Diandra membuang napasnya berkali-kali. Meski ia sedang tidak baik-baik saja dengan sang suami, tapi ia tetap harus ikut mengunjungi rumah mertuanya. Ia mencoba menetralkan pikirannya dengan olahraga pagi hari. Semoga saja membantu dirinya lebih sehat. Karena, kalau mengharapkan mendapat perlakuan baik dari sang mertua atau pembelaan dari Rajendra sangat tidak mungkin.
"Gue ke butik dulu, Ndra. Lo kabarin gue aja kalo udah mau ke rumah mama."
"Iya. Aku juga ke kantor dulu, kok. Tenang aja. Aku jemput kamu nanti."
"Hm. Gue duluan, ya."
Diandra harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum ia pergi ke rumah mertuanya. Karena ia tidak yakin sepulang dari sana, ia akan bisa menyelesaikan pekerjaannya.
"Pagi, Bu. Ada titipan lagi." Mila menyambutnya di depan ruangannya.
"Thanks, Mil."
Diandra tetap menatap heran paper bag yang ada dihadapannya. Kenapa orang ini suka sekali memberikan sesuatu kepadanya? Apa ia pernah melakukan hal baik pada seseorang? Tapi apa? Siapa?
'Selamat pagi, Di. Jaga kesehatan, ya. Jangan sering murung. Kamu cantik kalau ceria.'
Diandra berdecih setelah membaca kalimat terakhirnya. Bisa-bisanya orang yang mengirimkan ini menuliskan hal menggelikan seperti ini? Memangnya, ia remaja yang malah terbuai dengan gombalan seperti itu?
Tetapi, ia tetap tersenyum saat mengeluarkan dessert box dan vitamin dari dalam paper bag.
"But thanks. Aduh gue beneran penasaran siapa sih yang ngirim?"
Perasaannya menjadi lebih baik setelah rasa manis menyapa lidahnya. Ah, andai saja bahagianya bisa bertahan lebih lama lagi.
Ia melirik jam tangannya dan membuang napasnya kasar. Sebentar lagi, ia harus menemui ibu mertuanya. Ia harus menyiapkan diri.
"Hai, Di."
"Lah? Lo udah sampe sini?" tanya Diandra saat Rajendra datang.
"Tadi takut macet," jawab Rajendra. "Eh, kamu suka ngemil sekarang?" tanyanya saat melihat dessert box yang sudah hampir habis.
"Gak sengaja. Tadi dikasih temen."
"Akhir-akhir ini temanmu banyak dan perhatian, ya?"
Diandra hanya mengangkat alisnya sebagai jawaban. Ia merapikan ruangannya sebelum pergi.
"Mil, kalau ada yang cari saya, bilang aja saya ada urusan dan nggak balik lagi ke butik hari ini." Diandra memberi amanat kepada Mila.
"Siap, Bu. Hati-hati."
"Thanks."
***
"Padahal, kita bisa berangkat masing-masing lho, Ndra. Mobil gue malah ditinggal."
"Nanti mama komentar lagi."
"Ya ya." Diandra memalingkan pandangannya ke arah jendela.
Sebenarnya, tak ada yang menarik sama sekali. Hanya mobil yang lalu lalang dan pantulan menyilaukan dari gedung-gedung tinggi yang didominasi kaca. Tetapi, Diandra memang tidak berniat mengobrol sama sekali dengan Rajendra.
"Gimana hari ini? Sibuk banget, Di?"
"Lumayan. Tapi udah bisa kelar, kok."
Rajendra mengangguk dan kembali bingung harus membahas apa lagi kali ini demi membuat Diandra antusias dengan obrolan mereka.
"Sebenarnya, ada acara apa sih, Ndra? Mama kan baru sembuh."
"Arisan keluarga. Kebetulan, kerabat jauh juga kali ini ada." jawab Rajendra dengan senyum yang menghias bibirnya karena akhirnya Diandra yang bertanya terlabuh dahulu.
Setelah mendengar jawaban Rajendra, rasanya Diandra ingin melemparkan dirinya ke luar mobil. Di sana, pasti akan banyak spesies seperti ibu mertuanya dan itu sangat menyebalkan. Sekarang, ia menyesali keputusannya mengiyakan untuk ikut. Kalau saja ia memilih untuk menolak kemarin dan pura-pura sibuk. Sekarang ia tidak akan berada di dalam mobil menuju neraka dunia.
"Nggak usah khawatir, ya." Rajendra mengusap punggung tangan Diandra. Ia bisa melihat kekhawatiran di wajah Diandra dari ekor matanya.
"Hm."
Diandra kembali mengalihkan pandangannya ke luar. Meski tidak banyak, tapi kali ini ia berharap yang Rajendra katakan kemarin bisa diutarakan kepada ibunya.
"Wah, Jendra sama Diandra sudah datang."
Diandra membungkuk hormat saat mungkin salah satu kerabat mertuanya itu menyambut mereka di depan pintu. Ia tidak tahu pasti hanya wajahnya pernah ia lihat di pernikahannya dulu.
"Ini lho, Del. Mantumu yang kemarin masuk majalah lagi. Hebat banget Jendra punya istri sukses."
Diandra tersenyum sopan mendengar pernyataan wanita paruh baya tersebut. Ia segera beranjak ke dapur untuk ikut menyiapkan kudapan.
"Iya sukses pekerjaannya. Dia masih nggak mau kasih aku cucu, Mbak." Adelia melirik sinis ke arah Diandra.
"Belum dikasih, Del. Mbok ya sabar. Mereka kan sama-sama sibuk."
Diandra merasa atmosfer di sini sudah mulai tidak enak. Padahal, ini baru beberapa menit dirinya berada di sini.
"Oh iya. Budhe update banget tentang kamu lho, Di. Kemarin, Budhe juga nonton live kamu di Paris itu, lho. Hebat!"
Wanita paruh baya itu tak henti-hentinya memuji Diandra. Hanya senyuman canggung yang bisa Diandra berikan karena menurutnya itu terlalu berlebihan. Entah, itu memang benar pujian yang tulus atau hanya sekedar mencari atensi semata. Karena, Diandra juga baru bertemu kedua kalinya dengan orang ini.
"Di, anaknya Budhe Rin itu umurnya di bawah kamu, lho. Tapi anaknya sudah dua. Uh, Mama suka gemes sendiri. Cuma sekarang mereka lagi pergi ke luar kota. Jadi, nggak bisa ikut ke sini."
Diandra tidak menjawab perkataan mertuanya dan sibuk menata makanan di meja makan. Ia mencoba menulikan telinganya terhadap bahasan-bahasan mereka.
Mulai dari kehamilan, kelahiran, anak masuk sekolah dan lain sebagainya. Kali ini, hampir semua orang membanggakan cucu-cucu mereka. Tak jarang pula yang meliriknya sebagai bentuk sindiran. Ah, ternyata benar, semua sama saja.
"Mbak Rin, coba tuh kasih tips ke Diandra biar cepat hamil. Dia alasannya sibuk terus. Padahal, anakmu juga kan manager bank. Sibuk juga, kan?"
"Ah, Diandra nanti bisa ngobrol sama anak Budhe, ya."
"Terima kasih, Budhe." Diandra mengangguk sopan.
Kepalanya semakin pening setelah mendengar banyak celotehan yang cukup mengganggu. Ia ingin pergi dari sini sekarang juga. Ditambah, Rajendra yang sudah menghilang sejak mereka masuk ke dalam rumah.
Satu jam berlalu dengan sangat terpaksa Diandra harus duduk di antara mereka. Akhirnya, setelah satu orang pamit, semua orang juga ikut undur diri. Diandra langsung membereskan semua itu. Ia tidak ingin duduk terlalu lama lagi.
"Tuh, Di. Semua orang bahas cucunya. Mama kapan bahas cucu juga? Kamu ini, ya. Kasian Jendra, tuh."
Diandra yang tengah membereskan meja makan itu menoleh ke arah sang mertua dan hendak membuka mulutnya.
"Ada apa, nih ribut-ribut?" tanya Rajendra yang baru sama turun dari lantai dua.
"Ini lho, istrimu. Tidak ada niat punya anak atau bagaimana?"
Mendengar ucapan sang ibu, Rajendra melirik ke arah Diandra yang seperti meminta dirinya untuk mengatakan semuanya.
"Mama ini sudah tua, Ndra. Mau bilang cucu juga sebelum Mama pergi."
Diandra menggulirkan bola matanya. Mertuanya itu kembali mendramatisir keadaan.
"Mama jangan ngomong gitu. Sabar ya, Ma."
Diandra membulatkan matanya sempurna saat mendengar penuturan Rajendra. Apa katanya? Sabar? Harusnya suaminya itu mengatakan kebenarannya. Bukan berlindung di balik kata sabar.
Diandra menahan segala umpatan yang hampir keluar dari mulutnya. Memang, ia tidak seharusnya menaruh harapan pada Rajendra yang tidak akan mungkin merealisasikannya.
Di tengah segala kecanggungan ini, ponsel Diandra berbunyi dan memperlihatkan nama Mila di sana. Ah, rasanya Mila seperti dewi penolong kali ini.
"Iya, Mil? Oh gitu? Oke suruh tunggu dulu, ya. Saya berangkat."
Diandra sengaja mengeraskan suaranya. Padahal, bukan itu yang Mila katakan di seberang sana. Biar saja Mila bingung karena ia menjawab teleponnya sembarang.
"Ma, maaf. Saya harus kembali ke butik. Ada janji dengan klien."
Diandra tidak memperdulikan tatapan sinis sang mertua dan keluar rumah dengan tergesa-gesa.
"Di, biar aku antar." Rajendra menyusul langkah Diandra.
"Nggak usah. Gue pesan taksi kok. Lo di sini aja. Tenangin mama dan kasih pengertian."
Diandra menekan kata-katanya. Ia memang sangat bermaksud menyindir Rajendra.
***
Diandra mengabaikan ponselnya yang terus berdering. Iya. Rajendra terus mencoba menghubunginya karena ia tidak kembali ke rumah. Saat ini, Diandra malah tengah berada di perjalan menuju bar yang pernah ia kunjungi tempo hari. Ia benar-benar ingin membuang semua pikiran yang mengganggunya sepanjang hari tadi.
Begitu masuk, Diandra sudah disambut dengan aroma alkohol yang menyeruak dan banyak orang yang sudah setengah mabuk sambil menari. Ia mencoba mengabaikan setiap tatapan yang mengarah kepadanya dan berjalan menuju tempat yang sudah dipesannya.
Kali ini, ia memesan tempat VVIP yang tidak terkontaminasi dengan hingar bingar seperti yang ditemuinya saat masuk. Ia ingin minum-minum dengan tenang tanpa godaan.
Wanita itu membuang napasnya kasar sebelum mulai menenggak minumannya.
Pemandangan tersebut tentu saja tidak lepas dari mata seseorang yang memperhatikannya. Siapa lagi kalau bukan Qiandra. Pemuja Diandra sekaligus pemilik bar tersebut.
Kali ini, ia harus berani menyapa Diandra. Meskipun, wanita itu sudah setengah mabuk. Wajahnya yang memerah terlihat begitu memukau di mata Qiandra.
"Hai." sapa Qiandra sambil duduk di seberang Diandra.
"Lho, saya pesan VVIP agar tidak ada orang yang mengganggu. Bagaimana sih pelayanan di sini?" racaunya.
"Saya owner tempat ini," jawab Qiandra tenang.
"Ah, ternyata ownernya masih semuda ini. Saya pikir bapak-bapak tua penuh tatto."
Qiandra tertawa pelan mendengar ucapan Diandra. Wanita itu semakin mabuk karena terus menuang minumannya tanpa perkiraan.
"Jangan diteruskan minumnya. Kamu terlalu mabuk."
"Nggak masalah. Kan ada kamu."
Qiandra sempat tertegun mendengar perkataan Diandra. Ia mulai merapatkan duduknya dengan Diandra karena wanita itu sudah mulai kehilangan keseimbangan.
"Jangan pergi."
"Nggak. Saya di sini, kok."
"Hm. Bagus. Kamu, hm, saya nggak mau nanti kena labrak, istri kamu." Diandra mulai meracau tak karuan.
"Saya belum ada istri."
"Whoa. Padahal, kamu tampan. Uh, aku jadi ingat seseorang." Diandra terkekeh pelan.
"Siapa?"
"Hm, orang itu. Ah, mana mungkin kamu? Tapi kamu tampan."
Diandra bukan hanya meracau kali ini. Tangannya pun ikut berpindah ke d**a Qiandra dan mulai membentuk pola abstrak di sana.
Pria itu berdeham demi menetralkan rasa gugupnya. Bisa dekat dengan Diandra saja sudah seperti keajaiban baginya. Berada di posisi sangat intim seperti ini tidak pernah ada dalam bayangannya sama sekali. Tetapi, tentu saja ia menikmati semua itu.
"Temani saya malam ini, ya." Diandra menatap Qiandra dengan pandangan sayunya.
"Sure, baby." Qiandra mulai menarik tengkuk Diandra.