Chapter 08

2038 Kata
"Hati-hati ya, Di. Kalau sudah sampai hubungi aku." "Hm. Thanks, Ndra." balas Diandra. Sang suami memberikan pelukan singkat yang dibalas oleh Diandra. Ia tidak ingin terlihat tidak baik-baik saja di harapan orang lain. Terlebih, di sana ada Karin yang tidak mengetahui apapun mengenai rumah tangganya. Ia tidak ingin memancing rasa penasarannya. "Duh, Ibu. Pasti nanti kangen, ya." "Bisa aja kamu, Rin." balas Diandra hambar. Perjalanan panjang dari Indonesia menuju Paris dihabiskan Diandra untuk mengecek ulang persiapannya. Ia tidak bisa membuang waktunya tenggelam dalam kebosanan. Beberapa kursi di belakang Diandra, seseorang tengah tersenyum sambil membuka folder lamanya. Diandra tampak begitu manis dengan rambut panjang yang diikat menjadi dua saat dulu masih menjadi anggota cheers. Pria itu sering kali memotretnya diam-diam menggunakan kamera lamanya. Tentu saja, hal itu tidak diketahui siapapun. Karena, ia tidak ingin membuat masalah dengan orang-orang yang tak kalah mengindolakan Diandra. Ah memang, katakan saja dia ini penguntit karena selalu saja mengetahui apapun yang dilakukan Diandra. Hingga saat inipun, ia turut pergi ke tempat di mana Diandra akan bekerja. Hal yang lebih gilanya, ia pun memesan kamar hotel tepat di samping kamar yang dipesan Diandra. Ah, memang siapa yang tidak akan mengatainya gila kalau sudah begini? *** "Rin, kalau kamu mau istirahat, duluan aja, ya. Besok kita sibuk banget." "Baik, Bu. Ibu juga jangan tidur terlalu larut." "Iya, makasih, Rin." Setelah Karin beranjak menuju kamarnya, Diandra membuka jendela yang langsung menghadap ke pusat kota dengan cahaya lampu yang memadatinya. Angin malam ini terasa lebih kencang hingga membuat anak rambutnya yang lolos dari ikatan itu tertiup kesana kemari. "Hai." Diandra sempat terkejut dengan sapaan seseorang yang entah sejak kapan berada tepat di samping kamarnya. Pria itu melambaikan tangan ke arahnya. Ia tak ambil pusing dan menganggap itu hanya pria iseng dan tidak penting. Ia tidak menghiraukannya sama sekali. "Di tempat kayak gini kok ada orang freak kayak gitu? Hih! Orang mabuk di mana-mana memang menyebalkan!" Niatnya mencari udara segar malam itu akhirnya diurungkan. Ia langsung menutup jendela kamarnya rapat-rapat dan memastikan tidak ada orang yang macam-macam. Tentu saja, ia agak khawatir setelah sapaan dari pria misterius dengan jaket yang menutupi kepalanya. Diandra mencoba terlelap tapi selalu saja gagal karena memang matanya belum mengantuk. Akhirnya ia hanya berbaring dan menatap langit-langit. "God. Gue keingatan Qiandra lagi." Ia memejamkan matanya erat dan mencoba mengenyahkan pikiran tersebut. Tetapi, semakin ia memejamkan mata, bayangan cinta pertamanya itu terus saja muncul dalam benaknya. Jemarinya dengan cepat mengetikan nama sekolah menengah atasnya. Ia harus mencari tahu ke mana sebenarnya Qiandra melanjutkan studinya saat itu. "Jadi, dia pindah ke luar negeri sampai lulus S2?" gumamnya. Ia juga menemukan daftar nama pria itu di universitas yang cukup terkenal. Tetapi, setelah itu ia tidak lagi menemukan jejaknya. Tentang Qiandra bekerja di mana, menetap di mana. Sudahkan berumah tangga dan lain sebagainya. Ia tidak menemukan semua itu. "Lo masih tetap semisterius itu, Qi." Diandra terkekeh pelan. Ia mengingat betapa rahasianya perasaan ini sampai tak ada satupun teman-temannya yang mengetahui semua ini. Perasaannya terlalu rahasia sampai kalau sekarang ia bertanya pada teman masa sekolahnya dulu, akan menimbulkan kecurigaan. Pasti banyak yang beranggapan, mengapa seorang Diandra bisa menaruh atensi pada Qiandra? Lelaki yang tak tersentuh sama sekali. Lelaki yang namanya memang sering terpajang di majalah dinding dengan berbagai prestasinya. Ah, rasanya begitu dengan Diandra sang social butterfly. Jujur saja, Diandra masih merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya karena ia belum sempat mengutarakan perasaannya pada lelaki itu karena mengingat pandangan orang lain terhadapnya saat itu. Sebenarnya, ia memang sudah merencanakan mengenai menyatakan perasaan itu saat acara prom night. Tetapi, seorang Qiandra tidak mungkin datang ke acara seperti itu dan memang dugaannya benar. Diandra tidak mendapati lelaki itu di manapun. Sampai, ia sendiri tidak tahu ke mana Qiandra melanjutkan studinya. Karena, saat itu hanya diumumkan kalau lelaki itu diterima di beberapa universitas ternama dan tidak tahu pasti mana yang diambilnya. "Kalau memang Qiandra sudah berkeluarga, nggak etis dong gue tiba-tiba nyariin dia cuma buat bilang kalo gue pernah suka sama dia pas SMA?" monolognya. "Uh, dia pasti udah sukses banget sekarang. Istrinya pasti cantik dan wanita rumahan. Bener-bener nggak cocok sama gue." Diandra tersenyum miris. Perasaan seseorang memang tidak pernah bisa ditebak. Datangnya cinta pun tidak pernah bisa diterka akan tertuju pada siapa. Sekalipun orang lain menganggap itu tidak masuk akal. Begitulah yang Diandra rasakan. Mungkin, perasaan terdalamnya memang hanya untuk Qiandra sampai hari ini. Karena, ia tidak pernah merasakan perasaan yang sama seperti yang ia rasakan pada Qiandra. Bahkan, pada suaminya sendiri yang sudah menapaki bahtera rumah tangga selama dua tahun. "Apa gue masih punya second chance?" Diandra mengacak rambutnya. Malam semakin larut tapi ia malah semakin tidak bisa memejamkan matanya. Ia tengah berada pada fase labilnya. Katakanlah ia tengah gundah seperti remaja yang baru merasakan apa yang namanya jatuh cinta. *** Hari pertama pagelaran busana ini membawakan tema musim semi yang ceria. Diandra dan timnya sudah sangat sibuk sejak matahari baru menyapa bumi. Seperti biasa, segala pikiran yang mengganggu lenyap sudah saat sudah berhadapan dengan pekerjaan. Diandra cukup puas karena rancangannya menarik banyak orang dan sangat diapresi sedemekian rupa. Tak jarang tawaran bekerja sama yang harus ia pilih setelah ini. "Huh! Sempurna memang nama tengah Bu Diandra," ucap Karin sambil terengah-engah. Diandra hanya membalasnya dengan senyuman. Ya, andai saja memang begitu kenyataannya. Tetapi, tidak seperti itu yang terjadi dalam kehidupan nyatanya. "Besok masih butuh tenaga, Rin. Kita istirahat cepat ya malam ini." "Baik, Bu." Diandra langsung merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia membiarkan buket bunga yang didapatnya tergeletak begitu saja di atas meja. Ia belum sempat melihat dari mana saja semua itu. Setelah menyetel alarm di awal pagi, Diandra langsung terlelap karena kelelahan. Deretan panggilan Rajendra pun tidak terdengar sama sekali olehnya. *** "Di, semalam kamu tidur cepat, ya?" tanya Rajendra dari seberang sana. "Iya, Ndra. Gue langsung tidur. Capek banget." "Jangan lupa makan, ya. Jaga kesehatan." "Thanks." Diandra menutup panggilan tersebut secara sepihak karena ia harus segera bersiap di hari keduanya. Seperti biasa, semua berjalan dengan sangat sempurna. Lihat, siapa yang tidak kagum pada Diandra dan semua karyanya? Setelah ini, namanya pasti kembali melejit di kalangan desainer internasional. Lagi. Ya, karena memang tak jarang namanya masuk dalam deretan desainer ternama. Belum lagi kali ini ia turun langsung menjadi modelnya. Ia masih tampak memukau seperti sebelumnya. "Karin, lusa kalau kamu mau pulang duluan, nggak apa-apa. Saya masih ada beberapa urusan dulu di sini. Besok, kita belanja-belanja." "Yeay! Oke, deh. Ibu beneran mau sendiri? Gak apa-apa? Atau, nanti suami Ibu nyusul?" tanya Karin dengan segala godaannya. "Nggak. Saya memang ada beberapa urusan." "Ah, baik. Bu." Bukan tanpa alasan, Diandra sebenarnya ingin mencari tahu tentang Qiandra yang ternyata berkuliah di Paris. Semoga saja, setelah ini ia mendapat petunjuk tentang pria itu. Mungkin? Walau entah bagaimana caranya. Hari ini, kakinya berpijak di Sorbonne University. Tempat di mana Qiandra pernah menimba ilmu. Diandra tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya karena pria itu ternyata bisa menimba ilmu sejauh ini. Sangat tidak ia bayangkan sama sekali karena universitas ini tidak ada dalam daftar saat itu. Tentu saja, hal itu tidak lepas dari pantauan seseorang yang mengikutinya dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya. "Ah, surprise for me. Kukira kau lupa padaku, Di." gumamnya pelan. Ya, pria yang selama ini mengikuti Diandra dan memberikan banyak hal pada wanita itu adalah Qiandra. Mereka sebenarnya sudah begitu dekat saat ini. Tetapi, Diandra masih belum menyadarinya. Qiandra masih terus berjalan tak jauh dari Diandra tapi berusaha sesantai mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan siapapun. Pria itu memang tahu kalau dahulu Diandra juga menaruh rasa kepadanya. Mungkin, itu adalah alasan mengapa sampai saat ini Qiandra masih begitu terobsesi dengan perasaannya. Tetapi, tentang Diandra yang masih mencarinya, itu suatu kejutan yang amat berharga baginya. Ia tidak menyangka kalau Diandra mencarinya sampai sejauh ini. Ya, walaupun setelah ini Diandra tidak akan menemukan apapun karena ia tidak bekerja di instansi manapun. Ah ya, tentang bagaimana Qiandra mengetahui kalau Diandra punya perasaan yang sama sepertinya adalah ketika hari di mana prom night akan dilaksanakan. Ia sempat mendengar namanya beberapa kali disebut di toilet perempuan saat ia melewatinya. Ia hafal betul suara siapa itu. Alasan Qiandra memutuskan untuk tak datang ke prom night memang bertujuan agar Diandra tetap mendapatkan sinarnya. Hey, siapa juga yang nanti tidak akan mengolok-olok Diandra kalau tahu perempuan itu malah menyukai Qiandra. Diandra yang lebih sering disebut cocok berpacaran dengan kapten tim basket yang populer saat itu. Ia tidak ingin membuat Diandra terlihat buruk dan dijauhi oleh teman-temannya. Jadi, saat itu Qiandra memutuskan untuk pergi menyambut kakak angkatnya yang baru datang dari luar negeri. Mereka membicarakan tentang pendidikan Qiandra. Ya, demi melupakan semua yang pernah terjadi semasa sekolah menengah atas, Qiandra akhirnya menyetujui hal tersebut. Sampai akhirnya Qiandra kembali menjadi Qiandra yang berbeda dengan masa lalunya. Qiandra yang jauh dari masa lalunya. Tujuannya memang agar ia terlihat pantas dengan Diandra. Namun, tanpa disnagja langkahnya saat itu kurang cepat karena sang pujaan hati malah menerima lamaran Rajendra. Katakanlah Qiandra memang terlalu percaya diri kalau Diandra akan menolak itu semua yang nyatanya, ia malah tertinggal. Meski begitu, Qiandra yang sudah resmi mengambil alih bar milik kakaknya itu tetap memantau Diandra yang ternyata benar, kehidupan rumah tangganya tidak berjalan dengan mulus. Setelah mengetahui itu semua, Qiandra memang berniat membuat Diandra keluar dari lingkaran setan tersebut bagaimanapun caranya. Baginya, kebahagiaan Diandra adalah segalanya. Jadi, walaupun wanita itu bukan miliknya, ia tetap akan mengupayakan kebahagiaan bagi Diandra. *** "Anak bodoh ini masih mengikuti istri orang, ha?" Seperti biasa, Albert yang merupakan kakak angkat Qiandra itu tidak pernah berbasa-basi pada sang adik. Apalagi mengenai kegilaan sang adik kepada Diandra. "Kau pasti tidak akan percaya dengan apa yang aku dapatkan sekarang, Bang." "Oke kalau begitu katakan. Kalau tidak penting, aku tidak segan memukul kepalamu saat pulang nanti." "Diandra. Dia mencari jejakku." "Hey, kalau mau bergurau, tidak seperti ini caranya. Oh, atau kau mabuk? Minuman apa yang kau minum sampai semabuk ini? Halusinasimu sudah keterlaluan." "Kau memang tidak ada percayanya kepadaku. Ini benar. Aku mengatakan sesuatu yang benar. Diandra belum kembali dan dia mengunjungi kampusku. Baik, akan kukirim fotonya padamu kalau kau tidak percaya!" "Ah baiklah, penguntit kecil. Aku akan percaya. Tapi, untuk apa dia mencarimu?" "Kau ingat ceritaku kalau Diandra juga punya perasaan padaku? Apa mungkin--" "Dia masih menyukaimu? Mustahil! Ini sudah berpuluh tahun berlalu, Qian! Tidak ada orang yang lebih bodoh darimu kurasa." "Teruskan saja menghinaku! Teruskan! Kututup teleponnya." "Baiklah. Aku tengah sibuk saat ini. Nikmati saja spekulasi gilamu itu." kekeh Albert. Memang, pria itu terkesan sarkas tapi ia merupakan pemberi semangat terbaik bagi Qiandra selama ini. Orang yang selalu ada saat Qiandra membutuhkan sesuatu dan tempat bercerita paling nyaman bagi Qiandra. *** Diandra masih menikmati kesendiriannya di Paris. Dalam hatinya, ia berharap kalau Qiandra ternyata menetap di kota ini dan bertemu dengannya. Ah, tapi apa mungkin Qiandra akan mengenalinya? Atau sebaliknya? Memilih restoran yang biasanya dipesan oleh pasangan menikmati makan malam romantis sepertinya memang menjebak Diandra saat ini. Ia hanya tertawa getir. Apalagi, mengingat yang ia lakukan adalah mencari lelaki di masa lalunya. Memang sungguh sangat lucu. "Kalau saja situasinya tidak seperti ini, aku pasti bisa duduk berhadapan denganmu saat ini. Menghabiskan malam romantis berdua." ucap Qiandra dalam hati. Pria itu juga hanya bisa tersenyum getir. Seperti, mungkin bisa saja ia muncul sebagai sebuah keajaiban. Tetapi, itu terkesan begitu aneh dan tidak masuk akal. Ia hanya melihat Diandra dari kejauhan. Seperti biasa. Sebenarnya, memang agak miris melihat Diandra duduk sambil mengaduk makanannya tanpa selera. Qiandra jadi merasa bersalah karena Diandra tengah mencari jejaknya sampai seperti ini. "Aku berjanji, kita akan segera bertemu, Di." Kali ini, Qiandra berlalu terlebih dahulu dari restoran tersebut tanpa menunggu Diandra keluar terlebih dahulu. *** Tidak hanya di Indonesia, ternyata Diandra juga ternyata mendapat pemberian misterius di sini. Ia mendapat buket bunga yang cukup besar yang dititipkan di resepsionis. 'Selamat atas kesuksesannya, Di.' Namun, lagi-lagi ia tidak mendapat petunjuk siapa yang mengirimkan ini karena tulisannya dibuat oleh pihak florist melihat dari bentuk tulisannya yang khas. "Thank, anonim. Gue masih berharap kita ketemu, lho kalo emang lo orang yang sama. Tapi, gue juga takut kalo lo sebenernya psycho yang lagi ngincer nyawa gue." ucap Diandra sebelum menaruh bunga tersebut di atas nakas. "Sebentar lagi, Di. Sebentar lagi. Aku janji semua ini akan berakhir dan kamu nggak harus menebak lagi siapa aku. Sampai bertemu, Diandra." ucap Qiandra yang juga baru merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN