Setelah berpikir dengan matang, akhirnya Diandra memutuskan untuk pergi saja ke bar tersebut. Tetapi, kali ini ia lebih berhati-hati. Takut apa yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi. Setelah persiapannya cukup matang, ia menunggu taksi yang sengaja dipesannya karena ia memang menghindari beberapa kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Kalau memang ada sesuatu yang buruk terjadi, orang-orang mudah mengenalinya karena mobil yang dikendarainya.
Pukul sepuluh lebih dua puluh menit, wanita itu tiba di scent bar dan masuk dengan hati-hati. Ia memeriksa sekelilingnya untuk memastikan tak ada yang mencurigakan. Ia melangkah pelan menuju ruangan yang sudah di reservasi sebelumnya.
Diandra mencoba menghubungi nomor yang sempat mengiriminya pesan siang tadi. Tetapi, tidak ada jawaban sama sekali. Ia menunggu dengan gelisah sambil sesekali menyesap minumannya.
"Duh, setengah jam aja. Gue kayak orang linglung ini jatuhnya. Pulang aja apa, ya?" gumamnya pelan.
Namun, di balik itu semua, Diandra juga masih penasaran. Ia tetap akan menunggu sampai pukul sebelas tepat. Kalau memang ia hanya diisengi seseorang, ia akan pulang.
0821 xxxx xxxx
Di, are you still there? Maaf aku agak telat. Bisa menunggu sebentar lagi?
Diandra membuang napasnya kasar setelah membaca pesan masuk. Ini memang benar orang itu atau bukan? Ia kembali mengedarkan pandangannya. Siapa tahu, ia melihat orang yang cukup mencurigakan. Tetapi, tidak ada. Semua orang sibuk dengan urusannya.
Sementara itu, Qiandra tengah mempersiapkan penampilannya sebelum bertemu dengan Diandra. Ia ingin memastikan dahulu kalau wanita itu masih mengenal dirinya.
"Kau yakin akan berpenampilan seperti itu?" tanya Albert yang masih tidak mengerti dengan tujuan Qiandra.
"Yakin, Bang. Aku harus tahu dulu, dia kenal aku atau tidak."
"Ya! Terserahmu saja! Tapi, kau jangan bikin dia menunggu terlalu lama. Tadi kulihat dia seperti tidak sabaran menunggu."
"Siap, Bang. Aku pergi."
"Good luck. Semoga kau tidak sepengecut sebelumnya."
Qiandra hanya terkekeh sebagai jawaban.
Pria itu menembus keramainan menuju tempat Diandra berada. Sayangnya, ia tak menemukan wanita itu di sana. Qiandra membuang napasnya kuat. Sepertinya, memang ia terlalu lama bersiap-siap. Diandra sudah cukup bosan menunggunya.
Ia mengacak rambut yang sudah ditatanya dengan baik sampai acak-acakan. Kapan lagi ia punya kesempatan bertemu langsung dengan Diandra dalam keadaan sama-sama sadar?
Sepertinya, Diandra tidak akan percaya lagi jika ia mengajak bertemu. Dan untuk menemui wanita itu secara langsung juga tidak akan mudah.
"Benar kata bang Albert, aku selalu jadi pengecut!"
Qiandra masih duduk di sofa tempat Diandra sebelumnya berada di sana. Sampai, seseorang menepuk pundaknya.
"Sorry, Mas. Tapi ini meja saya."
Pria itu tercekat saat mendengar suara yang sangat familiar baginya.
"Ternyata dia belum pulang," batinnya.
Qiandra tak langsung menoleh dan kembali merapikan rambutnya.
"Mas." Diandra mencoba memanggilnya sekali lagi.
"Sorry saya--"
"Diandra." potong Qiandra yang langsung berdiri dan berhadapan langsung dengan Diandra.
"Qi-Qiandra? Kamu?" Diandra menunjuk pria di depannya sambil menatapnya tak percaya.
"Kamu, apa kabar?" tanya Qiandra tanpa membahas terlebih dahulu tujuan mereka.
"Kabar baik. Ah, harusnya aku yang tanya, kamu apa kabar? Lama tidak berjumpa."
"Seperti yang kamu lihat," kekeh Qiandra.
Ini adalah pertama kalinya ia berdiri dan bicara tepat di depan Diandra dalam keadaan sadar. Pria itu tampak gugup sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya yang terasa kurang nyaman karena sudah lama sekali tidak digunakan.
"Kamu, ngapain di sini?" tanya Diandra.
Qiandra tidak menjawab sampai Diandra kembali berbicara. "Sayangnya, aku lagi nunggu orang, Qi. Next time, kita ngobrol, ya. Aku boleh minta kontakmu?" Diandra menyodorkan ponselnya ke arah Qiandra.
Pria itu mengangguk dan menerima ponsel tersebut. Ia hanya tinggal memberi nama kontak yang sudah ada dalam ruang pesan milik Diandra. Tanpa banyak bicara, ia mengembalikan ponsel tersebut.
"Okay. Sebentar ya, aku mau chat orang dulu."
Qiandra mengangguk sampai beberapa detik kemudian. Diandra menatap ponselnya dan Qiandra secara bergantian.
"Qi?"
"Hm."
"Bisa jelasin?"
"Of course. Tapi, duduk dulu, Di. Kita dari tadi berdiri."
Diandra mengangguk dan duduk dengan ragu.
"Aku. Qi, tolong jelasin."
"Yea. That's me, Di."
Diandra masih menatap Qiandra tak percaya sampai pria itu membuka kacamatanya.
"Orang yang kamu cari, kan?"
"Qi! Sumpah gak lucu!"
"Aku nggak lagi bercanda, Di."
"Terus, kamu ngaku owner bar ini? Sedangkan yang--"
"Oke. Aku jelasin dari sini. Yang kamu temui pagi itu, abangku. Bang Albert. Aku nggak bisa nemuin kamu secara langsung hari itu karena aku tau kamu sibuk." potong Qiandra.
Dari setiap penjelasan yang dilontarkan Qiandra, Diandra masih mencoba mencari kebohongan yang mungkin saja berada di sana.
"Jadi... Malam itu, kita--"
"Hm. Kamu yang minta. Sorry kalau tenyata aku bukan lelaki yang ada di ekspektasimu."
"No bukan gitu, Qi maksudnya. Em, aku masih nggak ngerti kenapa takdir selucu ini. Qi, aku cari kamu di Paris setelah tau kalau kamu kuliah di sana."
"Yes, i know."
Diandra mengernyitkan keningnya.
"Tenyata, kamu benar cari aku? Kukira hanya aku yang terlalu percaya diri."
"Kamu, ngikutin aku?" tunjuk Diandra.
Mereka masih terlibat dalam percakapan yang kurang nyaman. Ya, sebenarnya di usia mereka, percakapan seperti ini cukup aneh. Seperti anak sekolah menengah yang tengah melakukan pendekatan.
Qiandra mengangguk pasti. Ia juga langsung menjelaskan kalau selama ini, ia yang memberikan banyak barang, makanan juga bunga pada Diandra.
"Aku nggak ngerti, Qi. Kenapa kamu ngelakuin ini."
"Aku ganggu kamu banget, ya? Maaf."
"Qi, kenapa kamu nggak datang langsung temuin aku? Kenapa kamu bikin aku bingung selama ini? Tulisan kamu beda-beda sampai kemarin aku cukup kenal tulisan kamu meskipun aku masih denial kalau itu memang kamu."
"Wait, kamu, kenal tulisanku, Di? Ah, kamu juga kenal aku? Di, kita bahkan nggak pernah sekelas. Kenapa kita bicara seolah kita memang saling mengenal sebelumnya?" Sebenarnya, pertanyaan ini ia lontarkan semata-mata untuk menguji apakah Diandra akan langsung jujur mengatakan tentang perasaanya atau tidak.
"Qi, kita satu sekolah. Dan siapa sih orang yang nggak kenal Qiandra dulu?" kekeh Diandra. Ia bingung sendiri harus menjawab apa.
"Unexpected. Kamu bisa kenal aku yang nggak bergaul sama siapapun."
"Ya, aku sering perhatiin kamu. Aku selalu tau kamu ngapain. Aku, aku dulu suka sama kamu, Qi."
Akhirnya, Diandra mengungkapkan apa yang sejak lama terpendam di dalam hatinya.
"But i still love you, Di."
Diandra terdiam saat Qiandra mengatakan hal tersebut.
"Em sorry, aku bukan suka karena kamu terkenal atau seperti yang orang lain sukai dari kamu. Tapi, aku memang suka karena kamu tidak pernah berjalan angkuh dan menunjukkan betapa memukaunya kamu pada waktu itu. Ya tanpa begitu pun kamu memang sudah terlihat memukau."
Pandangan Qiandra tidak lepas dari Diandra yang semakin merasa gugup dibuatnya.
"Sorry, Qi. Tapi ini memang sudah sekian tahun berlalu. Aku cuma nggak nyangka aja kita bisa ketemu dan aku bisa ngomong ini sama kamu. Aku rasa, yang kemarin itu sebuah kesalahan. Maaf ya, Qi. Tolong sampaikan maafku juga sama istri kamu karena aku sudah tidur sama suaminya."
Qiandra hanya terdiam dengan pandangan yang tak lepas dari Diandra yang kali ini memilih menunduk.
"Qi, tolong jangan sakiti dia. Kamu harus--"
"Di, i said, i still love you. Aku belum menikah. You are my first." Qiandra memotong pembicaraan Diandra.
"M-maksud?"
"Di, aku sudah di sini setelah sekian lama dan aku tau kamu dijodohkan dengan suamimu. Bodohnya, aku kira saat itu kamu akan menolak. Ya, ternyata tidak. Memang, saat itu aku terlalu takut untuk menemui kamu. Maaf."
Diandra tidak mengerti dengan kata maaf yang diucapkan Qiandra di akhir kalimat. "Maaf untuk apa?"
"Maaf karena aku nggak tau kalau kamu juga pernah punya perasaan yang sama dulu. Maaf karena membiarkanmu hidup seperti ini. Di, aku tau semua masalah yang kamu alami sekarang."
"Qi? Kamu beneran mata-matain aku?"
"Sorry, Di. Aku nyeremin banget, ya?"
"Nope. Tapi aku masih nggak nyangka seorang Qiandra. Kamu? Pemilik bar?"
"Out of topic, ya?" kekeh Qiandra. "Ya, sebenarnya aku cuma mau jadi orang yang setara sama kamu. Aku nggak mau jadi Qiandra culun yang bisanya diam di pojokan sambil lihat kamu."
"Padahal, aku suka bagaimanapun seorang Qiandra."
Pria itu mematung mendengar apa yang dikatakan Diandra.
"Qi, kalau aku boleh jujur, aku nggak pernah merasakan debar seperti saat aku tatap kamu secara diam-diam dulu. Atau saat kita nggak sengaja berpapasan di lapangan."
"Suatu kehormatan."
"Nggak lucu!" Diandra memukul pelan lengan Qiandra karena pria itu tertawa.
"Tapi, aku bersyukur ternyata kemarin itu kamu. Ah, aku nggak bisa bayangin kalau itu laki-laki lain. Kayak, stranger beneran."
"Kamu nggak nyesel, Di? Atau ngerasa bersalah sama suami kamu?"
"Awalnya sih, iya. Tapi kayaknya percuma kalau aku doang yang punya rasa bersalah sama dia, tapi dianya nggak." Diandra membuang napasnya kasar.
Rasanya, ia ingin menceritakan semua yang ia alami kepada Qiandra. Tetapi, apakah ini terlalu lancang? Bahkan, mereka baru saja bertemu.
"Kamu boleh cerita apapun sama aku, Di." Qiandra berbicara seolah mengerti dengan keraguan yang dialami Diandra.
"T-tapi, kita baru aja ketemu, Qi. Kita reuni masa SMA masa langsung nyeritain hidup aku?" kekeh Diandra.
"Kita bahkan sudah tidur bareng, Di."
Diandra menatap tajam Qiandra yang dengan beraninya mengatakan hal sevulgar itu.
"Iya, iya. Sorry. Tapi, kamu boleh cerita apapun sama aku. Jangan pernah ngerasa sendiri, Di. Apapun, kamu boleh bilang sama aku."
"Qi, kamu sadar gak sih kamu lagi modusin istri orang?"
"Istri orang kalau rumah tangganya baik-baik aja nggak akan aku modusin, kok."
"Jadi, kamu beneran cuma modus, nih?"
"Gak gitu, Di. Astaga, kenapa kita malah kayak remaja gini?"
Diandra tidak bisa melepas senyum dari bibirnya. Ia masih tidak menyangka kalau seorang Qiandra bisa bicara sebanyak ini. Tawanya yang sepertinya ini kali pertamanya ia lihat karena dulu, pria itu sering kali menunjukan wajah tanpa ekspresi.
"Kamu kenapa ketawa?"
"Soalnya kamu lucu, Qi. Untung aja dulu kamu nggak gini, bisa banyak tuh cewek yang antre suka sama kamu."
"Hey! Kamu lagi godian perjaka?"
"Astaga! Qiandra! Nyebelin, ya!" Diandra menekan kata-katanya. "Perjaka dari mana? Kamu mau menghapus jejak?" tanya Diandra.
"Oh, rupanya ada yang nggak move on sama one night standnya."
"Hey! Nggak gitu, ya. Lagian, siapa yang percaya? Orang yang bertahun-tahun di luar negeri, pergaulan Eropa dan masih perjaka?"
"You are the first. Aku nggak bohong."
"Masa? Aku nggak percaya, ah."
"Terlalu pro ya buat pemula?" Qiandra menarik turunkan alisnya.
"Gila kamu!"
"Ya, memang aku tergila-gila sama kamu. Gimana, dong?"
"Qiandra! Anak SMA aja udah upgrade gombalannya."
"Aku serius, Di."
Diandra hanya terkekeh.
"Di."
Diandra tersentak saat Qiandra meraih jemarinya kemudian membawa ke genggamannya.
"Di, kamu janji, ya? Apapun yang terjadi, aku selalu ada buat kamu. Ini kedengarannya terlambat, ya? Tapi aku ngerasa kamu memang harus dilindungi. Mungkin, aku bakal mundur kalau kamu baik-baik saja."
"Thanks, Qi." Diandra menatap pria di depannya yang juga menatapnya dengan tatapan seteduh langit malam. Begitu pekat tapi menenangkan.
Qiandra mengecup buku tangan Diandra yang masih berada di genggamannya. "Di, ayo akhiri semua yang membuat kamu sakit. Nggak ada orang yang berhak bikin kamu kayak gini."
Diandra menumpukan tangannya dan megusap pelan punggung tangan Qiandra.
"Qi, aku nggak mau jadiin kamu pelarian."
"Mari membuat rumah rahasia bersama," bisik Qiandra.
Diandra tidak menjawab dan malah memajukan tubuhnya sampai hidung mereka saling bersentuhan.
"Apa yang kamu berikan di rumah itu?" Diandra berkata dengan sangat pelan.
"Everything you want, everything you need."
Qiandra mengecup hidung Diandra sebelum menjauhkan wajah mereka.
"Okay. Let's make a deal!" Diandra mengedipkan sebelah matanya.
"What the meaning of... deal?" tanya Qiandra ragu.
"Our last room or your room?"
Qiandra tercekat setelah mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Diandra.
"I never get this from my husband. Pertama-tama, tepati dahulu kalau kamu memang rumah yang layak buat aku."
"I know your husband problem." Qiandra tertawa pelan.
"Nggak jadi. Aku mau late night drive sama kamu aja."
"It was morning, Di. But, let's go!"
Qiandra menggenggam lengan Diandra dan membawanya keluar dari bar. Tenang, tak ada orang yang mengetahui mereka di sana.
Diandra sontak memundurkan kepalanya saat Qiandra wajah tiba-tiba mendekat ke arahnya.
"Safety belt. Biar aman." Qiandra menjauhkan wajahnya setelah bunyi klik terdengar.
"Em, thank."
"Kenapa? Mau ya?" tanya Qiandra.
"Apa? Ayo jalan!"
Qiandra terkekeh sebelum akhirnya melajukan mobilnya memecah keheningan jalan ibu kota. Sesekali, ia melirik ke arah tangan mereka yang saling bertautan.
Banyak cerita yang mereka bagikan satu sama lain selama perjalanan. Diandra akhirnya tahu kalau Qiandra ternyata memang sengaja menghindarinya setelah mengetahui kalau dirinya menaruh rasa pada pria itu.
"Qi, coba aja dulu kita kayak gini."
"Maaf ya, Di. Aku memang terlalu pengecut."
"Pengecut mana yang berani tidurin istri orang?"
"Di..."
"Iya, Qi. Kenapa?" kekeh Diandra.
"Kamu jangan kayak gini, dong. Aku nggak fokus."
"Ya udah ayo pulang."
"Ke mana?" tanya Qiandra.
"Lho, katanya kamu rumah. Tapi diajak pulang malah tanya ke mana?" balas Diandra.
"Ah, okay."
"Qi, aku mau istirahat."
"Capek banget, ya?"
"Iya lah. Udah capek mikirin omongan mertua, capek nebak juga siapa yang sok jadi secret admirer kurang kerjaan." Diandra sengaja menekan kata-kata di akhirnya.
"Di..."
"Iya, Qiandra. Kenapa manggil terus? Aku kan di samping kamu."
Dini hari itu, baik Diandra maupun Qiandra, sebenarnya tengah berlomba menetralkan detak jantung mereka yang sama-sama menggila.
Tetapi, mereka juga begitu menikmati perasaan yang ternyata selama ini saling mereka miliki. Rasanya, mereka tidak ingin matahari menyambut bumi saat ini. Biar semua ini tidak cepat berakhir.
Sebenarnya, beberapa jam yang lalu, Rajendra sempat mendatangi butik Diandra karena merasa khawatir pada sang istri yang tidak kunjung menjawab panggilannya. Tetapi, setelah melihat mobilnya terparkir mulus di parkiran butiknya, ia langsung pulang karena tidak ingin mengganggu istirahat Diandra.