Chapter 11

1517 Kata
'Makan dulu sebelum pulang. Obatnya juga diminum biar gak pusing. Pakaian buat kerja kamu hari ini sudah disiapkan. Have a great day, Di.' Diandra menemukan catatan tersebut di atas nakas setelah ia mencoba mengingat semuanya tapi tidak berhasil. Bukan pegawai bar. Ia yakin bukan. Karena, tidak mungkin meninggalkannya seperti ini. Ia memegangi kepalanya yang terasa berat. "Saya owner bar ini." Diandra ingat dengan kata-kata itu. Ya, ia ingat meski wajahnya tak ia ingat dengan jelas. "Oke, kayaknya gue mandi dulu. Siapa tau gue ingat siapa." Diandra bergegas untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket bekas pergumulan semalam. Pria pemilik bar itu benar-benar tahu ukuran pakaiannya, makanan favoritnya. Ah, tunggu. Diandra kembali mengamati tulisan di catatan kali ini. Ia membacanya dengan seksama. "Nggak mungkin!" pekiknya. Ia kenal dengan tulisan tangan ini. Ia hafal betul tulisan siapa ini karena benar-benar khas. "Qiandra? Nggak mungkin! Owner bar? Qiandra? Mustahil. Oh, God!" Diandra meninggalkan kamu tersebut dan bergegas mencari pemilik bar tersebut. Karena, ia yakin akan menemukannya. Berada dalam lift menuju lantai dasar rasanya begitu lama padahal hanya butuh hitungan detik saja. "Em, permisi." Tempat hingar-bingar malam hari ini tentu saja begitu sepi di pagi hari. "Ya? Ada yang bisa saya bantu, Nona?" "Maaf, apa anda kenal owner bar ini?" tanya Diandra penuh kehati-hatian. "Ah, kebetulan saya sendiri." Diandra menatap tak percaya pria di depannya. Meski ia tak mengenal secara jelas wajahnya, tapi postur tubuhnya juga sangat berbeda dengan orang yang bersamanya semalam. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Albert lagi. Hal itu membuat acara mengamati Diandra terhenti. "Em, jadi semalam orang itu hanya mengaku?" gumam Diandra dengan sangat pelan. "Duduk dulu, Nona. Sepertinya, kau sangat mabuk semalam." Albert memberikan air mineral kepada Diandra. Pria itu tentu saja tahu siapa yang tengah dicari Diandra. Tetapi, ia bersikap seolah tidak tahu apa-apa dan tetap bersikap tenang. "Apa, pagi tadi ada seorang pria dengan tinggi, em, sekitar. Astaga maaf saya tidak ingat. Tetapi, saya ingat pria itu menggunakan denim jaket. Keluar dari sini?" "Banyak orang yang menginap di atas, Nona. Saya tidak terlalu memperhatikan. Apakah dia menemani Nona semalam?" tanya Albert. "Begitulah. Panggil saja saya Diandra." "Baik, Diandra. Apa anda punya ciri-ciri yang lebih detail?" Diandra menggeleng pelan. "Anda bisa datang ke sini lagi nanti malam. Siapa tahu, orang itu ada dan menemuimu. Tetapi, memang apa yang diharapkan dari partner one night stand?" kekeh Albert. "Sepertinya anda benar. Tapi, saya merasa tidak asing dengan orang itu. Saya, penasaran." "Apa dia orang di masa lalumu?" Diandra tidak menjawab pertanyaan Albert dan langsung melirik jam tangannya. "Sepertinya saya harus pamit. Terima kasih atas informasinya. Permisi." "Ya. Hati-hati di jalan, Diandra." Diandra tergesa-gesa menuju mobilnya. Ia benar-benar terlambat hari ini. Ia masih harus mengerjakan beberapa hal dan bertemu klien. Tetapi, sepertinya ia hanya bisa langsung menemui kliennya saat ini. Ia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi agar bisa sampai ke butiknya lebih cepat. "Pagi, Bu. Tumben agak terlambat?" tanya Mila. "Ah iya, Mil. Saya ada beberapa urusan tadi." "Em, pasti suami Ibu, ya yang bikin lama?" Diandra mengikuti arah pandang Mila yang tertuju pada perpotongan lehernya. Sial! Pria itu meninggalkan bekas yang jelas di lehernya dan bisa-bisanya ia tidak menyadari hal tersebut sejak tadi. "Apa, sih?" elaknya sambil berjalan menuju ruangannya. "File yang kemarin sudah di print, kan? Nanti kamu bawa ke ruangan saya, Mil." Diandra kembali ke mode formalnya. "Baik, Bu." Sepanjang hari, Diandra terus memikirkan pria semalam. Ia begitu penasaran. Pria itu tahu namanya dan banyak hal tentangnya. Ia bisa gila memikirkan hal ini di tengah pekerjaannya. "Gue sebegitu frustasinya ya sampai bisa tidur sama laki-laki lain?" tanyanya saat berkaca untuk memastikan kalau bekas di lehernya masih tertutup sempurna oleh concealer yang digunakannya tadi. "Sial! Bisa-bisanya gue cuma ingat rasanya tapi nggak sama orangnya!" Diandra kembali merutuki dirinya. Entah ini sebuah kesalahan atau memang sebuah jalan untuk melepaskan semua gundah di hatinya. "Bu, hasil tadi." ucap Mila yang masuk ke ruangan Diandra. "Ah, oke. Mil, bisa minta tolong OB buat beliin saya kopi, gak?" "Bisa, Bu." "Kayak biasa, ya." "Em, kayak biasa yang mana ya? Maaf, Bu. Saya lupa." "Astaga, Mil." Diandra mencatat pesanannya agar Mila tidak keliru. "Baik, Bu. Permisi." "Ya. Thanks." Mungkin, kopi bisa membuatnya lebih rileks. "Ayo, Diandra fokus!" Ia menarik napas dan membuangnya secara teratur. "Gimana gue bisa fokus? Semalam gue tidur sama siapa? Argh! Gue gak pernah one night stand jadi norak gini apa, ya?" Diandra kembali mengacak rambutnya. Rasanya masalahnya sekarang akan semakin rumit. Panggilan Rajendra semalam tidak dijawabnya sampai ponselnya malah dimatikan. Mungkin, oleh pria yang bersamanya semalam. Kini, ia tidak bisa melupakan apa yang terjadi semalam. *** "Wah wah, ada yang terlihat bahagia sekali setelah meniduri istri orang!" sindir Albert pada Qiandra yang tengah memainkan ponselnya dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya. "Itu. Itu tidak sengaja, Bang. Dia yang mulai." "Oh, begitu?"Albert menatap Qiandra tak percaya. "Sepertinya, permainanmu semalam sangat hebat, ya? Sampai dia mencarimu. Aku jadi tidak yakin kau amatir. Secara, Diandra kan sudah bersuami." "Kalau ternyata aku lebih hebat dari suaminya bagaimana?" Qiandra menyeringai. "Lihat betapa sombongnya anak ini! Tapi, kurasa memang begitu." Albert menepuk bahu Qiandra. "Tapi, Qi. Kenapa tadi pagi kau malah sembunyi? Untung saja dia tidak menuduhku macam-macam. Bisa hancur reputasiku!" "Sorry lah, Bang. Kalau tadi aku yang muncul, pasti ceritanya akan panjang. Aku tahu dia ada pekerjaan hari ini." "Aw, so sweet. Pengertian sekali, ya?" Albert terus mengolok-olok Qiandra yang hanya dibalas decakan oleh sang adik. "Kau sadar tidak, Qi? Jejakmu terlihat jelas. Tuhan! Bagaimana kalau ada orang yang menegurnya? Karena, kulihat dia seperti tidak menyadari itu." "Dia kan sudah bersuami. Tidak akan ada yang curiga." "Betapa menyedihkannya kisah cinta terlarang ini." "Bang! Stop mendramatisir keadaan!" "Okay, sorry. Jadi, kau akan benar-benar menemuinya kapan?" "Secepatnya, Bang." "Jangan kau bilang secepatnya-secepatnya saja. Waktu itu kau bilang begitu sampai hari ini tidak benar-benar menemuinya. Malah menidurinya terlebih dulu." "Kali ini tidak berbohong." "Hmm..." Qiandra tetaplah Qiandra seperti yang dulu. Meski kini kakaknya memberikan kuasa penuh pada bar miliknya, tapi pria itu tetap lebih suka menyendiri. Ia jarang sekali berada di bar saat tengah ramai-ramainya. Ia pasti hanya diam di ruangannya kalau tidak mengikuti Diandra. "Give me more." Bisikan Diandra masih terngiang jelas di telinganya. Wanita itu yang memintanya. Ya, walaupun semua itu juga tak lepas dari keinginannya, tapi perasaan bersalahnya tidak terlalu besar karena buka ia yang memaksa hal tersebut. Qiandra memang berniat hanya menemui Diandra semalam. Tidak pernah terpikir akan berkahir dengan pergumulan. Namun, di balik itu semua, Qiandra bisa merasakan hal lain. Ia ingat Diandra menangis. Bukan karena apa yang mereka lakukan. Tetapi, wanita itu berkata lelah dan ingin berakhir. Pasti hal tersebut sangat menyakitkan bagi Diandra. Mulai dari malam itu, tekad Qiandra untuk membantu Diandra keliar dari belenggunya semakin kuat. Ia tidak akan membiarkan Diandra berada lebih lama dalam hubungan tidak sehatnya. Diandra pantas bahagia. "Wait for me, Di. Jangan takut. Ada aku," gumamnya. *** Hari berganti. Diandra belum mengunjungi kembali bar itu meski kepalanya masih dipenuhi rasa penasaran. Bahkan, kemarin ia sempat pulang ke rumah agar Rajendra tidak curiga kalau malam sebelumnya, ia tidak menginap di butik. "Memangnya, kalau gue balik ke sana bisa bikin gue ketemu lagi sama dia? Orangnya aja ngaku-ngaku jadi onwer bar." "Bu?" Mila yang sudah berada di ruangannya sekitar tiga menit yang lalu itu menggoyangkan tangannya di depan wajah Diandra. "Hah?" Diandra terperanjat. "Mau minta tanda tangan." Diandra terdiam cukup lama sebelum merespon perkataan Mila. Kalau Mila sudah cukup lama di sini? Berarti asistennya itu mendengar apa yang ia katakan? "Mil, kamu kok nggak ngetuk pintu dulu." "Lho, Ibu malah suruh saya masuk, kok. Ibu nggak biasanya bengong begini banget. Kali ini, masalahnya lebih berat ya, Bu?" tanya Mila. "Em, kamu tadi minta tanda tangan, kan? Mana?" Diandra mengalihkan pembicaraan. Mila langsung menyerahkan file tersebut kepada Diandra dan tak ambil pusing dengan apa yang tadi sempat ia tanyakan. Malah, ia yang merasa tidak enak karena terlalu lancang bertanya kepada sang atasan. "Terima kasih, Bu. Saya balik, ya." "Oke, Mil." Diandra mengambil ponselnya yang menyala karena pesan masuk. 0821 xxxx xxxx Hai, Di. How are you? Ah, or nice to meet you? Masih ingin bertemu? Nanti malam di scent bar. Reservasi saja atas namamu. See you tonight! Diandra hampir melemparkan ponselnya setelah membaca pesan tersebut. Sebenarnya siapa? Ini pria yang tidur bersamanya beberapa malam lalu? Atau orang iseng yang mengambil keuntungan dan hendak menjebaknya? Astaga! Bisa-bisanya ia lupa kalau mungkin saja ada orang media atau sejenisnya di bar tersebut. Kalau ia tidak datang, ia penasaran. Kalau datang, ia benar-benar takut kalau itu jebakan. Jadi, jalan mana yang harus ia pilih? Karena takut berbohong, Diandra akhirnya memberanikan diri menelepon nomor tersebut. Tetapi, hasilnya nihil. Nomornya aktif tapi tidak menjawab panggilannya. 0821 xxxx xxxx Ya, aku yang bersamamu malam itu. Tenang saja, ini bukan tipuan. Tidak perlu meneleponku. "Kenapa dia bisa tau apa yang gue pikirin?" Diandra menatap layar ponselnya dengan perasaan yang tidak karuan. Ia takut. Tentu saja. Ini semakin membuat perasaannya campur aduk. Tetapi, di sisi lain, ia juga penasaran dengan sosok pria tersebut. Apakah itu merupakan orang yang sama dengan orang yang mengiriminya banyak hal belakangan ini? Atau tidak? Karena, mereka sama-sama mengetahui namanya. Baiklah, Diandra harus membuat keputusan yang terbaik untuk malam nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN