5. Mengagumi

1180 Kata
"Kak Mira itu pikirannya terlalu dewasa sekali. Astaga, aku jadi membayangkannya," ujar Cyra, ia bergidik ngeri di depan pintu ruangannya. "Aku heran otak orang dewasa, kenapa bisa bekerja cepat tentang begituan?" Cyra bertanya-tanya hal yang seharusnya tidak ia pikirkan terlalu jauh. "Sudahlah, aku bekerja saja. Buang-buang waktu memikirkan dia." Dia yang Cyra maksud bukanlah doi, melainkan Dosen yang telah mengganggu pikirannya beberapa hari ini. Baru berjalan tiga langkah, Cyra menghentikan langkah kakinya. "Tapi apa benar yang dikatakan Kak Mira ya?" Cyra bimbang sendiri. Mendadak ia takut juga. "Ah, lebih baik aku menjauhinya. Mana yang katanya duda itu tampan, baik, berwibawa, menggoda seperti di novel-novel. Bohong sekali, menyeramkan dan menyebalkan yang ada." Cyra sedikit memajukan bibirnya seraya menggerutu. " Tidak sesuai kenyataan." "Nonbos, berhenti berbicara sendiri di sini. Seram tahu, Nonbos." Cyra menoleh ke sumber suara dari orang yang berani menegurnya. Dia bernama Nia, dua tahun di bawahnya, masih duduk di kelas dua SMA dan menjadi tulang punggung kedua di keluarga karena kedua orang tuanya yang sakit-sakitan, butuh biaya banyak sehingga ia dan kakaknya harus ekstra kerja keras demi bisa mencukupi kehidupan mereka termasuk pendidikan Nia. Sangat bersyukur Nia memiliki kakak perempuan yang baik dan pengertian. "Apa sih, Ni? Aku tidak bicara sendiri kok," elak Cyra, seketika itu membuat Nia terdiam dan terperanga. "Nonbos tidak bicara sen-sendiri? te-terus bicara sama siapa?" tanya Nia dengan sedikit terbata, ia ketakutan atas pemikirannya sendiri. "Jangan bilang Nonbos bisa lihat hantu lagi?" "Iya, hantunya ada di samping kamu, Nia," balas Cyra kemudian pergi meninggalkan Nia sendirian. Gadis muda itu terlihat sedikit takut, ia sampai memegangi belakang lehernya karena merasa merinding. "Nonbos menakutkan," katanya pada angin, lalu berlari mengikuti Cyra yang sudah lebih dulu pergi. Rumah makan hari ini cukup ramai. Rumah makan yang dikelola Cyra bernuansa indoor dan outdoor dengan berbagai macam tumbuhan yang sengaja dibuat lebat di sekelilingnya. Layaknya teras bersusun, teras atas indoor disediakan bagi siapa saja yang ingin makan dengan menjaga privasi, di sana tersedia lesehan dan bersekat sedangkan teras bawah outdoor disediakan meja persegi panjang dengan enam kursi dengan payung besar di atasnya. Sebagai pemisah antara parkiran dan rumah makan ada rumput pagar tinggi sehingga tidak dapat terlihat dari jalan raya. Ditambah lagi parkiran cukup luas, jarak dengan jalan raya tentunya semakin jauh. Rumah makan yang nyaman, agaknya tidak terlalu bising. Cyra bersama satu pekerja tampak turun tangga menuju salah satu meja makan di bagian outdoor. Ia bertugas meletakkan makanan di atas meja dari nampan yang pekerjanya bawa. Meski Cyra seorang manager, ia tidak segan membantu dalam urusan melayani pelanggan. Terkadang ia juga menjaga pintu masuk guna menyambut pengunjung serta menunjukkan pengunjung tempat memesannya. Sistem rumah makan ini menggunakan sistem pilih nomor urut, pilih tempat, pilih makanan dan bayar dulu. Mira dan Cyra menggunakan cara ini supaya lebih ringkas dan bisa mengatasi pesanan secepat mungkin sesuai nomor urut. Setidaknya pengunjung tidak akan menunggu lama. Dan beruntungnya cara ini termasuk yang efektif setelah mereka mencoba banyak cara di rumah makan pusat. Dan di dekat tempat pesan ada layar tv berukuran besar yang menunjukkan pesanan nomor urut berapa dan atas nama siapa yang tengah dibuat. Jadi orang bisa tahu gitu, lebih terbuka lah. "Maaf membuat kalian semua menunggu." Cyra tersenyum menyapa para pengunjung di meja nomor 7. Di sana ada tiga laki-laki dan dua orang perempuan sepertinya mereka tengah mendiskusikan sesuatu. Cyra sempat mendengar ada perdebatan tadi sebelum ia datang. "Ah, tak apa, Mbak." Seorang laki-laki menjawab sementara yang lainnya melemparkan senyum. Cyra senang mendapat pengunjung yang ramah begini. "Izin mau meletakkan pesanan ya." "Iya, silahkan," jawab pria tadi. "Terima kasih." Cyra meletakkan satu persatu makanan serta minuman di atas meja. Sedikit basa-basi, Cyra menanyakan perihal yang ia dengar tadi. "Kalian sedang mendiskusikan tugas kampus ya?" "Iya, Mbak. Kok Mbaknya tahu." Laki-laki sama yang menjawab. "Ah maaf, saya sempat dengar tadi." "Tak apa, Mbak." "Kuliah di kampus mana." "Ini dekat sini," jawab laki-laki itu seraya menyebutkan nama kampusnya. Mendengar nama kampus yang tak asing dengan dirinya, sesaat Cyra membuat raut terkejut. "Kalian berada di semester berapa?" dari pertanyaannya ini Cyra harap orang-orang yang ada di depannya ini satu angkatan dengan dirinya. "Kita semua ada di semester 5 fakultas kedokteran." Mampus. Memang benar, berharap pada manusia itu menyakitkan. Harusnya ia berdo'a dan berharap pada Tuhan tadi. Sekarang ia menyesal. "Mbak, satu kampus dengan kita ya?" seorang perempuan dekat dengan laki-laki yang dari tadi terus menanyainya tadi pun ikut bertanya. Astaga, pakai ditanya lagi. Ah, dari awal mereka sudah tahu ternyata. Sebanyak orang itu di kampus, kenapa tahu dirinya yang tidak terkenal ini coba? aneh sekali. "I-iya." "Aku pernah melihatmu." Laki-laki tadi menimpali. Mendadak, Cyra tidak mau berada di depan kakak tingkatnya lama-lama. Perasaannya tidak enak dan ya, ia tidak nyaman. Usai meletakkan semua pesanan, Cyra pun pamit pergi. Ia mengambil langkah lebar masuk ke dalam tempat utama rumah makan. "Cyra." "Mas Rendi." Cyra terkejut mendapati suami Mira tepat di belakangnya. "Kenapa lari-lari? Mas panggil dari tadi." "Tidak apa-apa, Mas," kata Cyra sambil menggoyangkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Sedikit tentang Rendi, ia adalah seorang dokter bedah di salah satu rumah sakit. Dia tidak tampan tetapi manis, kulit eksotisnya dan gaya berpakaian rapi serta pas melekat di tubuh membuat Cyra kagum. "Sungguh?" Rendi tampak meragukan perkataan Cyra. "Aduh, Mas ini. Selalu tahu tentang Cyra," gerutu Cyra, ia pun menarik Rendi agar ikut dengannya. Sampai di halaman belakang Cyra melepaskan tangan Rendi. "Itu loh Ma--" "Ada apa? ada pengunjung yang ganggu kamu?" potong Rendi. "Ish, Mas Rendi bukan gitu!" seru Cyra, terdengar sedikit manja. "Cyra tadi mengantar makanan ke pengunjung, Cyra terkejut dong, ternyata mereka kakak tingkat Cyra di kampus." Rendi mengerutkan alis tebalnya, kedua alis tersebut hampir menyatu dibuatnya. "Kenapa? malu kamu?" "Tidak, Cyra tidak mau berurusan dengan mereka saja." Cyra mengibaskan tangannya. "Ah, Mas Rendi tidak mengerti perasaan Cyra. Pokoknya begitulah, perasaan ini tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata." "Tapi saya selalu mengerti tentang kamu, Cyra." Mendadak gugup, Cyra tak sengaja menggigit bibir bawahnya. "Jangan lakukan ini, Cyra. Kau bisa membuat bibirmu berdarah." Rendi menyapu bibir Cyra dengan ibu jarinya. "Ma-Mas Ren--" "Mas Rendi!" Ambil langkah sigap, Cyra melangkah sedikit menjauh dari Rendi. Jantung Cyra berdegup cepat ketika melihat Mira mendekat. "Kalian di sini? ada apa?" Mira melihat dua orang tersayangnya disertai senyuman. Mira terlihat sangat cantik di mata Cyra. "Tau tuh. Mas Rendi kepo, Kak," jawab Cyra, sedangkan Rendi hanya diam dengan sang istri memeluk satu tangannya. "Kepo kenapa?" "Aku habis mengantar makanan di luar, ternyata ada kakak tingkatku di sana. Mereka tahu aku, otomatis aku malu." "Malu?" "Iyalah, Kak. Aku tidak tahu mereka. Jadinya aku malu. Mana tadi aku sok dekat." Cyra menangkup kedua pipinya kemudian menepuknya berulang kali. Ia sungguh malu loh tadi. Tawa Mira meluncur begitu saja. "Wah, ada-ada saja kamu, Cyra." Cyra hanya tersenyum saja menanggapi. "Ya sudah, kebetulan Mas Rendi sudah jemput. Aku pamit dulu ya. Jaga rumah makannya. Aku sudah cek keselurahan sudah oke. Tingkatkan penjualan saja." Cyra memberi hormat seraya berkata, "siap, Kak." "Ok, pulang dulu ya." "Titip salam buat ibuku, Kak." "Siap!" Sepasang suami istri pun pergi. Cyra melihat punggung keduanya dalam diam. Matanya agak sendu, menunjukkan sesuatu yang hanya ia dan Tuhan yang tahu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN