3. Saya Mau Kamu

1303 Kata
Mei bergegas bergerak cepat, kaki kecilnya melangkah maju menyusuri koridor rumah sakit. Pulang kerja tadi Mei langsung ke sini, niatnya ingin menjenguk Kai yang sedang dirawat di rumah sakit. Ya, meski begini-begini Mei kan masih punya rasa simpati. Tadi di detik-detik terakhir akhirnya satpam datang membuka paksa pintu lift. Kai yang masih setengah pingsan segera dibawa ke rumah sakit. Sementara Mei? Tidak ada, Mei tidak kemana-mana. Ia hanya melanjutkan pekerjaan cleaning servisnya. Mei berseru riang, akhirnya ia menemukan ruangan Kai. Namun, saat ingin masuk, seorang wanita cantik mendadak keluar dari pintu ruangan. Seketika saat berpapasan dengan Mei, wanita cantik itu menatap Mei tajam. Mei tersenyum canggung. "Sore Buk!" sapa Mei ramah. Wanita cantik yang kerap kali disapa Bu Sofi itu mengangguk anggun. Tatapan matanya masih tajam. Sebagai seorang sekretaris perusahaan, wanita usia dua puluh empat tahun itu sangat berwibawa tinggi. "Ada perlu apa kamu ke sini?" Akhirnya Bu Sofi mengeluarkan suara. "Eh? Saya mau jenguk--" Drtttt Handphone Bu Sofi mendadak bergetar, membuat ucapan Mei terpotong seketika. Tanpa memperdulikan Mei, Bu Sofi bergegas pergi dari ruangan tersebut, mengabaikan Mei yang masih termangu di depan pintu. Mei mengendikkan bahu, berlalu masuk ke dalam ruangan. Ruangan bercat putih itu lenggang, bau obat-obatan menusuk indra penciuman. Mei melangkah masuk. "Pak Kai, Mei datang!" "Iya Mei tau kok, Pak Kai nggak bakal jawab sapaan Mei. Oh iya, btw Mei bawa bubur ayam lho pak. Nanti jangan lupa di makan ya." Mei meletakkan bubur ayam yang sedari tadi ia tenteng ke atas nakas. "Udah ah, Mei mau pulang, dadah Pak Kai. Cepet sehat, biar Pak Kai bisa ngomelin Mei lagi." Mei balik kanan, namun saat itu pula langkahnya terasa tercekat. Melirik ke belakang, Mei mendapati Kai yang mencegat lengannya. WHAT? PAK KAI SUDAH SIUMAN?! Mei tertawa kikuk, gadis itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Heheh, sejak kapan Pak Kai siuman? Eh apa perlu Mei panggilin dokter?" "Nggak perlu! Asal kamu tau saya udah siuman sejak kamu berdiri di depan pintu." Mampus! Batin Mei. "Ah, ucapan mei yang tadi nggak usah dimasukin ke dalam hati ya, itu soalnya Mei cuma bercanda heheh," ujar Mei, berusaha sesantai mungkin. "Kalo saya mau masukin ke hati gimana?" "Nggak usah Pak, masukin ke paru-paru aja." Kai menautkan alis. "Biar apa?" "Biar jadi separuh napasku, eh nggak-nggak! Mei becanda doang sih, hehe." Kai tersenyum, Mei terkesiap melihatnya. Itu senyuman pertama Kai yang Mei lihat. Lihat itu garis bibir ranumnya yang melengkung, ah menawan sekali. "Ciee ... Pak Kai senyum-senyum. Kenapa Pak? " Kai yang tersadar langsung memasang muka datar. Mei berdecih, "segitu mahalnya ya senyum Pak Kai? Bahkan kalo dihitung Bapak tadi senyum nggak sampe semenitan deh." Kai berdehem, menatap Mei tajam. Mei menggaruk tengkuk kikuk. "Heheh, becanda kok Pak! Masa iya tegang banget kaya kerah baju anak sd hehe ..." Lenggang. Kai hanya diam. Matanya masih menatap tajam. Mei perlahan merasakan aura canggung. Sumpah! Demi apapun Mei sangat membenci situasi ini. "Eh, itu ada bubur ayam lho Pak. Pak Kai mau nggak?" "Nggak!" tolak Kai. "Eh? Kalo buah mau?" "Nggak!" tolak Kai lagi. "Terus maunya apa dong?" "Saya mau kamu ..." Kai menarik lengan Mei. Sementara satu tangannya yang lain menarik sudut bibir gadis itu. "Terus maunya apa dong?" "Saya mau kamu ..." Kai menarik lengan Mei. Sementara satu tangannya yang lain menarik sudut bibir gadis itu. Mei sontak menjauh, alis Kai mengernyit. "Eh, saya pulang dulu Pak," ucap Mei tiba-tiba, gadis itu segera bergegas pergi dari ruangan tersebut. Kai menatap bingung. Padahal tadi dia kan cuma mau bilang "Saya mau kamu tutup mulut atas kejadian di lift barusan." Gadis aneh, batin Kai. ***** Pagi sekian di kota hujan. Basah. Kota Bogor basah oleh bercak-bercak air yang kini menggenangi jalanan. Pukul tujuh menyisakan gerimis, rintik-rintiknya perlahan membasahi wajah pucat seorang gadis yang tengah berjalan riang ke arah kantornya. Mei menyukai hujan. Sama seperti ia menyukai dirinya. Alunan gemericik hujan baginya adalah simfoni terindah yang pernah dimainkan oleh alam. Tak terkira berapa juta rintik air pun yang membasahi kepalanya. Mei tetap suka hujan. Namun, keriangan itu mendadak hilang saat dari sisi kanan trotoar yang ia lewati muncul sebuah sedan hitam metalik. Naas sedan itu dengan cepatnya melewati jalan berlubang yang berisi genangan air hujan. Byur! Sial! Mei yang berada di sebelahnya basah kuyup terkena cipratan air kubangan itu. "Heii! Kalo nyetir liat-liat dong!" teriak Mei marah. Namun, sedan itu sudah lenyap dari ujung jalan. Mei menghela napas tertahan, bajunya seragam cleaning servisnya kotor. Tubuhnya menggigil kedinginan. Apa yang harus ia lakukan? Namun, saat itu pulalah seorang pria berjas hitam datang. Rambutnya yang tertata rapi, senyum manisnya yang menawan, serta tangan kokohnya yang memegang sebuah payung. Dia adalah Pak Alex, Manajer Ketenagakerjaan. "Mei, kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?" tanya pria tersebut khawatir. Mei menoleh ke sumber suara. Terlihat Alex yang kini berdiri tegak di belakangnya. Sorot mata pria itu terlihat cemas. "Astaga, kamu basah kuyup. Ya udah ayo ikut saya. Pakaian kamu harus dikeringkan terlebih dahulu." Alex membuka jasnya, memberikannya kepada Mei. "Eh, nggak usah Pak! Nggak papa, Mei nggak papa kok basah kuyup gini," tolak Mei halus. Alex tidak mendengarkan, pria itu menggandeng lengan Mei. Membawa gadis itu pergi dari trotoar. ***** "Vi, kasih aku waktu please!" [Please deh Kai, aku udah kasih kamu waktu yang lebih dari cukup.] "Kasih aku waktu satu bulan lagi, aku janji aku pasti bakal jadi CEO di perusahaan ini!" [Kamu itu bodoh ya? Ini kan perusahaan Papa kamu, harusnya kamu bisa dengan mudah gantiin posisi Papa kamu sebagai CEO.] "Aku ngerti, tapi itu nggak semudah yang kamu pikir. [Halah, bilang aja kamu nggak bisa.] "Vi, aku mohon kasih aku waktu sebulan lagi." [Kita cukup sampai di sini, aku mau kita putus.] "Vi jangan--" Click! Sambungan telfon dimatikan. Kai mengepalkan tinju, rusuh keluar dari ruangan kantornya. Hingga, saat itu pula langkahnya tak sengaja menabrak Mei yang tengah membawa secangkir kopi. Pyar! Secangkir kopi panas yang dibawa Mei jatuh, sontak siraman kopi tersebut mengotori jas hitam Kai. Mei terbelalak, "aduh, maafin Mei Pak. Sumpah tadi Mei nggak liat bapak." "Kamu bisa kerja yang bener nggak?" bentak Kai sambil memegangi tangannya yang barusan terkena siraman kopi panas. "Sekali lagi saya minta maaf Pak!" Mei menunduk, merasa bersalah. Kai mendengus. Berlalu pergi dari hadapan Mei. ***** Sore menjelang, bola matahari nampak menawan dengan garis-garis lazuardi yang jingga keemasan. Bogor nampak lebih cerah, setelah barusan hujan usai membasuh kota. Mei berjalan riang, pulang ke rumahnya. Tapi lagi-lagi langkahnya terhenti saat melihat seorang pria tengah termenung di dekat sudut halte bis. "Pak Kai!" panggil Mei antusias, sementara yang dipanggil hanya melengos tak peduli. "Pak Kai ngapain di sini? Nungguin bis dateng?" Kai diam, tidak berniat menjawab pertanyaan Mei sama sekali. "Oh iya Pak, tangan Bapak gimana? Luka? Kalo luka mending dikasih ini." Mei menyodorkan sebuah plester luka kepada Kai. Kai tetap beringsut, tak berniat menjawab celoteh Mei sama sekali. "Mei tau Pak, plester luka nggak bisa ngobatin luka hati, tapi seenggaknya plester luka bisa ngobatin luka di tangan." Demi mendengar kalimat Mei, Kai terkesiap. Mei tersenyum melihatnya. Bergegas memakaikan plester luka tersebut di lengan Kai. "Btw, Mei punya kejutan buat Pak Kai," kata Mei riang. "Coba liat ke atas langit, arah jam sembilan," lanjut Mei. Kai mengikuti arah pandang Mei, dan saat itu pula ia menemukan sebuah pelangi tengah bertengger anggun di atas sana. "Pelangi?" Itu kata pertama yang di ucap Kai. "Iya, pelangi itu nyuruh Pak Kai buat senyum." Kalimat itu? Kai terkesiap mendengarnya. Bagaimana bisa Mei tau? Bukankah itu kalimat yang dulu sering diucapkan ibunya? Kai menatap Mei lamat-lamat. Ia tidak tahan! Hatinya sedang kacau! Hingga pada akhirnya pertahanannya runtuh. Kai mendekap bahu Mei, merebahkan dagunya di atas ceruk leher gadis itu. Matanya berkaca dengan seiring isak yang tak kuasa ia tahan. Kai menagis. Mei sedikit kaget. Namun saat melihat bahu Kai yang naik turun Mei mengerti. "Nggak papa Pak, nangis aja. Kadang, kita memang perlu merasa untuk tidak baik-baik saja."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN