Chapter 06

1800 Kata
"Mil, ini siapa yang kirim?" Sang asisten yang mendapat teriakan dari Diandra langsung berlari menghampirinya. "Ojol, Bu. Saya taruh di meja Ibu karena tadi Ibu masih di toilet." "Oke." Diandra mendudukan tubuhnya dengan lemas. Lagi? Entah sudah sekian kali ia menerima ini. Tetapi, masih belum mengetahui siapa pengirim dan motif di baliknya. 'Hi, Di. Lipstikmu jatuh semalam. Kenapa terburu-buru begitu? Ah, iya. Semalam sudah terlalu larut. Jangan kerja terlalu larut, Di. Jaga kesehatan.' Ah, tenyata lipstik yang dicarinya tadi pagi. Ternyata, ia menjatuhkannya sewaktu membeli kopi. Wanita itu menaruh notes yang didapatnya kali ini. Tulisannya juga berbeda dengan yang sebelumnya. Ia semakin bingung dibuatnya. Setahunya, selama ini memang tak ada yang mendekatinya. Atau memang sebenarnya ia tidak peduli? Entahlah. Mengabaikan siapa yang mengirimkan ini, Diandra kembali bergulat dengan pekerjaannya. Minggu depan, ia harus memberikan konsep untuk perasaan busana musim ini. Ia harus mengeceknya kembali apakah sudah sempurna atau tidak. Karena, ia tidak ingin ada satu kesalahan pun. *** "Hey, sudah jangan tertawa bodoh seperti itu!" "Bang! Kalau masuk ketuk pintu dulu!" balas pria yang lebih muda itu. "Ini bekas ruanganku kalau kau lupa!" "Ya, tapi sekarang ini milikku." "Aku tidak akan menang melawan orang sepertimu." Pria yang lebih muda itu tertawa melihat sang kakak yang tampak kesal. "Maaf. Aku hanya sedang--" "Memikirkan Diandra. Terus saja begitu. Hidupmu sepertinya isinya Diandra terus." potong sang kakak. "Ya, you know, Bang. Kenapa aku mau menerima tawaranmu ini. Karena aku tidak ingin terlihat culun di mata dia." "Hah! Kalau tindakanmu seperti ini, dia mana paham? Eits, tapi aku tidak sedang mengajarimu untuk merebut istri orang, ya." "Ah, terima kasih idenya, Bang." Pria itu bangkit dari kursi kebanggaannya dan meninggalkan sang kakak yang masih tidak mengerti dengan tindakannya. "Hey! Di mana sopan santunmu? Kakakmu di sini dan kau pergi?!" "Abang yang bilang kalau ini ruanganmu. Nikmati saja selagi aku pergi." "Dasar anak itu!" Di tempat lain, Diandra masih berkutat dengan pekerjaannya. Seperti biasa, ponselnya juga diabaikan. Karena, ia tidak menerima panggilan di waktu kerja. Semua dialihkan pada Mila. Jadi, kalau yang masih berani menghubunginya, itu bukan masalah pekerjaan. Kalau tidak Rajendra, pasti orang tuanya dan akan membahas itu-itu saja. Ini bukan saatnya. "Permisi, Bu." "Ya, Mil. Masuk." "Bu, ada yang titip ini." "Lagi?" tanya Diandra frustasi. "Hmm. Ibu sudah bertanya pada suami Ibu? Siapa tahu, beliau yang kirim." "Dia nggak pernah sok misterius begitu, Mil. Ya sudah, kamu boleh kembali." "Siap, Bu." "Apa, Ndra? Gue lagi sibuk banget." Karena sudah banyak sekali panggilan yang masuk, Diandra akhirnya menjawab panggilan tersebut. "Kamu sibuk terus. Ayo makan siang sama-sama." "Lo bisa beli aja, gak? Makan di butik aja. Gue lagi mepet banget." "Okay. Kamu mau apa?" "Apa aja boleh asal bisa di makan." Diandra langsung mematikan panggilan tersebut bahkan sebelum Rajendra mengatakan hal lain. Dua puluh menit kemudian, Rajendra sudah tiba di butik Diandra dengan bawaannya yang terlihat merepotkan. "Siang, Di. Udahan dulu, yuk. Kamu juga harus istirahat. Itu karyawanmu sudah makan siang." "Lima menit lagi, Ndra." Pria itu mengangguk dan mulai menata makanan yang dibawanya ke atas meja. "Sudah siap, Tuan putri. Ayo makan dulu." "Cringe banget, Ndra." kekeh Diandra. Makan siangnya diselingi dengan pertanyaan seputar pekerjaan masing-masing. "Kamu jadi ke Paris?" tanya Rajendra. "Jadi lah, Ndra. Masa nggak?" "Aku temenin, ya?" "Kita udah bahas ini kemarin, lho. Gini, gue nggak mau ganggu kerjaan lo." "Aku bisa kok, kerja jarak jauh. Ada orang yang handle juga." Rajendra masih mencoba meyakinkan Diandra. Jujur saja, ia cukup khawatir. Tetapi, semakin ia mencoba membujuk Diandra, istrinya itu semakin keras menolak juga. "Ndra, gue kayak gini bukan sehari dua hari. Gue udah sering ke mana-mana sendiri." "Tapi, sekarang kamu sudah bersuami, Di." "Terus? Ndra, gue bukan orang yang suka bergantung sama siapapun. Termasuk lo. Hm, apa kata mama kalo tau lo nemenin gue? Udah bener aja gue dibilang ngerepotin anaknya." "Kok, kamu jadi bawa mama?" "Ya, kan emang gitu adanya. Gue cuma nggak mau aja dianggap kayak gitu. Capek." Diandra langsung beranjak dari sana dan meninggalkan Rajendra yang baru saja ingin buka suara. "Di, tolong lupakan apapun yang pernah mama bilang ke kamu, Di." "Gue nggak pernah ingat-ingat sebenernya. Tapi, udah keseringan, Ndra. Gue beneran secapek itu. Gimana sih? Gue nggak ketemu, dibilang nggak sopan, nggak ngehargain orang tua. Tapi ya emang mau gimana? Orang tiap ketemu bahasnya itu-itu aja." "Sorry." Rajendra berujar pelan. "Nggak usah minta maaf, Ndra. Toh lo juga nggak bilang apa-apa, kan sama mama tentang keberatan gue?" Diandra berdecih. "Di, please. Aku nggak pengin debat." "Harusnya gue yang bilang gitu. Lo selalu aja mancing gue buat bahas hal-hal yang nggak mau gue bahas lagi." Diandra memijat pelipisnya. "Kita paham batasan masing-masing, kan? Mending lo balik kantor, deh. Udah jam kerja lagi." "Maaf." Rajendra mengecup dahi Diandra sebelum berlalu dari sana. Diandra hanya mengangkat alisnya sebagai jawaban. "Apa sih yang lo harapin dari rumah tangga kita, Ndra? Gue cuma malas berurusan sama media aja buat berakhir." Diandra bermonolog. Semakin lama, ia merasa semakin muak dengan hubungan ini. Ia merindukan kebebasannya. Ah, tapi memang ini bukan sepenuhnya salah orang tuanya ataupun Rajendra. Kalau saja saat itu ia lebih mengabaikan apapun yang dikatakan orang terhadapnya dan tidak menyetujui pernikahan ini, ia tentu lebih bebas. Dua tahun sudah. Ia sudah tidak bisa sesabar sebelumnya sekarang. Pernikahannya hanya bertahan karena tidak ingin memancing kegaduhan publik. Ah, masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan dan jika ia mengakhiri pernikahannya, semua akan berantakan. Alasan-alasan yang sebenarnya hanya menjadi miliknya, tentu akan dipertanyakan banyak orang. Belum lagi spekulasi mertuanya yang pasti akan merusak karirnya. Sudah tidak akan aneh lagi kalau hal-hal buruk akan dilontarkan oleh wanita paruh baya itu. Diandra menutup laptopnya. Cukup untuk hari ini. Ia tidak ingin mengacaukan rancangannya. Ia butuh tenang sampai esok hari. "Kayaknya, minum-minum sedikit boleh juga." Diandra mulai mencari kartu yang sempat didapatkannya. Ya, sepertinya mendatangi bar tersebut bukan hal yang buruk. Toh, bar itu juga tidak untuk sembarang orang mengingat namanya. Diandra mengetahui bar ini di kota lain dan memang diperuntukan bagi kalangan atas. *** Pukul sepuluh malam, ia berangkat dari butiknya. Diandra yang sudah biasa tak pulang akhir-akhir ini tentu saja tak akan mendapat banyak pertanyaan dari Rajendra. "Sama aja berisik." gumam Diandra. Sudah cukup lama ia tak mendatangi tempat seperti ini. Ia berjalan menuju table yang sudah di reservasi sebelumnya. Baru beberapa menit di sana dan menikmati minuman yang dipesannya, rasa bosan menyerangnya dan membuatnya ingin segera pergi dari sana. Tetapi, ia tidak ingin suasana sunyi. Itu membuat pikiran buruk terus mengganggunya. Di sudut lain, seseorang memperhatikannya dengan tatapan cerah. Senyum di bibirnya tidak luntur sama sekali. "Kalau berani, ajak dia bicara. Bukankah tidak mudah membuatnya datang ke sini?" "s**t! Bang! Bisa permisi dulu, tidak? Ini sudah terlalu larut, Bang. Kau izin tidak pada kak Eva akan kemari?" tanya pria itu. Pasalnya, kakak iparnya tak jarang berkeluh kesah padanya saat kakaknya terkadang membandel pergi ke bar sampai pagi. "Ah, gampang. Abang tidak lama." "Ya sudah, pulang sana!" "Kurang ajar sekali! Dulu saja menolak keras. Sekarang malah seperti ini." Pria itu terkekeh dan menepuk bahu kakaknya. Percakapan itu membuatnya kehilangan Diandra. Wanita itu sudah berjalan tergesa-gesa keluar bar. "Lho, Di?" pekiknya. "Abang boleh di sini dulu?" "Tadi kau suruh Abang pulang, sekarang suruh di sini. Kalau Eva ngamuk, kau yang kuhajar." "Urusan gampang! Aku pergi." "Ya, hati-hati." "Diandra ke mana? Kenapa dia bawa mobil secepat itu? Astaga, Di." Pria itu menyusul mobil Diandra tak kalah cepatnya. Ternyata, rumah sakit adalah tempat yang dituju Diandra. Pria itu mengernyitkan keningnya. Siapa yang sakit? Pikirnya. Karena penasaran, ia tetap mengikuti Diandra yang berjalan tergesa-gesa. "Mama kenapa, Ndra?" tanyanya. Rajendra tak langsung menjawab. Suaminya itu malah memperhatikan penampilan Diandra yang tampak berbeda malam itu. "Kamu minum, Di?" "Bukan saatnya bahas itu, Ndra." "Tadi mama jatuh dari tangga." "Ah. Sekarang gimana?" "Cuma pingsan sebenarnya. Semoga cepat siuman." Diandra mengangguk. "Sekarang jawab, kamu sedang di luar tadi?" "Hm. Teman lama ajak ketemu. Gak enak kalau gue tolak." Rajendra mengernyitkan keningnya. Ia tahu betul kalau Diandra jarang berteman. "Ashila. Lo inget? Orang yang pernah jadi model gue. Dia baru balik dari Singapura dan ngajak ketemu. Ya masa gue tolak? Nggak enak banget." "Kamu nggak ngabarin aku dulu." "Dadakan. Dia aja hubungin gue udah sampai tempatnya." Rajendra mengangguk sebagai jawaban. "Sorry, Ashila." gumam Diandra dalam hati. Hanya alasan itu yang bisa ia gunakan karena sore tadi Ashila mengirim pesan padanya kalau dua hari lagi, perempuan itu mengajaknya bertemu. "Keluarga ibu Adelia?" "Ya, Dok." Rajendra yang menjawab. "Ibu anda sudah siuman." "Baik, Dok. Terima kasih." Diandra mengikuti Rajendra masuk. Walau bagaimanapun, ia masih punya rasa peduli pada mertuanya itu. "Ma, sudah sadar? Mana yang sakit?" Rajendra tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya pada sang ibu. Namun, bukannya menjawab pertanyaan sang anak, Adelia malah menatap Rajendra dan Diandra secara bergantian. Memang, pakaian yang dikenakan mereka cukup kontras karena Rajendra sudah mengenakan piyama dan tak sempat berganti pakaian saat mendengar kabar buruk yang menimpa sang ibu. "Kamu habis keluar, Di?" tanya wanita paruh baya itu. "Di habis ketemu temannya, Ma." Rajendra yang menjawab pertanyaan sang ibu. "Wanita sudah bersuami itu tidak bagus keluar malam. Apalagi pakai pakaian seperti itu." Diandra hanya diam. Bahkan, saat berbaring dk atas ranjang rumah sakit saja, ibu mertuanya itu masih saja berkomentar. "Aku sudah izinin Di pergi kok, Ma." "Tapi, Ndra." "Mama istirahat, ya." Rajendra memotong pembicaraan sang ibu dan menaikan selimut yang dikenakannya. Wanita paruh baya itu menurut saja dan menutup matanya dan tak butuh waktu lama Adelia terlelap. Diandra duduk sendiri di depan ruangan Adelia. Sudah memasuki dini hari dan suasana begitu hening. Ia menunggu Rajendra menemui dokter. "Mama cuma shock tadi. Nggak ada luka yang membahayakan." Rajendra memberi penjelasan begitu berada di hadapan Diandra. "Hm." "Kamu pulang saja, ya. Biar aku yang nunggu mama di sini." "Ya." Diandra langsung bergegas dari sana. "Aku yang antar, Di. Bahaya." "Gak usah. Nanti mama tiba-tiba nyariin lo gimana? Dikira nggak peduli sama beliau lagi. Gue bisa nyetir sendiri." "Maaf." Diandra mengangguk. Rajendra tidak mengantar Diandra sama sekali. Ya, walau hanya sampai parkiran. Diandra semakin yakin kalau memang rumah tangganya tidak sehat. Ia semakin ingin mengakhiri semua ini segera. Kalau saja Rajendra bisa memberikan pengertian pada sang ibu, mungkin ia masih bisa menjalani ini dengan santai. Tetapi, apa yang bisa ia harapkan? Rajendra tentu di pihak ibunya. Pikiran Diandra semakin labil. Ia melangkah tanpa memperhatikan sekitar sampai bunyi klakson memekakkan telinganya. "Mbak, jangan bengong kalau jalan!" teriak sopir ambulans yang hampir menabraknya. "Maaf, Pak." "Jangan bengong." Diandra tersentak mendengar suara di belakangnya. Keterkejutannya tak sampai di sana, ia merasakan lengan pria asing itu bertengger di pinggangnya. Ternyata, pria itu yang menolongnya. "Terima kasih." "Hm. Mau minum dulu?" tanya pria itu. "Thanks. Saya mau pulang saja, sudah pagi." Pria itu tak bisa memaksa keputusan Diandra. Tetapi, ia tetap mengantar Diandra menuju mobilnya. "Yakin?" "Hm. Thanks, ya." Diandra seperti tak asing dengan pria yang mengenakan masker ini. Tetapi, ia tidak ingin berpikir banyak di saat seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN