Diandra masih termenung di dalam mobilnya. Mencoba menetralkan pikirannya walau barang sedikit agar konsentrasi menyetirnya cukup stabil.
"Lo bukan anak remaja, Di. Hal kayak gini gak bikin lo stress." Diandra menggumamkan kalimat penyemangat bagi dirinya sendiri sambil menstabilkan napasnya yang memburu.
"Lho, masih di sini?" gumamnya saat melihat pria yang menolongnya tadi masih berdiri menatap ke arah mobilnya yang tak kunjung berjalan.
"Apa dia psycho?" Diandra bermonolog kembali sebelum mengetuk kepalanya sendiri karena merasa terlalu mendramatisir keadaan. "Kebanyakan nonton film, lo!" Wanita itu langsung melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.
Hari sudah pagi, Diandra tidak yakin kalau ia bisa bekerja dengan baik nanti. Kepalanya juga sedikit pening. Efek minum dan pikiran yang mengganggunya.
Pekerjaannya memang harus segera diselesaikan. Tetapi, ia juga butuh tidur. Jadi, ia mengirimkan pesan terlebih dahulu kepada Mila agar tidak menghubunginya sampai waktu yang ditentukannya.
***
Waktu begitu cepat berlalu. Diandra hampir rampung dengan segala pekerjaannya dan lusa, ia harus berangkat ke Paris.
Ngomong-ngomong masalah ini, ia masih belum bicara lagi dengan Rajendra. Meskipun, mereka kerap bertemu saat dirinya mengunjungi Adelia. Tidak mungkin ia membahas masalah tersebut karena sang mertua pasti akan memberikan segala komentar pedasnya.
"Mil, ke ruangan saya, ya." ucapnya yang langsung diiyakan oleh Mila dari seberang sana.
"Siang, Bu."
"Ah, Mil. Saya mau bahas masalah lusa. Saya khawatir sama kondisi kamu. Biar saya berangkat sama Karin aja, ya. Staff saya ambil yang stay di sana aja."
"Yah, Bu. Padahal saya nggak apa-apa, lho."
"Di sana bakal hectic banget. Kamu ngerasain sendiri kan waktu itu? Kamu lagi hamil dan pernah keguguran, kan? Jaga anak kamu baik-baik. Nanti, kamu yang bertanggung jawab di sini."
"Y-ya sebenarnya, suami saya juga tanya ini semalam, Bu. Dia sempat diam saat saya coba yakinkan."
"Nah. Khawatir kan suamimu? Santai. Kamu kan sudah banyak bekerja keras sama saya."
"Padahal, kalau ke sana lumayan sambil jalan-jalan."
"Jalan-jalan kan bisa nanti, Mila. Bareng anak kamu."
Mila akhirnya mengangguk. "Makasih ya, Bu. Memang Ibu baik banget."
"Saya cuma nggak mau kamu kenapa-napa."
"Siap, Bu. Mila bakal jaga butik dengan baik. Ibu juga hati-hati di sana, ya."
"Hm."
"Kalau begitu, saya kembali, ya."
"Iya, Mil. Ah, tolong kalau pesanan saya datang, diantar sama OB aja. Kamu jangan bolak-balik mulu."
Mila mengangguk patuh.
Diandra memutar bolpoin di tangannya. Pikirannya tiba-tiba tertuju pada pria semalam. Ia seperti tak asing dengan pria tersebut. Tetapi, siapa? Serasa dekat tapi tak ingat.
Ia ingin menduga tapi rasanya tidak mungkin. Dari segi penampilan pun sudah berbeda. Orang dengan parfum seperti itu pastilah banyak. Tidak mungkin dia.
"Who, apa gue kangen banget sama dia? Tiba-tiba banget kepikiran?" gumamnya sambil tersenyum getir.
Ia mengingat betapa tidak menyenangkannya kisah cintanya. Diandra yang populer dan sepertinya mudah sekali mendapatkan kekasih rupanya hanya seorang biasa yang hanya berani menaruh perasaan pada lelaki yang lebih senang berdiam diri di perpustakaan. Tak lupa juga kacamata tebal yang bertengger di hidung mancungnya. Orang yang hanya bisa ia lihat dari kejauhan karena rasanya sangat sulit bahkan hanya untuk dekat dengannya.
Cinta pertamanya semasa duduk di bangku sekolah menengah atas. Tentu saja tidak akan bisa begitu saja hilang dari ingatan. Meskipun, ia sudah tak tahu lagi keberadaannya karena lelaki itu kabarnya berkuliah di luar kota.
Semasa kuliah pun, Diandra hanya menganggap teman semua lelaki yang mencoba mendekatinya. Ia merasa kalau tak ada lelaki yang bisa membuatnya begitu berdebar saat berada di dekatnya. Ya, Diandra memang tidak bisa menerima orang hanya karena sungkan. Ia lebih senang berterus terang.
Pernah sekali ia mencoba menjalin hubungan dengan pria yang sempat menjadi partner bisnisnya. Tetapi, itu juga tidak berjalan mulus karena Diandra tidak senang dengan sistem hubungan yang pria itu terapkan. Jadi, ia memilih berakhir. Cinta mungkin sudah tidak ada lagi dalam daftar prioritas hidupnya.
Tetapi, kali ini seperti untuk pertama kalinya ia kembali mengingat lelaki itu. Setelah berpuluh tahun berlalu kenangan itu kembali hinggap di kepalanya.
Tanpa sadar, bibirnya melengkung ke atas. Ia ingat bagaimana lelaki itu begitu serius membaca buku sambil membenarkan letak kacamatanya.
"Apa kabar, ya?" gumamnya.
Namun, senyuman itu tak bertahan lama karena mungkin saja, lelaki itu kini sudah berumah tangga. Memiliki keluarga yang harmonis dan dikaruniai anak-anak yang menggemaskan. Atau bahkan sudah tumbuh remaja.
"Dosa banget gue mikirin suami orang kalo gini."
Lain di mulut, lain di kepalanya. Diandra masih belum bisa mengenyahkan lelaki itu dari kepalanya. Parfum pria semalam benar-benar membawa ingatannya pada sang cinta pertama.
Memang, rasanya kurang masuk akal kalau itu memang dia? Karena parfum seperti itu apa masih masuk digunakan oleh pria seumurannya?
"Bisa aja itu anak kuliahan, kan? Atau lagi magang? Ah, gue kenapa, sih? Kangen banget Qiandra. Gila! Masa, gue jadi kepikiran nyari dia?"
Dering telepon membuyarkan segala pikirannya. "Ya, Mil."
"Bu, ada yang titip sesuatu."
"Suruh OB antar, ya."
"Baik, Bu."
"Lho, apaan? Perasaan, pesanan gue udah sampe tadi." gumamnya pelan.
Setelah menerima benda tersebut, Diandra semakin pusing dibuatnya. Siapa yang mengirimkan ini? Apakah orang yang sama?
"Lilin aromaterapi?" Ia mengernyitkan keningnya.
'Hai, Di. Jangan stress, ya. Jangan sedih-sedih juga. Life is still going on. Nanti, akan ada saatnya kamu bahagia. Istirahat yang cukup, ya. Ini buat teman istirahatmu. Semoga suka.'
"Siapapun lo, makasih banget karena udah kembaliin mood gue. Gue harap, kita cepet ketemu."
Namun, senyumnya seketika luntur saat menerima pesan dari Rajendra.
Jendra :
Lusa kamu berangkat ke Paris, kan? Malam ini pulang, ya. Besok izin juga ke mama.
"Harus banget, ya? Duh gue males kena nyinyir." monolognya.
***
"Jadi, kamu beneran berangkat ke Paris? Diandra, kamu nggak kepikiran cepat hamil, apa? Udah jarang pulang ke rumah. Kayak punya suami nggak bisa nafkahin aja."
"Ma, tapi semua ini saya bangun jauh sebelum saya nikah sama Jendra. Toh, Jendra juga setuju, kok."
"Kamu ini harusnya tegas sama istri, Ndra. Punya istri kok malah kayak menduda."
"Ma, jangan bahas ini lagi, ya. Kita memang santai, kok."
Diandra membuang napasnya kasar. Sepuluh menit berada di rumah mertuanya sudah serasa sepuluh tahun berada di neraka.
"Kami pulang ya, Ma."
Adelia hanya mengangguk dan melirik sinis pada Diandra.
"Lo udah periksa, Ndra?" pertanyaan Diandra memecah keheningan perjalanan mereka.
"Hm." Rajendra bergumam sebagai jawaban.
"Terus?"
Suaminya itu menceritakan hasil pemeriksaannya dan memang sudah Diandra duga ini pasti terjadi. Ia sebenarnya tidak masalah.
"Sorry, ya. Gue malah nggak ada di saat lo kayak gini."
"Aku paham kok kamu sibuk banget."
"Lo nggak cerita sama mama masalah ini?"
Rajendra menggeleng. "Aku nggak tega mau bilangnya, Di. Aku kan anak tunggal. Mama pasti berharap banyak sama aku."
Diandra tentu saja terkejut dengan perkataan Rajendra.
"Serius? Dia bilang gitu? Hey! Masalah ada di anda ya, Rajendra! Lo biarin gue kena omongan mama lo dan lo malah merahasiakan sesuatu yang harusnya jadi titik terang masalah ini. Gila, lo?!" teriak Diandra dalam hati.
Sebenarnya, ia ingin menyuarakan ini sekarang. Tetapi, ia harus menyimpan tenaganya untuk esok hari. Perasaannya akan memburuk jika berdebat.
"Oh, ya udah kalo emang itu keputusan lo." Hanya itu kata-kata yang bisa Diandra lontarkan. Sebenarnya, ia sudah sangat muak dan ingin marah. Karena, entah akan sampai kapan masalah ini berlanjut. Tuntutan memiliki anak oleh mertuanya padahal sumber masalahnya ada pada anaknya sendiri.
"Kuat-kuat ya, Di." ucap hatinya.
"Gue cuma ambil barang aja ke rumah, ya. Soalnya, Karin bakal nginep di butik. Dia nggak bakal berani sendiri."
"Lho, katanya malam ini kamu di rumah?"
"Gue lupa, Ndra. Ya mana tega gue sama Karin? Ini orangnya tanya gue di mana."
Diandra sengaja menunjukkan pesan yang Karin kirimkan.
"Oke, deh. Aku antar kamu ke bandara ya besok?"
"Kalo nggak ngerepotin."
"Gak pernah."
Diandra hanya menghela napasnya. Iya. Memang bukan ia yang merepotkan sebenarnya.
***
"Bu? Ibu oke?" tanya Karin yang melihat Diandra melamun.
"Ah? Oke, kok."
"Ibu kayak banyak pikiran."
"Ya, namanya orang hidup, Rin. Ada aja pikiran."
"Kalau Ibu mau cerita, saya siap dengerin, kok."
"Kayaknya makasih aja, deh. Mending, kamu temenin saya ngopi aja."
Karin mengangguk setuju. Malam itu, mereka berada di kedai kopi sampai larut malam.
Memang tidak bohong kalau Diandra butuh teman bicara. Meskipun tidak membahas permasalahan yang dialaminya, setidaknya ada hal yang bisa mengalihkan pikirannya.
"Maaf ya, Bu. Saya jadi ganggu kangen-kangenan Ibu sama suami," celetuk Karin.
"Eh?"
"Iya. Gara-gara saya nginep di butik karena takut telat besok, Ibu jadi nemenin saya."
"Kamu ini. Saya kan biasa nginep juga. Lagian memang, nanti ribet juga kalau pagi-pagi baru ke butik. Biar sekalian."
"Tapi, nanti Ibu kangen kelonan, dong? Kita lama lho di Paris."
"Kelon gak kelon sudah biasa, Rin." kekeh Diandra.
"Eh, saya lancang ya, Bu? Maaf."
"Santai saja. Lagian, kamu ini udah pengin ada yang kelonin, ya?"
"Iya, Bu. Kayaknya enak, ya? Pulang kerja sayang-sayangan."
Diandra hanya terkekeh mendengar penuturan Karin. Ya, seandainya berumah tangga semenyenangkan itu. Tetapi, malangnya bagi Diandra tidak. Kalau bisa, ia malah ingin kembali saja pada masa lajangnya. Di mana ia bebas melakukan apapun tanpa ada aturan sudah menjadi istri orang.
"Pastikan kamu menikah dengan orang yang tepat, Rin. Suami yang bertanggung jawab, keluarganya yang menerima kamu apa adanya."
"Maunya, Bu. Tapi, kayaknya jodoh saya belum kelihatan."
"Jangan ditunggu dan di buru-buru, Rin. Nanti nggak baik. Biarkan takdir yang bekerja. Cukup berdoa aja biar dapat yang terbaik."
Hati Diandra mencelos setelah mengatakan hal itu. Ya, andai saja waktu bisa diputar kembali.
"Iya, Bu. Semoga, ya."
"Dah yuk balik, Rin. Kita kelamaan di sini kayaknya."
Karin mengangguk setuju.
Di sudut lain, seperti biasa ada yang memperhatikan Diandra dengan tatapan sendu.
"Soon ya, Di. Aku bakal buat kamu bahagia dan lepas dari semua kekejaman ini. Kamu sabar, ya." gumam pria itu sangat pelan sambil ikut keluar dari kedai kopi tersebut.