Diandra dan semua pekerjaan menumpuknya memang sudah bersahabat. Katanya, lebih baik banyak pekerjaan meski waktu tidurnya menjadi berantakan. Daripada, ia harus mendengar komentar mertua. Wanita itu mengabaikan banyak panggilan masuk dari suaminya. Ia benar-benar tidak ingin diganggu sama sekali.
"Bu, mau antar makanan."
Panggilan Mila membuat tangan cekatan Diandra berhenti bekerja.
"Masuk, Mil."
"Ini, Bu."
Diandra mengernyitkan dahinya saat melihat apa yang diletakan Mila di atas mejanya.
"Saya nggak pesan makanan, lho."
"Mungkin dari suami ibu." Mila mencoba menerka dari mana asal makanan tersebut. Karena, ia hanya menerima dari pengantar makanan daring.
"Dia biasanya ke sini."
"Jangan-jangan, yang waktu itu, Bu? Mau Mila buang? Takut orang jahat."
"Ah, nggak kok, Mil. Saya makan makanan yang sebelumnya dan saya baik-baik saja. Kasihan kalau orang niatnya baik eh malah dibuang."
Diandra menahan lengan Mila yang hampir mengambil bungkusan dari atas mejanya.
"Ah, baik kalau begitu, Bu. Saya permisi."
"Oke. Thanks ya, Mil."
Mila mengangguk sopan sebelum menghilang dari balik pintu kokoh ruangan Diandra.
Makanan di atas meja itu hanya ditatap heran oleh Diandra. Sejujurnya, ia juga agak takut kalau saja ada orang yang akan mencelakainya. Tetapi, kalau iya, mengapa sebelumnya ia masih baik-baik saja?
Dengan agak ragu, ia membuka paper bag tersebut. Ia mendapat notes lagi di sana.
'Hai, Di. Jangan telat makan siang, ya. Aku tau kamu hectic banget tapi jangan abaikan kesehatan.'
Diandra semakin dibuat bingung dengan semua ini karena tulisan kali ini berbeda dengan tulisan kemarin. Ia juga tidak mengenali tulisan tangan ini.
"Argh! Siapa, sih? Ini orang kurang kerjaan atau gimana?"
Meski begitu, Diandra tetap mengeluarkan isinya. Tidak bohong kalau isinya memang menggugah selera. Diandra membuang semua keraguannya.
Namun, sebelum menyantap makanannya, Diandra menyimpan notes yang didapatnya. Berdampingan dengan notes yang ia dapatkan sebelumnya.
"Siapapun lo, gue harap lo beneran orang baik yang peduli sama gue. Bukan orang iseng yang ujungnya neror gue."
Diandra menyantap makan siangnya dengan lahap. Entah, mungkin kalau benar orang yang mengirimkan makanan itu memiliki niat jahat, Diandra tidak akan menyadarinya sama sekali.
"Jendra? Lo ke sini nggak ngabarin gue dulu." Diandra tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat sang suami datang.
"Aku telepon kamu berkali-kali, Di. Malah, aku kirim banyak pesan juga."
"Sorry, gue lagi sibuk banget tadi." jawab Diandra sambil membuang bekas makan siangnya.
"Lho, kamu udah makan, Di? Aku ke sini mau ajak kamu makan siang bareng."
"Iya, sayangnya gue udah makan. Sorry, Jendra."
Rajendra hanya menyandarkan punggungnya dengan lemas. Memang, sulit sekali bersama dengan Diandra akhir-akhir ini. Ia sadar kalau sang istri mencoba menghindarinya. Sepulang bekerja pun, Diandra selalu menghindari percakapan yang serius.
"Sore kita nonton. Sekalian gue mau beli parfum."
Diandra mengangkat botol parfumnya yang hampir kosong. Sebenarnya, ia juga agak merasa bersalah dengan perlakuannya kepada Rajendra. Namun, ia juga tidak ingin memperdebatkan apapun. Makanya, Diandra mencoba menghindarinya apapun yang berhubungan dengan percakapan tentang ibu mertuanya. Jadi, hitung-hitung mengurangi rasa bersalahnya, Diandra mengajak Rajendra pergi berdua. Ya, walaupun malah tampak seperti dua remaja yang tengah dalam tahap pendekatan.
"Eh, tapi kalo lo nggak sibuk, ya." Diandra menambahkan.
"Aku bisa, kok. Aku cuma kaget aja. Kamu kan, sibuk banget."
"Gue bisa lanjut kerja nanti. Sekalian aja. Daripada gue keluar cuma beli parfum doang."
"O-oke. Kalau gitu, aku balik kantor dulu sekarang, ya? Nanti, kujemput jam pulang."
"Hm."
Rajendra memeluk Diandra singkat dan memberikan kecupan di dahi sang istri yang dibalas pelukan singkat dari Diandra.
"Dah sana balik! Gue mau lanjut kerja lagi," kekeh Diandra sambil sedikit mendorong tubuh Rajendra yang sebelumnya tak ada jarak sama sekali dengannya.
***
"Nggak usah pegangan, Jendra. Gue nggak mau kelihatan kayak anak SMA lagi pacaran. Aneh banget."
Jujur saja, Diandra memang kurang nyaman dengan tindakan Rajendra yang menggengga tangannya sejak memasuki pusat perbelanjaan yang cukup megah ini. Hal itu membuat beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Lagipula, siapa yang tidak mengenal mereka? Orang-orang mengebut mereka pasangan paling beruntung karena tidak kekurangan sesuatu apapun. Ya, orang memang kerap kali menilai dari apa yang mereka lihat. Diandra sering kali tersenyum getir ketika mendengar orang mengatakan iri pada kehidupan berumah tangganya.
"Sorry."
"Hmm..."
Diandra berjalan mendahului Rajendra. Wanita itu tidak ingin berada terlalu dekat dengan sang suami. Rasanya begitu aneh.
Sementara itu, Rajendra menatap kagum cara berjalan Diandra yang tampak menawan. Istrinya itu masih tampak begitu cantik meskipun sepulang bekerja. Rambut yang dicepol sekenanya dengan anak rambut yang menghiasi leher jenjangnya juga tampak menawan. Ah, lihat berapa beruntungnya ia. Meskipun, pernikahan mereka hasil perjodohan, tapi Rajendra beruntung menjadi suami seorang Diandra. Ada perasaan yang tidak terang-terangan ia sampaikan kepada sang istri yang memang sering kali menampakan ketidaknyamanannya dengan bahasan-bahasan seperti ini. Dengan Diandra berada di sampingnya pun ia sudah cukup bahagia.
Rajendra bukan tidak memikirkan perasaan Diandra. Pria itu juga tidak berpihak pada ibunya yang kerap kali melontarkan kata-kata yang cukup menyentil hati sang istri. Tetapi, ia merupakan anak yang terlahir dari keluarga dengan anggapan kalau apapun yang orang tua katakan adalah benar dan anak tidak berhak mengemukakan pendapat, sangat sulit untuk mengatasi semua ini.
Ia hanya bisa meminta pemakluman Diandra atas sikap sang ibu dan menenangkan sang ibu. Ah, mungkin Diandra sudah muak dengan semua ini. Rajendra sebenarnya cukup peka dengan semua ini. Hanya saja, ia tidak punya kuasa apa-apa.
"Pengecut!" teriaknya dalam hati.
"Lo masih ada kerjaan, Ndra?" tanya Diandra sambil menyenggol lengan Rajendra.
Sejak awal masuk ke gedung bioskop sampai film hampir diputar, Rajendra hanya diam dengan tatapan kosong.
"Ha? Nggak, kok. Aku cuma lupa sesuatu. Jadi, aku lagi coba ingat."
"Ck! Lo harusnya kalo masih ada kerjaan, tolak aja. Gue bisa pergi sendiri, kok. Ya, biarpun cuma beli parfum doang."
"Nggak. Nggak ada kerjaan, kok." Rajendra menggenggam telapak tangan Diandra yang terasa dingin karena pendingin ruangan yang cukup menusuk.
"Oke, deh." Diandra melepas genggaman Rajendra dan memfokuskan dirinya ke layar besar yang mulai memutar film. Ia juga disibukan dengan popcorn caramelnya.
Rajendra benar-benar tidak fokus pada film yang diputar. Ia malah sibuk menatap Diandra yang tampak sangat cantik meskipun penerangan minim. Pantulan cahaya dari layar yang menerka wajah Diandra malah menambah kesan menawannya.
"Lo ngapain liatin gue? Mau popcorn?" Diandra berisik pelan tanpa mengalihkan pandangannya.
"No." Rajendra akhirnya memilih pura-pura menonton film meskipun ia tidak tahu alurnya karena sudah tertinggal cukup jauh.
***
"Gue balik ke butik lagi, ya."
"Lho, kenapa nggak pulang aja? Ini udah petang, Di."
"Dibilang kerjaan gue masih banyak, Ndra." Diandra melirik tajam ke arah Rajendra.
Wanita itu masih kesal perkara parfum favoritnya kehabisan stok.
"Masih kesel sama parfum?" tanya Rajendra dengan pandangan yang masih fokus ke jalanan.
"Hm. Padahal, itu umum banget, lho. Kenapa mesti habis, sih? Tau gini gue beli dari website resminya aja. Sama lama juga."
"Aku pesankan. Pasti lebih cepat." Rajendra mengulurkan tangannya dan mengelus lembut puncak kepala Diandra.
"Hm."
Sepanjang perjalanan menuju butik, Diandra hanya menatap ke luar jendela. Rajendra juga tidak berkata apa-apa lagi.
"Kamu beneran nggak mau aku temenin?" tanya Rajendra.
"Nggak. Lo pulang aja. Istirahat."
"Padahal, aku kangen kamu lho, Di."
"Dasar!" Diandra memukul pelan lengan Rajendra.
Suaminya itu mengecup kilat bibirnya.
"Heh! Tempat umum, nih!" Diandra kembali memukul lengan Rajendra cukup keras.
"Jangan tidur larut, ya. Aku pulang dulu."
"Ya. Hati-hati."
Sebenarnya, Diandra tidak bersemangat melanjutkan pekerjaannya. Tubuhnya agak lelah setelah perjalanan ini. Ia membuka pintu butiknya dengan lesu.
"Bu Diandra."
Sebuah panggilan cukup mengejutkannya. Diandra segera menoleh ke arah suara tersebut.
"Ah, Pak Dirman? Gimana, Pak?"
Ternyata, yang memanggilnya adalah security yang bekerja padanya.
"Ini, Bu."
Diandra tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat menerima paper bag dari sang security.
"Dari siapa, Pak?"
"Saya kurang tau, Bu. Orangnya tidak keluar dari mobilnya."
"Hm. Nggak sopan. Terima kasih, Pak. Selamat bertugas."
"Sama-sama, Bu."
Diandra harus memeriksa CCTV yang terpasang di muka butiknya. Ia harus tahu siapa yang mengirimkan ini kepadanya.
Namun, setelah memeriksa, ia benar-benar tidak mengenal mobil yang berhenti tepat di depan butiknya itu.
"Siapa, ini? Stalker?"
Diandra menatap ngeri paper bag bertuliskan merk parfum kesukaannya. Chanel Coco Mademoisell. Ia sempat tertegun dengan apa yang berada di tangannya saat ini.
"God! Siapa, sih? Gila, ya."
Diandra kembali menemukan catatan di dalamnya.
'Hai, Di. Pasti, kamu merasa kesal karena parfum kesukaanmu sold out, ya? Sebenarnya, ini sudah dibeli cukup lama. Tapi, kebetulan kamu butuh sekarang. Jangan kesal lagi, ya.'
Diandra menemukan tulisan tangan yang berbeda. Lagi. Wah! Luar biasa kalau ini orang yang sama.
"Kayaknya, gue harus tau orang ini, deh."
Diandra harus menyuruh orang untuk memantau gerak-gerik orang yang cukup mencurigakan di lingkungan butiknya.
***
"Masih tergila-gila sama wanita itu?" tanya lelaki paruh baya yang tengah menghirup wangi wine.
"Bagaimana bisa berhenti?" Pria yang tampak lebih muda itu tersenyum tipis sebelum menyesap winenya.
Rasanya luar biasa. Kuat dan menggoda. Ia memutar gelas di tangannya. Menciptakan gelombang pada winenya yang tidak langsung dihabiskannya.
"Kau masih penasaran atau bagaimana? Umurmu sudah cocok menikah. Bukan bermain-main dan penasaran pada wanita di masa lalu."
"Abang tahu sendiri, aku tidak akan menikah selain dengannya. Dan aku tidak sedang penasaran. Masih sama seperti dulu."
"Dia sudah bersuami dan mereka orang-orang yang cukup terkenal. Pasti tidak akan semudah itu mengakhiri hubungan. Atau, tindakanmu akan menjebakmu."
"Aku tidak sebodoh itu." Pria itu menyesap habis winenya.
"Ya, adikku ini memang pandai. Apa saja yang sudah kau lakukan?"
"Banyak hal, Bang. Sepertinya, dia mulai penasaran dengan apa yang kulakukan."
"Kau suka sekali ya, melihatnya kebingungan?"
"Tidak juga," kekehnya.
"What's next?"
Pria yang lebih muda itu mengangkat bahunya. "Tapi, aku tahu permasalahan yang menimpanya. Aku harus membantunya keluar dari masalah ini. Dia wanita yang aktif. Melihatnya murung dan kacau membuat perasaanku terluka."
Pria itu mencengkram gelasnya cukup keras.
"Ow, cinta memang tidak bisa berbohong."
"Aku memang tidak berbohong."
"Ya, ya. Tapi, kalaupun kau memberinya kesenangan, tetap saja kau bukan tempat dia pulang. Kau hanya menjadi sebuah persinggahan untuknya melepas semua penatnya."
Pria itu kembali menuang wine ke dalam gelasnya.
"Apa aku benar?" Pria yang lebih tua itu terkekeh.
"Kau diam, Bang! Aku yakin, tidak akan ada tempat persinggahan sebaik diriku. Aku pastikan, aku yang aka menjadi rumahnya."
"Agaknya, adikku ini tengah mengupayakan sesuatu yang sudah terlambat."
"Siapa yang bilang terlambat?"
"Memang terlambat, bukan? Kau harusnya datang ke rumahnya lebih awal sebelum pria itu. Tapi, kau malah berjumawa menganggap wanita itu akan menolak perjodohan itu."
"Ya jangan diingatkan!"
Pria yang lebih muda itu mengambil jaketnya dan meninggalkan tempat hingar-bingar tersebut.
"Ke mana lagi?"
"Apartemen."
"Anak itu!"
Pria itu tidak mengindahkan perkataan apapun. Ia menembus orang-orang yang tengah meliuk-liukan tubuhnya mengikuti alunan musik. Tak jarang juga mereka saling b******u. Hal itu membuatnya pening. Lucu bukan? Padahal, dia kini menjadi pemilik tempat ini.
Sebenarnya, ia tak berniat membeli kopi atau apapun. Tetapi, melihat sosok yang amat dicintainya itu memasuki kedai kopi, ia memutuskan untuk menepikan mobilnya.
Ia membiarkan wanita itu masuk terlebih dahulu dan menyaksikan betapa indahnya makhluk yang amat dicintainya itu.
Ia memperhatikan bagaimana Diandra yang setengah kebosanan menunggu pesanannya. Beberapa kali memeriksa jam tangannya.
"Ah, ini sudah cukup larut, Di. Kamu ini selalu saja paling berani. Ini selalu sepi."
Karena Diandra masih menunggu lama, ia memutuskan untuk masuk ke kedai kopi tersebut. Ia ingin melihat Diandra dalam jarak yang lebuh dekat.
"Kenapa tidak mengganti pakaian?" gumamnya pelan karena melihat Diandra yang masih mengenakan setelan kerjanya.
Karena sibuknya memperhatikan Diandra, pria itu bertabrakan dengan orang yang tengah fokus pada ponselnya.
"Oh s**t!" umpatnya sambil mengibaskan tangannya yang terkena kopi panas.
"Maaf, maaf."
"No prob!" Pria itu mengibaskan lengannya tanda agar orang tersebut segera pergi.
Meladeninya hanya membuang-buang waktu saja. Toh, ia hanya ingin melihat Diandra.
Namun, karena sedikit keributan itu, ia sudah melihat Diandra keluar dari sana.
"Argh!" pekiknya.
Ia melihat sesuatu terjatuh dari saku Diandra. Tanpa pikir panjang, ia mengambil benda tersebut dan menaruhnya ke dalam saku jaketnya sambil tersenyum.
"See you next time, Di."
Sementara itu, Diandra yang sempat bertabrakan pandangan dengan seseorang yang menurutnya mencurigakan itu mempercepat langkahnya menuju butiknya. Meski jaraknya cukup dekat, tapi malam sudah larut dan jalanan menuju butiknya cukup sepi.
"Lho, Bu Dindra habis keluar? Kenapa tidak menyuruh saya?" tanya sang security.
"Nggak apa-apa, Pak."
"Duh, maaf ya, Bu. Tadi saya habis dapat panggilan alam."
"Santai, Pak." Diandra menyerahkan satu cup kopi panas pada sang security.
"Wah, terima kasih, Bu."
Diandra hanya membalasnya dengan anggukan.
"Huh, hampir aja." Diandra menetralkan debaran jantungnya. Baru kali ini ia merasa ketakutan karena merasa diikuti oleh seseorang.