Chapter 09

1542 Kata
Diandra kembali ke tanah air dengan rasa penasaran yang masih menggelayuti pikirannya. Ia masih belum puas karena ternyata ia tidak menemukan apapun tentang Qiandra di Paris. "Welcome home, Di. Maaf aku nggak jemput kamu di bandara." Rajendra menyambut Diandra yang malah lebih tepatnya ia yang baru saja masuk ke dalam rumah saat Diandra tengah merebahkan tubuhnya di atas sofa. "Ya, Ndra. Nggak masalah. Toh, lo juga sibuk, kan? Gue nggak mau ganggu kerjaan lo." "Bukannya acaranya beres dua hari yang lalu, ya?" tanya Rajendra. "Hm. Gue cuma ada sedikit urusan aja." Rajendra mengangkat sebelah alisnya. Kalau urusan pekerjaan, Diandra pasti masih didampingi Karin. Tetapi, wanita itu malah menyuruh Karin pulang terlebih dahulu. Rajendra tahu karena sempat berpapasan dengan karyawan sang istri di pusat perbelanjaan. Dan ya, penjelasan Karin pun sama. Kalau Diandra tengah ada urusan yang tidak diberitahukan lebih jelasnya. "Cuma ketemu temen lama. Gue nggak harus minta Karin ikut, kan?" Diandra menjawab ekspresi yang ditunjukan oleh sang suami. "Kayaknya, akhir-akhir ini kamu sering banget ketemu temen." "Ya, gini-gini gue banyak temen kali pas sekolah dulu. Masa nggak boleh ngobrol-ngobrol gitu?" "Bukan gitu, Di. Kayak bukan kamu banget rasanya." "Kayak lo tau banget tentang gue aja," gumam Diandra pelan sambil beranjak menuju kamar. "Gue udah pesen makanan. Kalo lo mau makan duluan, makan aja. Gue mau istirahat." ucapnya setengah berteriak sebelum menutup pintu kamar. Rajendra hanya membuang napasnya kasar. Ia merasa, semakin lama, Diandra semakin dingin dan cuek. Apa semua ini pengaruh dari hasil medisnya? Tetapi, setahunya Diandra tidak seperti itu. Mungkin, alangkah baiknya ia menanyakan perihal sikap Diandra yang semakin menghindarinya ini. Diandra tidak benar-benar tidur. Ia memilih membuka ponselnya dan tetap mencari tahu perihal Qiandra yang sebenarnya kecil kemungkinan untuk ditemukan. Karena, pria itu tidak memiliki sosial media yang aktif. Hanya ada sosial media yang digunakannya saat sekolah menengah dulu dan sudah tidak digunakan lagi. "Penasaran banget lo sama dia, Di?" kekeh Diandra pelan. Memang, Qiandra akhir-akhir ini menyita pikirannya. Rasanya ia ingin bertemu setelah sekian tahun lamanya. Ya, walaupun mungkin Qiandra sudah berumah tangga dan hidup bahagia. Ia hanya ingin tahu kabarnya. "Lho, Di? Katanya mau istirahat?" tanya Rajendra yang baru saja memasuki kamar. "Ya ini gue lagi istirahat." Diandra kembali fokus pada ponselnya. "Istirahat tuh merem. Jangan main HP." Rajendra hampir mengambil ponsel yang ada di tangan Diandra kalau saja gerakan wanita itu tidak lebuh cepat. "Gue cuma mau rebahan. Bukan tidur. Lagian lo kenapa, sih? Heboh banget!" ucap Diandra sinis. "Kamu lagi lihat apa, sih sebenarnya? Kok serius banget?" tanya Rajendra. "Kayak nggak pernah liat gue fokus ke HP aja. Dah kenapa? Nggak usah basa-basi." Diandra membuang napasnya kasar. "Makan dulu, yuk. Kan, kamu yang pesan makanannya." "Lo duluan aja. Gue masih mager." Diandra yang tampak elegan dan berwibawa di depan publik, memang tidak ditunjukkan di dalam rumah. Ia tetap wanita biasa yang lebih suka berleha-leha. Cukup berbeda saat menjalani pekerjaan yang selalu ia kerjakan penuh totalitas. "Di..." "Iya. Ini gue bangun!" Mau tidak mau, Diandra bangun dan mengikat rambutnya sembarang. Hal itu membuat Rajendra menggeleng pelan sambil terkekeh. Lihat, betapa beruntungnya ia bisa melihat Diandra dalam keadaan seperti ini. Yang tidak bisa dilihat oleh semua orang. "Katanya makan. Kenapa lo malah bengong di sini?" tanya Diandra. Rajendra segera beranjak dan mengikuti Diandra dengan senyuman yang tak luntur di bibirnya. Keheningan menyelimuti mereka. Hanya ada denting sendok yang beradu dengan piring saat itu. "Mau apel, Di?" tanya Rajendra memecah kesunyian. "Nggak. Gue gak suka makan buah habis makan. Kalo lo lupa." Rajendra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya, caranya berbasa-basi salah. Ia malah sampai melupakan hal yang sebenarnya sangat umum tersebut. "Teh?" tanya Rajendra. "Ndra, kalo lo ada yang mau diomongin sama gue, ngomong aja langsung. Nggak usah basa-basi." Suaminya itu berdeham pelan. Ia tidak tahu akan memulai dari mana. "Ngomong aja. Gimana gue bisa tau kalo lo nggak ngomong?" "Em, besok mama minta kita ke rumah. Ada acara gitu." "Harus banget?" tanya Diandra. "Iya. Kamu datang, ya." "Hm. Sekalian gue beli beberapa merch. Tadinya mau gue titipin doang ke lo. Tapi, ya udah besok aja." Rajendra mengangguk sebagai jawaban. Sebenarnya, masih ada yang ingin ia katakan. Tetapi, ia masih ragu harus memulai dari mana. "Ada lagi?" tanya Diandra yang melihat gelagat kurang nyaman dari sang suami. "Kamu, masih marah gara-gara mama?" Rajendra bertanya dengan sedikit ragu. "Menurut lo aja gimana, Ndra?" Diandra bertanya balik. Rajendra tidak lantas menjawab. Ia malah sibuk mengatur posisi duduknya yang dirasa kurang nyaman. "Udah deh. Kayaknya emang udah biasa juga, kan? Lo nanya gini juga kayak punya solusi aja." "Sorry." "Ya selain kata maaf emang lo bisa ngelakuin apa?" Diandra mati-matian mencoba tetap menetralkan nada bicara dan berusaha agar tidak meninggi. "Di..." "Lo udah bilang sama mama?" Rajendra menggeleng pelan. "Nggak enak lagi? Takut nyakitin perasaan lagi? Ndra, mau sampe kapan? Bagaimanapun, itu orang tua lo. Berhak tau semuanya. Dan gue yakin, mama nggak bakal benci sama anaknya sendiri." "Tapi, Di. Kamu tau sendiri kondisi mama. Aku takut mama shock terus drop lagi." "Sangat berbakti, ya Rajendra." sindir Diandra. "Padahal, sekarang lo bukan hanya harus menghargai mama lo, tapi gue juga. Gue istri lo kan, Ndra? Pernah nggak lo mikirin perasaan gue? Tau gak gimana perasaan gue saat mama lo selalu aja ngehakimin gue. Lo di mana? Lo ngapain selain minta maaf? Jujur aja, gue capek, Ndra. Kita udahan aja, ya. Biar lo bebas berpihak sama siapa." "Di. Jangan ngomong gitu, please. Maaf." Rajendra memeluk Diandra tanpa balasan. Pria itu menumpukan dagunya di bahu Diandra dan berujar pelan. "Aku bakal coba ngomong, Di. Tolong, jangan ngomong kayak tadi. Aku bakal bilang sama mama." "Gue nggak pernah bisa naruh ekspektasi di omongan lo. Tapi, gue harap semoga kali ini lo bisa paham kalo posisi gue sekarang lagi sulit banget." "Iya, Di. Aku paham. Maaf nyusahin kamu." Diandra menjauhkan tubuhnya dari Rajendra. "Harusnya, lo iyain aja pas gue bilang akhirin semuanya, Ndra. Masalahnya nggak bakal serumit ini, kok. Tapi, lo malah coba ngeyakinin gue sama sesuatu yang bahkan nggak bisa gue percaya," ucap Diandra dalam hati. Ia tahu kalau Rajendra tidak akan mungkin bicara pada ibunya tentang kondisinya saat ini. Ya, memang apa yang bisa ia harapkan? Penyesalan yang ia gaungkan sekarang juga tidak ada artinya. Ia sudah terlanjur masuk dan sulit menemukan pintu keluar. "Istirahat yuk, Di." "Gue harus ke butik, Ndra. Kayaknya pulang malam atau kalo gue nggak pulang, berarti masih ada yang harus gue urus." "Di, ini tinggal satu jam lagi ke waktu pulang kerja." "Ya, gue tau. Makanya itu." "Di, kamu masih coba hindarin aku?" "Gue emang selalu sibuk. Tapi, kalo lo sendiri ngerasa gue hindarin lo, ya terserah." Diandra menyambar kunci mobil miliknya dan langsung bergegas. Berdebat dengan Rajendra memang tidak pernah menghasilkan apa-apa. Karena, pria itu tentu tak pernah ada tindakan lain selain meminta pemakluman. *** Segala gerak-gerik Diandra memang tak pernah lepas dari jangkauan Qiandra yang saat ini duduk berseberangan dengan Diandra di sebuah kafe. Hatinya mencelos saat melihat ekspresi tidak menyenangkan yang ditunjukkan oleh wanita itu. Entah, apa yang membuat Diandra terlihat begitu murung. Di pikirannya, ada dua opsi. Pertama, mungkin saja ia lagi-lagi berdebat dengan suaminya. Kedua, Diandra frustasi mencari keberadaannya. Sepertinya, opsi kedua ini merupakan tingkat percaya diri paling tinggi yang dialami Qiandra. Tetapi, memang tidak salah juga. Diandra tetap mencari nama Qiandra di sosial media. Meski hasilnya tetap sama. Rekam jejak terakhirnya hanya pada saat mengenyam pendidikan di Paris. Setelah itu, hilang. "Nggak mungkin, kan lo udah pergi?" gumam Diandra pelan sambil menyimpan ponselnya cukup keras ke atas meja. Beberapa orang yang duduk tak jauh darinya sempat menoleh dan mendapat tatapan sinis dari Diandra yang langsung membuat mereka terdiam. Diandra menyesal kopinya sebelum dingin sempurna dan meninggalkan tempat tersebut. Hal itu tentu juga dilakukan oleh Qiandra. Namun, belum sempat ia mengikuti Diandra kembali, ponselnya berbunyi. "Ya, Bang?" jawabnya malas. "Kau ke mana, Qian? Ini klienmu menerorku! Cepat kemari! Kukirim alamatnya!" bentak sang kakak yang membuat Qiandra menjauhkan ponselnya karena terlalu berisik. "Tidak bisa Abang wakili?" "Kau angkat kaki dari rumah, bagaimana?" "Oke! Berangkat!" Qiandra membuang napasnya kasar. Kali ini, ia tidak bisa mengikuti Diandra. "Hati-hati ya, Di. Jangan ngebut." ucapnya saat melihat mobil Diandra berlalu. *** "Mana orangnya?" tanya Qiandra pada sang kakak yang tengah mengisap rokoknya. "Bah! Cepat juga, kau!" "Bang! Mana?" "Sabar, lah. Dia datang sepuluh menit lagi." "Tadi, Abang suruh buru-buru. Aish!" "Ya memangnya salah? Kau juga sedang tidak sibuk, kan?" "Aku sibuk! Sangat sibuk, Bang." "Ya, sibuk menguntit wanita itu, kan? Ingat! Kau masih ada tanggung jawab lain. Beberapa hari kau pergi ke Paris kan aku yang handle pekerjaanmu." "Iya, Bang. Sorry." "Aku rasanya agak khawatir denganmu, Qi. Kau masih waras, kan?" "Waras lah, Bang." "Kukira tidak terlalu. Obsesimu kali ini terlalu berlebihan. Aku hanya takut kau kenapa-napa, Qi. Selain Eva dan anak-anak, haya kau yang aku punya di dunia ini." "Bang, kau juga satu-satunya orang yang kupunya." "Aih, kupikir kau sudah membuangku di daftar orang yang berharga dalam hidupmu." "Berhenti bermellow-mellow. Kita tidak cocok, Bang." Qiandra mengambil sebatang rokok yang berada di atas meja dan mulai menghidupkannya. Menyesap batang nikotin membuat pikirannya lebih rileks. Ia membuang asapnya ke udara bersama dengan beban pikirannya. "Jangan pikirkan kata-kataku tadi. Tenang, doaku selalu menyertaimu." "Aku tahu. Kau yang terbaik, Bang." Kedua pria tersebut larut bersama batang nikotin dengan kepulan asapnya yang memenuhi ruangan. Melepaskan segala penat yang bersarang di kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN