinya ketika masih berasal dari keluarga tingkat bawah.
Karena kenangan pahit itulah, Gama bertekad untuk mendapat beasiswa dulunya dan tumbuh menjadi pria sukses seperti sekarang ini. Ketika masa remaja, dirinya mendapati hubungan sang ibu dan ayahnya tak bisa dikatakan baik-baik saja. Benar, Mahendra adalah seorang pemain wanita dulunya. Sehingga pria yang lahir dari kalangan atas itu, diusir oleh orang tuanya. Sang ayah kembali diakui di keluarganya, ketika dirinya mulai merintis usaha. Sejak saat itu, derajatnya meningkat. Meski begitu, dirinya sama sekali tak menerima harta pembagian dari sang kakek. Lebih memilih hidup bersama ibunya dengan usaha dan kerja kerasnya sendiri.
Gama sedikit memelankan laju kendaraannya, ketika panggilan telepon menyergap ponsel pintar miliknya.
“Halo, Tuan. Saya sudah berhasil mencari keberadaan Nona Dewi. Beliau kini berada di Rans Kafe. Saya juga sudah mengatur semuanya, dan Nona Dewi akan datang ke kantor sebentar lagi sebagai perwakilan dari Hotel Ivander.” Radit panjang lebar menjelaskan apa yang seharusnya ia sampaikan kepada tuannya saat itu.
“Bagus Radit. Aku akan segera sampai di kantor sebentar lagi. Aku tidak ingin menunggu lama, siapkan semua!” perintah Gama.
Seringai di wajah Gama kembali terlihat. Sebentar lagi, ia akan berhasil menghancurkan putra sulung Pradipta. Benar, Gama memang sudah mengatur siasatnya. Sama halnya Ibu Liana, Ibu Dewi pun tengah dirawat di rumah sakit. Sementara ayah gadis itu sudah tiada beberapa tahun lalu. Ericklah yang selama ini terlibat membantu biaya pengobatan Ibu Dewi. Itu hanya sekarang, karena beberapa saat lagi dalam waktu yang berkepanjangan, ke depannya pria itu akan dipecat dari perusahaan tempat ia bekerja. Bahkan namanya benar-benar akan masuk daftar hitam, dan tak bisa lagi bergelut di bidang bisnis. Dengan begitu, akan ada peluang besar bagi Gama untuk mendekati Dewi, gadis ayu yang penuh pesona.
“Selamat siang, Tuan.” Terdengar sapaan dari beberapa karyawan yang berlalu lalang di kantor siang itu. Gama mengulas senyum tipis, membalas sapaan para bawahannya. Terus melangkah dengan tidak sabar ke arah ruangannya. Sebentar lagi sosok Dewi akan datang menemuinya.
Benar saja, tak sampai 15 menit. Melinda, sekretarisnya memasuki ruangannya diikuti oleh seorang wanita berpakaian modis. Tubuhnya cukup ideal, perawakannya sangat molek, ditambah wajahnya yang begitu ayu.
“Selamat siang, Tuan. Perkenalkan, beliau adalah Ibu Dewi. Perwakilan dari Ivander, yang juga hendak menawarkan tempat yang akan kita gunakan minggu depan, Tuan.” Melinda menjelaskan, tujuan kedatangan Dewi saat itu.
“Ya, baik. Tinggalkan kami berdua!” perintah Gama. Melinda melenggang pergi sesuai arah dari Gama.
“Selamat siang, Tuan.” Dewi menyapa Gama dengan senyum ramahnya. Katakanlah tidak waras. Gama benar-benar terpikat pada pandangan pertamanya. Gadis di hadapannya berhasil membuat detak jantungnya memburu.
“Ya, si–siang juga. Jadi, bagaimana? Apa yang bisa kau tunjukkan, sehingga aku harus memilih jasa pelayanan Hotel Ivander?” tantang Gama. Pria itu menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya dengan angkuh.
“Baik, Tuan Gama. Bisa saya mulai memaparkan?” tanya Dewi dengan sopan.
“Ya, silakan!” titah Gama.
Sepanjang Dewi menjelaskan dan memaparkan promosinya dengan gaya yang cukup elegan. Jantung Gama terus berdetak kencang. Pria itu lebih fokus mengamati inci wajah Dewi, daripada mendengar apa yang dipaparkan oleh gadis tersebut.
“Bagaimana Tuan Gama? Apa ada yang mau ditanyakan lagi?” Suara Dewi yang begitu mendayu kembali menyadarkan Gama dari lamunannya.
“Astaga. Gema, sepertinya kali ini kakakmu benar-benar merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama,” ucap Gama dalam hati.
“Tuan?” seru Dewi.
“Ah, iya. Lumayan memuaskan. Sepertinya, bisa dipertimbangkan,” sahut Gama masih dengan sikap angkuhnya.
“Baik, Tuan. Terima kasih. Jika seperti itu, saya permisi dulu. Hubungi saya, jika ada yang ingin ditanyakan lagi. Saya akan kembali ke kantor Tuan, dua hari lagi.” Dewi sibuk merapikan berkas-berkas yang sempat ia gunakan tadi. Sementara Gama, pria itu juga sibuk memperhatikan wajah gadis di hadapannya.
Lepas kepergian Dewi beberapa menit yang lalu, Gama kembali sibuk dengan pekerjaannya. Sayangnya, fokus dirinya terus terganggu. Bayangan wajah ayu Dewi terngiang di ingatannya.
“Ah, bagaimana bisa aku bekerja jika seperti ini!” kesal Gama.
“Hem, dia begitu cantik. Sangat disayangkan sekali gadis secantik dia bersanding dengan Erick, putra seorang pengkhianat,” sambung Gama sembari memainkan bolpoin di atas meja kerjanya. Lamunan Gama buyar, bersamaan dengan ponselnya yang berdering. Jelas sekali kekesalan menyelimuti diri Gama saat itu. Hanya saja, semuanya sirna dalam sekejap. Saat retinanya menangkap nama sang ibu di layar benda pipih tersebut.
“Ya, hallo, Ibu?” sapa Gama lebih dulu.
“Gama, di mana kamu, Nak? Apakah tidak akan pulang hari ini? Sepertinya kamu terlihat sibuk?” Rentetan pertanyaan dilontarkan oleh Erina Manno kepada putranya. Membuat Gama sedikit kebingungan untuk menjawab.
“Em, sepertinya begitu untuk beberapa hari, Bu. Tapi tenang saja, jika ada waktu aku akan menyempatkan diri untuk pulang, Bu.” Gama menyahuti pertanyaan sang ibu dengan jujur.
“Baiklah Nak. Jaga kesehatanmu, jika kau sakit siapa yang akan menjaga ibumu ini,” ucap Erina Manno dari seberang telepon sana. Cukup lama keduanya berbincang. Bermula dari Gama yang tak terima diremehkan oleh sang ibu. Pria itu merajuk, sementara Erina sangat senang menggoda putra dinginnya tersebut.
Saat panggilan telepon terputus, Gama menutup laptopnya. Merasa tak ada lagi yang harus dikerjakan, Gama segera memakai jasnya dan memutuskan untuk pergi meninggalkan ruangannya. Sepanjang jalan menuju lantai dasar, kepala Gama terus dibayangi oleh wajah Dewi.
“Selangkah lagi, kau akan menjadi milikku Dewi.” Gama berucap dalam hati, dengan seringai yang mulai terbit di bibirnya. Sebagai seorang pria muda yang ambisius, Gama selalu berpikir untuk mendapatkan apa pun yang ia inginkan.
Gama yang telah mengemudikan mobilnya, ke arah mansion harus ia urungkan dan memilih segera berputar arah. Bibir pria itu terus mengumpat tak jelas. Lepas menerima panggilan telepon dari beberapa anak buahnya. Jika saja bawahannya tak menelepon dan memberi tahu bahwa Liana tak ingin makan, mungkin saja dirinya lupa akan sosok Liana yang menjadi tahannya saat ini. Bukan khawatir, hanya saja Gama tak ingin Liana sakit dan menyusahkan dirinya.
“Benar-benar gadis manja. Pradipta memang tidak becus mendidik putrinya itu!” ketus Gama.
“Liana Anatasya. Wajahnya semakin cantik, dan termasuk kategori sempurna. Pantas saja Gema begitu tergila-gila dengan gadis sialan itu. Benar-benar berubah dari wajahnya semasa SMA dulu. Sangat disayangkan, sifatnya tetap saja sama. Sombong, dan tidak tahu diuntung!” sungut Gama. Gama memang mengenal sosok Liana sebelumnya.
“Kita lihat saja, kau harus membayar semua keangkuhanmu dulu. Akan kubuat kau bertekuk lutut di hadapanku!” ungkap Gama dengan tatapan menusuk.
Jemari pria itu tanpa sadar mencengkeram kuat setir kemudinya. Sepertinya, pria itu memang memiliki dendam tersendiri kepala Liana, di samping masalah Gema kembarannya.