Rajendra :
Pagi, Di. Gimana tidur kamu semalam? Nyenyak?
Qiandra bangun terlebih dulu saat mendengar pesan masuk dari ponsel Diandra. Pria itu meraih ponsel tersebut tanpa mengganggu Diandra yang masih tertidur di pelukannya.
Ia tidak membukanya dan kembali menutup ponsel tersebut. Tentu saja Diandra tidur nyenyak, karena wanita itu merasa nyaman. Perasaan yang sudah lama sekali tidak dirasakannya. Qiandra tersenyum miring sambil menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Diandra. Wanita itu tampak tidak terganggu dengan apa yang dilakukannya. Malah, Diandra semakin menyamankan dirinya di pelukan Qiandra.
"Kamu nggak ke butik, Di?" bisik Qiandra yang hanya dijawab anggukan oleh Diandra.
"Sudah siang, ayo bangun."
"Lima menit lagi," sahut Diandra sambil mengeratkan pelukannya.
"Hey, kok kamu malas-malasan begini, sih?"
Diandra membuka matanya dan menatap Qiandra kesal. "Masih ngantuk banget. Lagi enak-enaknya juga!"
"Ya kalau kamu nggak ke butik, nanti orang-orang curiga."
Diandra mengangguk dan mendudukan dirinya. Matanya masih berat dan sering kali tertutup. Hal itu membuat Qiandra tersenyum. Rasanya berbeda saat menyaksikan orang yang dicintainya dalam jarak sedekat ini.
"Kamu kenapa ketawa?"
"Kamu cantik."
"Ya! Tau! Awas, aku mau mandi!" Diandra menyingkirkan lengan Qiandra yang masih melingkar di perutnya.
"Eh iya, tadi suami kamu chat."
Ucapan Qiandra membuat Diandra langsung mengambil ponselnya. Ia langsung membalas pesan tersebut.
"Udah aku balas."
"Gimana?"
"Kok mau tau urusan rumah tangga orang?" sahut Diandra dengan nada bercanda.
"Ya sudah sana mandi."
"Hmm. Aku cuma balas tidurku nyenyak banget. Sampai baru bangun."
"Nyaman karena dipeluk, kan?"
Diandra hanya tertawa sambil masuk ke kamar mandi.
"Qi? Kamu dapat pakaian ini dari mana?" Diandra menatap heran pakaian yang ada di tempat tidur.
Tanpa menjawab, Qiandra malah berjalan ke arah lemari dan membukanya. Diandra tidak bisa menahan keterkejutannya saat melihat isi lemari yang ditunjukan oleh Diandra. Pria itu menyimpan banyak sekali pakaian wanita yang sangat cocok dengan dirinya.
"Qi? Kamu sering bawa perempuan tidur bareng, ya?" tanya Diandra dengan mata yang tak lepas dari lemari.
"This is for you. Ngapain aku bawa perempuan tidur di sini? Kamu ini!"
"W-wait... What? Qi, kamu bukan psycho kan? Kamu nggak bakal bunuh aku kan habis ini?"
"Ya Tuhan, kenapa pikiran kamu kayak anak remaja yang terjebak dunia fiksi, sih? Biar kamu nggak bingung kalau tidur di sini."
"Pede banget aku bakal tidur di sini lagi. Sekarang kan usulan kamu karena udah kepagian buat balik ke butik."
"Oh ya? Aku harus percaya, gak?"
Diandra memukul lengan Qiandra dengan gemas.
"Sudah. Pakai baju dulu, sana. Jangan lama-lama pakai bathrobe. Bahaya." Qiandra menatap intens Diandra yang membuat wanita itu langsung menyambar pakaiannya.
"Siap-siap aja, Di. Aku mau buat sarapan dulu."
Diandra tersenyum saat Qiandra mengecup puncak kepalanya. Debar dadanya berkali lipat dari biasanya. Ia juga merasakan perasaan bahagia yang membuncah di hatinya. Ah, seandainya pria ini yang menjadi suaminya. Pasti, hari-harinya tidak akan seburuk sebelumnya.
"Lho, kenapa malah senyum-senyum?"
"Em, nggak. Iya ini mau ganti. Kamu keluar dulu."
"Oke, aku tunggu di ruang makan, ya."
Diandra mengangguk sebagai jawaban.
Setelah selesai bersiap, Diandra menuruti apa yang Qiandra katakan tadi. Bibirnya tak kuasa menahan senyum saat melihat Qiandra yang tengah berkutat di dapur. Pria itu tampak serius dengan masakannya sampai tak menyadari kehadiran Diandra yang tengah menatapnya dari ruang makan.
"Woah, wangi banget, chef. Masak apa, tuh?"
Qiandra menoleh ke arah wanita yang tengah duduk sambil memperhatikannya itu.
"Lho, kamu sudah di situ, Di? Dari kapan?"
"Dari tadi. Lihat orang ganteng lagi masak," jawab Diandra.
Hal itu membuat Qiandra memalingkan wajahnya ke arah lain karena merasa cukup grogi mendengar penuturan Diandra. Padahal, ia sendiri sering kali mengatakan hal-hal seperti itu kepada Diandra.
"Nah. Sudah siap. Silakan sarapan, tuan putri."
Diandra terdiam menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Sesekali, ia menatap Qiandra yang tengah melepas apronnya.
"Kenapa, Di? Kamu nggak suka? Biar aku bikinin roti bakar, ya."
"Em, nggak, Qi. Aku suka, kok. Suka banget malah. Cuma kaget aja. Ini kan--"
"Nasi goreng yang sering kamu pesan saat sekolah dulu." Qiandra menyambung pembicaraan Diandra.
"Kamu, masih ingat, Qi?"
"Nggak jarang aku sarapan ini. Biar ingat kamu."
"Qi, jangan bikin aku nangis pagi-pagi, ya. Jelek!"
"Kok jadi aku? Ayo, sarapan. Takut jalanan keburu macet."
Diandra mengangguk dan mulai menyantap sarapannya dengan lahap.
"Qi, aku naik taksi aja, deh. Kamu katanya mau ketemu orang?"
"Mana mungkin aku biarin kamu berangkat sendiri? Ayo! Ketemuannya searah sama butik kamu, kok."
Diandra tak lantas berjalan tapi malah memeluk Qiandra dari belakang.
"Eh?" Qiandra sempat terkejut dengan perlakuan Diandra.
"Qi, bisa gak kita kayak gini terus?" Diandra menempelkan pipinya di pundak Qiandra.
"Of course."
"Qi, aku nggak mau mikirin semua yang terjadi. Aku capek."
"Sabar ya, sayang. Aku bakal usahain semuanya biar cepat selesai."
"Janji, ya?" Diandra menatap pria di depannya dengan mata yang berkaca-kaca setelah mereka saling berhadapan.
"Diandra yang aku lihat biasanya tegas. Tapi ini kok manja banget, sih? Jadi nggak mau lepasin." Qiandra menjawil hidung Diandra.
"Aku serius, Qi."
"Iya, Di. Aku juga serius."
"Makasih."
"Kok makasih, sih?"
"Ya terus?" Diandra menatap heran Qiandra.
"Nevermind. Ayo berangkat!"
Diandra mengangguk dan berjalan di samping Qiandra yang tak melepaskan genggaman tangan mereka sampai ke mobil.
Rasanya memang menggelikan di usia mereka yang sudah melewati tiga puluh, malah bertingkah seperti remaja yang baru di mabuk cinta. Tetapi, sebenarnya memang itu kenyataannya. Hanya saja, mereka sudah berada di titik yang berbeda.
"Qi, kita kok kayak orang pacaran, sih?"
Pertanyaan Diandra membuat Qiandra mengurungkan niat untuk menginjak pedal gas. Pria itu menatap Diandra intens.
"Memangnya nggak?"
"Nggak. Nggak tau. Aku kan punya suami."
"Ya, masa kita teman? Kita nggak pernah berteman lho, Di."
Perkataan Qiandra membuat Diandra terdiam. Setelah hari yang mereka lewati dengan indah, bisa-bisanya mereka lupa sebenarnya mereka ini apa.
"Teman tidak tidur bersama, teman tidak saling jatuh cinta."
"Yes. You are my home."
"So?"
"Ya udah gitu."
"Lho, kan kamu yang tanya duluan tadi."
"Y-ya..."
"Apapun status kita saat ini, kamu harus percaya kalau aku nggak akan ninggalin kamu."
"Okay. Don't lie!"
"Iya, sayang."
Diandra memalingkan wajahnya hanya untuk tersenyum. Kehadiran Qiandra benar-benar membuat hidupnya terasa lebih berarti. Ia juga merasa dirinya berharga karena memiliki tempat berlindung. Ya, walaupun ini belum lama ia jalani, tapi ia berpikir kalau pria di sampingnya ini tidak akan berbohong tentang janji-janji manisnya.
***
"Selamat pagi, Bu. Wah saya kira Ibu di dalam. Mobilnya ada soalnya." sapa Mila.
"Pagi, Mil. Saya habis ketemu teman lama. Kebetulan, dia jemput saya tadi."
Mila mengangguk sebagai jawaban. Ia tidak menaruh curiga sama sekali pada Diandra yang memang tak pernah bertindak aneh.
"Ya sudah. Saya ke ruangan, ya. Em, kamu kasih tau yang lain, Mil. Kalau nanti, makan siang kalian saya yang bayar."
"Serius, Bu? Eh, dalam rangka apa ini? Bukannya ulang tahun Ibu masih dua bulan lagi?" tanya Mila penasaran.
"Memangnya, saya bayarin kalian makan pas saya ulang tahun aja?"
"Nggak juga, sih."
"Ya sudah. Saya lagi bahagia. Jadi, kalian juga harus merasakan kebahagiaan saya."
"Selamat ya, Bu. Saya nggak tau Ibu bahagia karena apa. Tapi, saya doain semoga kebahagiaan ini bukan sementara ya, Bu. Ibu orang baik."
"Aamiin. Aduh doamu, Mil. Semoga balik ke kamu juga, ya."
Mila mengangguk sopan.
"Oke. Selamat bekerja, ya."
"Siap, Bu."
Kabar yang dibawa Mila ini tentu saja membuat karyawan Diandra bahagia. Siapa yang tidak senang mendapat traktiran makan siang di akhir bulan? Apalagi, selera Diandra pasti bagus. Kapan lagi makan enak di saat dompet sedang tipis-tipisnya?
***
"Kalian lanjutkan makannya, ya. Saya ke toilet dulu."
Ucapan Diandra diangguki oleh karyawannya.
Diandra tidak mungkin menjawab panggilan Qiandra di hadapan karyawannya yang mengetahui kalau dirinya sudah berkeluarga.
"Hallo, Qi."
"Hai, Di. Sudah makan siang?"
"Ini lagi makan siang sama anak-anak butik. Kamu?"
"Baru selesai makan sama klien. Tumben kamu makan sama yang lain?"
"Iya. Aku kepikiran aja makan sama mereka."
"Dalam rangka apa, nih? Kamu belum ulang tahun, kan?"
"Kenapa pertanyaan kalian sama, sih? Memangnya, traktir orang harus nunggu ulang tahun?"
"Ya nggak juga."
"Ya udah. Aku lagi seneng, ya bagi-bagi seneng juga ke yang lain."
"Astaga. Kamu dapat project besar, Di?"
"Nggak. Lebih dari itu."
"Wah, apa tuh?"
"Kamu."
"Eh?"
"Iya, kamu. Aku bahagia banget ketemu kamu. Makanya, i wanna share the happiness sama orang-orang yang udah setia kerja sama aku. Gitu."
"Ya ampun, Di. Harusnya aku yang bayarin dong."
"Ya nggak, lah. Ngapain?"
"Kan, itu karena aku. Jadi, harusnya aku yang bayarin."
"Kamu bayarin aku makan aja."
"Jangankan bayarin kamu makan, biayain kamu seumur hidup juga aku sanggup."
"Ish ish ish. Sombongnya Qiandra."
Tawa mengiringi percakapan mereka berdua.
"Ya udah, aku balik ke anak-anak dulu, ya. Bye, Qi."
"Bye, love. See you."
Diandra kembali ke meja di mana karyawannya hampir selesai makan.
"Ini masih mau pada nambah, gak?" tanya Diandra.
"Ha? Emang boleh, Bu?"
"Sepuas kalian saja. Tenang, saya bayarin semuanya. Jangan khawatir."
"Wah, ini bahagia Ibu kayaknya nggak main-main, ya?"
"Iya, nih. Duh kita seneng banget bisa lihat Ibu senyum lagi kayak gini. Kayak, udah lama banget."
"Bener. Ibu bahagia terus, ya. Bukan karena kita mau ditraktir, nih. Tapi, kita nggak mau Ibu kelihatan stress."
Ucapan karyawannya yang bersahutan membuat bahagia yang dirasakan Diandra semakin bertambah. Ternyata, mereka sadar kalau selama ini, ia tampak tidak bahagia.
"Terima kasih. Duh, saya terharu, lho. Ini karena saya traktir makan apa gimana?" gurau Diandra.
"Eh, nggak kok, Bu. Beneran. Kita doain semua yang baik-baik buat Ibu."
"Aamiin. Kalian juga, ya. Terima kasih karena sudah setia bekerja sama saya."
Selepas acara makan siang bersama, mereka kembali ke butik yang memang sengaja tutup sebentar. Memang, Diandra tampak sangat berbeda dari biasanya dan karyawannya menyadari hal itu.
Diandra hanya tertawa saat mendengar berbagai pertanyaan yang datang padanya.
"Eh, Bu. Habis makan siang, ditungguin pak suami, tuh."
Tunjuk Mila pada mobil yang terparkir rapi di depan butiknya.
Diandra hanya tersenyum tipis sebagai jawaban. Air mukanya berubah. Senyuman yang tak luncur sejak tadi pun terganti sudah. Tak ada yang menyadari perubahan tersebut karena Diandra langsung meninggalkan mereka untuk menghampiri Rajendra.
"Hai, Di. Kok tutup dulu?" tanya Rajendra.
"Iya. Habis makan siang sama anak-anak."
"Tumben?" Rajendra mengernyitkan keningnya.
"Pengin aja."
Tidak ada percakapan lain. Diandra juga tak mempersilakan Rajendra masuk, tapi sang suami tetap berjalan di belakangnya.
"Em, Di."
"Ya? Kenapa, Ndra?"
Rajendra terdiam sesaat sebelum bertanya. Hal itu membuat Diandra menatap sang suami heran.
"Kamu, tumben banget kesiangan?"
"Oh, iya. Semalam gue ngerjain desain sampai larut. Makanya, gue nggak denger alarm yang dipasang."
"Di, jangan diforsir terus tenaganya. Kasihan badan kamu."
Diandra hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan sang suami yang dalam hatinya ia sudah menyuarakan apa yang ia rasakan.
"Mending capek tenaga daripada capek hati."
"Kamu kapan pulang? Nggak bosen di butik sendirian?" tanya Rajendra.
"Nanti deh. Tapi gue nggak janji. Ya, lo tau sendiri gue orangnya nggak mau tanggung ngerjain apa-apa."
Q :
Malam ini aku jemput, ya.
Diandra tersenyum lebar saat membaca pesan yang dikirimkan Qiandra. Ia mengabaikan tatapan sang suami yang tampak heran dengannya.
Ia sibuk berbalas pesan dengan Qiandra sampai Rajendra membuka suara.
"Chat dari siapa sih, Di? Kayaknya serius banget?"
"Oh ini, klien. Biasa."
"Tumben banget kamu chat sama klien sebahagia itu mukanya."
"Ya kan dapat uang, Ndra. Lo gimana, sih?
"Ini lo ke sini tanpa ngabarin gue dulu pasti ada sesuatu, kan?"
Rajendra tampak ragu menjawab pertanyaan Diandra.
"Kenapa?"
"Em, itu. Di, kita dapat undangan baby shower dari sepupu jauh aku."
"Terus?"
"Aku nggak enak kalau nolak. Soalnya, mama yang bilang ke aku."
"Ya memang, kapan sih lo nolak permintaan mama lo? Yang mustahil terjadi aja nggak lo tolak, kan?" ucap Diandra dalam hati.
"Ya udah."
"Kamu, nggak keberatan, Di?"
"Emang gue punya pilihan?"
Pertanyaan balik yang dilontarkan Diandra tidak bisa dijawab oleh Rajendra. Pria itu hanya mengangguk ragu sebagai jawaban.
"Lo share aja lokasinya biar gue berangkat sendiri dari sini."
"Eh? Nggak, Di. Aku jemput kamu."
"Nggak usah. Beneran. Nanti malah lama."
"Okay. Aku balik kantor dulu, ya. Aku masih tunggu kamu pulang malam ini."
Diandra hanya mengangguk sebagai jawaban.
Wanita itu semakin tidak mengerti dengan sikap Rajendra yang seperti tidak merasa terbebani dengan tuntutan ibunya yang semakin mendesak di tengah kekurangannya. Apa suaminya itu tidak pernah berpikir kalau tindakannya itu juga menyeret Diandra jauh ke dalam masalah besar yang tidak pernah usai?
Diandra memijat pelipisnya yang terasa pening. Baru saja ia merasakan bahagia. Masalah sudah kembali di depan mata.
To : Q
Qi, malam ini aku tidur di rumah kamu, ya.
Diandra menutup ponselnya dan kembali berkutat dengan pekerjaannya setelah mengirimkan pesan tersebut.