Chapter 14

2014 Kata
"Kenapa nggak dimakan, hey?" Qiandra menghentikan gerakan tangan Diandra yang tengah mengacak-acak makanan di hadapannya sampai tak berbentuk. "Kesel!" Diandra mengerucutkan bibirnya. Hal itu membuat Qiandra terkekeh dan menggenggam tangan Diandra. Apa benar wanita di hadapannya ini sudah berusia tiga puluh dua? Sedangkan, yang ia lihat saat ini seperti remaja yang tengah merajuk saat tidak diizinkan pergi berkencan untuk pertama kalinya. "Besok harus datang ke acara baby shower sepupunya Jendra. Habis nanti disuruh punya anak! Mana mending kalau ngomongnya santai, ini sinisnya ngalahin netizen." Diandra mengungkapkan kekesalannya. "Jendra masih belum bilang?" tanya Qiandra. Diandra mengangguk lemas. Entah, harus dengan cara apa ia membuat Rajendra paham kalau situasi ini menyiksanya. "Huft, laki-laki macam apa dia?" "Nggak tau. By the way, thanks ya, Qi. Kamu mau dengerin keluhan aku yang kayaknya nggak habis-habis." "Ya kan memang aku di sini buat kamu. Kayaknya, aku beruntung banget ya, bisa lihat sisi manja kamu." "Apa sih?" Diandra memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu aslinya dua orang, ya?" Pertanyaan Qiandra membuat wanita itu tertawa. Ya, sebenarnya sikapnya ini bukan dibuat-buat. Tetapi, ia hanya tidak menemukan orang yang tepat untuk seperti ini. Dan setelah bertemu kembali dengan Qiandra, rasanya ia seperti menemukan tempat paling nyaman untuk memperlihatkan semuanya. "Gitu dong, ketawa. Aku pesankan lagi makanannya, ya?" "Nggak usah. Ini masih bisa dimakan kok." "Tapi, itu sudah nggak ada bentuknya, Di." "Bentuknya nggak penting, yang penting masih bisa dimakan." "Okay. Makan yang banyak ya, sayang. Biar bobonya nyenyak." "Memangnya aku anak kecil?" Malam itu, rasanya seperti kencan resmi mereka berdua. Makan malam di tempat yang sengaja di desain romantis dengan alunan musik klasik bertemakan cinta. Diandra tidak pernah membayangkan dirinya akan berada dalam situasi seperti ini. Karena, sebelumnya ia sudah menyerah tentang cinta. Namun, Qiandra datang dengan segala keindahan yang membuainya sampai menariknya masuk tanpa ingin melihat dunia luar. Mungkin, kalau bukan Qiandra, Diandra akan merasa muak dengan semua ini. "Di, kok bengong?" "Eh. Em, sorry, Qi. Aku cuma masih nggak nyangka aja. Sorry juga tadi aku mood aku nggak terlalu bagus." "Kenapa minta maaf, hey? Kamu nggak salah. Justru, aku nggak mau kamu capek terus diam sendiri. Apapun yang terjadi, kamu harus berbagi sama aku." "Thanks, Qi." "Sama-sama, cantik. Mau langsung pulang?" "Boleh. Aku capek banget. Eh, tapi kamu harus ke bar, kan?" "Ada bang Albert, tenang." "Jangan gitu, ah. Antar aku pulang aja nanti, ya." "Siap, tuan putri." Begitu sampai di kediaman Qiandra, Diandra langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa dan memejamkan matanya. "Tidurnya di kamar, dong." "Sebentar, Qi. Aku nanti sekalian mandi. Kamu mau ke bar? Berangkat aja." "Aku nggak tega ninggalin kamu sendiri." "Qi, aku sudah kepala tiga kalau kamu lupa." "Ya, but you still my baby." "Apaan deh? Ayo. Aku mau kunci pintunya." "Ya ampun. Aku diusir dari rumahku sendiri." Diandra bangkit dari duduknya dan menghampiri Qiandra. Ia mengikis jarak mereka sampai tak tersisa sama sekali. Kemudian, wanita itu mengecup bibir Qiandra cepat. Sayangnya, upaya menjauhkan tubuhnya kembali gagal karena Qiandra yang menyadari hal tersebut langsung menahan leher Diandra agar tidak menjauh. Pria itu memagut bibir sang kekasih dengan lembut hingga tak lama kemudian Diandra membalasnya. "Begitu caranya kasih semangat buat aku." Qiandra mengusap sudut bibir Diandra yang terdapat bekas saliva di sana. "Qi!" "Yes, baby. Oke, aku berangkat, ya. Kamu hati-hati." Pria itu memberikan kecupan di kening Diandra cukup lama. "Mmm. Kamu jangan lirik-lirik perempuan di sana." "Aw, posesifnya. Aku nggak jadi berangkat, deh." "Dah sana! Aku mau mandi." Diandra mendorong paksa tubuh Qiandra agar segera berangkat menuju bar. "Kuncinya, Di. Nanti pulang aku nggak bisa masuk." "Oh, iya." Diandra menyerahkan kunci cadangan kepada Qiandra. Setelah memastikan pintunya terkunci dengan baik, Diandra berjalan gontai menuju kamar mereka untuk membersihkan diri. Ia sudah membayangkan betapa nyamannya berendam malam ini. Wanita itu segera mengisi bathub dengan air hangat dan bersiap untuk berendam. Matanya terpejam seiring dengan air hangat yang mulai menyentuh seluruh kulitnya. Aromaterapi juga membuat dirinya merasa begitu nyaman. Namun, matanya kembali terbuka ketika ia mendengar pintu kamar mandi terbuka. Diandra tentu saja panik karena tidak mungkin itu Qiandra karena ia sudah mendengar mobil pria itu menyala sebelum ia memasuki kamar mandi. Tetapi, ia juga sudah memastikan kalau semua pintu terkunci. "Astaga, Qiandra? Kamu ngapain balik lagi?" pekik Diandra yang kini sudah melihat sosok yang membuka pintu kamar mandi. "Bang Albert bilang, tidak perlu ke bar. Ya sudah, aku putar balik." Diandra mengangguk sebagai jawaban. "Hm, can i join with you?" Qiandra melirik bathub yang penuh dengan busa. "Sure," jawab Diandra sambil mengerlingkan matanya. Namun, setelah itu ia langsung mengalihkan pandangannya karena Qiandra menanggalkan pakaiannya tepat di hadapan Diandra. "Qi! Kenapa kamu buka baju di situ?" "Lalu, aku harus mandi pakai baju?" "Y-ya maksudnya--" Diandra tidak melanjutkan perkataannya ketika Qiandra sudah masuk ke dalam bathub. "Apa?" Qiandra berbisik tepat di telinga Diandra sambil menjilatnya sensual. "Qi..." Diandra menggeram rendah. Jujur saja, Diandra begitu sensitif dengan segala sentuhan yang diberikan oleh Qiandra. "Hey, coba hadap sini." Diandra menggeleng. Ia tidak ingin melihat wajah Qiandra. Apalagi, kalau ia menoleh, ia bisa melihat langsung d**a bidang pria yang berada tepat di sampingnya ini. "Di, kamu bukan anak remaja, hey. Kenapa malu?" "God, aku nggak percaya kalau kamu Qiandra yang dulu sering menghabiskan waktu dengan buku-buku di perpustakaan." Diandra menutup matanya erat kala tangan Qiandra mulai bergeriliya menggoda tubuhnya. "Lho, memangnya dengan penampilanku yang dulu, aku nggak bisa kayak gini?" balas Qiandra dengan santainya. Pria itu malah mengecup bahu Diandra yang membuat wanita itu semakin tidak bisa berkutik. "Y-ya..." Diandra sudah tidak bisa lagi berpura-pura. Ia membalikan tubuhnya dan membuatnya berhadapan dengan Qiandra. "Qi, please." "What?" Qiandra sengaja menatap wajah Diandra yang tengah menatapnya penuh harap. "Qiandra!" "Yes, babe. Ngomongnya baik-baik, dong." "Argh! You make me crazy, Qiandra. Just do it!" "Okay. Sorry." Qiandra mulai mendekatkan wajahnya perlahan yang membuat Diandra tidak sabaran dan langsung mengikis jarak di antara mereka. Malam ini pasti akan menjadi malam yang begitu panjang bagi dua sejoli yang tengah di mabuk asmara ini. Diandra memang tidak pernah merasakan hal sehebat ini selama hidupnya. "Am i better than your husband?" bisik Qiandra. Diandra hanya bisa menjawabnya dengan anggukan. Qiandra tersenyum miring. "Qi, jangan di leher." Qiandra yang paham dengan maksud Diandra, tidak meninggalkan jejak di sana. Ia tahu, besok wanitanya ini akan menghadiri suatu acara dan tidak mungkin membuatnya malu dengan bekas pergumulannya. Pukul tiga dini hari, mereka baru hendak terlelap. Diandra menyamankan tubuhnya di pelukan Qiandra. Sebenarnya, ia sudah begitu mengantuk saat Qiandra mengajaknya pindah menuju kamar karena merasa air mulai mendingin. *** "Morning, gimana tidurnya, nyenyak?" sapa Qiandra yang sudah berpakaian rapi dan menyibak gorden kamarnya demi membiarkan sinar matahari pagi masuk ke sana. "Kok kamu nggak bangunin aku?" "Kamu pulas banget. Aku mana tega?" balas Qiandra. "Ya ini kan gara-gara kamu. Kayaknya, aku sering kesiangan deh akhir-akhir ini." "Gak apa-apa. Sekarang, bersih-bersih dulu, gih. Biar aku siapin sarapan." "No! Kali ini biar aku yang siapin sarapan." "Tapi--" "Kamu nolak? Aku bisa masak, lho. Kamu main HP dulu sana atau apa. Aku mau mandi dulu!" potong Diandra dengan nada mengancam. Hal itu membuat Qiandra terkekeh tapi mengiyakan apa yang Diandra katakan. Diandra memang sudah terbiasa menyiapkan sarapan untuk suaminya. Sampai, ia berpikir kalau kini, tidak ada gunanya lagi melakukan hal itu. Toh, Rajendra sendiri tidak pernah mau mengerti perasaannya barang sedikit. Ia tahu kalau Rajendra tidak sepolos itu. Tetapi, suaminya itu menganggap seolah semua itu bukan masalah besar. "Hmm... Aromanya enak banget. Memang, kamu ini istri idaman." "Istri idaman kalau suaminya tepat," balas Diandra dengan tidak mengalihkan pandangannya dari masakan yang tengah diolahnya. "Hey, aku nggak bermaksud bikin kamu kepikiran." Qiandra memeluk Diandra dari belakang dan menumpukan dagunya di bahu wanita itu. "Aku cuma bilang, kok. Nggak apa-apa juga." "Di... Kamu mau gak jadi istriku?" "Kenapa pertanyaan kamu bukan dikatakan dua tahun lalu, Qi?" "Maaf. Aku tahu aku salah. Tapi aku janji, di masa depan, aku bakal jadi suami kamu." "Kita nggak pernah tau masa depan, Qi. Aku cuma sedang menikmati kebersamaan kita sekarang. Tolong, jangan tinggalin aku, ya. Aku nggak punya orang yang membuat hari-hariku nyaman sejauh ini." "Aku janji." Qiandra mengecup singkat leher Diandra sebelum melepas pelukannya. "Dasar gombal!" "Aku nggak gombal. Memang begitu. Lagipula, nggak cocok buat pria seusiaku buat menggombal. Aku kan bisa buktiin sama kamu. Nggak omong kosong." "Iya, Papa. Udah gombalnya? Ayo makan." "Papa? That mean you are a Mama?" "Nggak gitu, Qiandra! Ayo, sarapan! Aku nggak boleh telat lagi ke butik atau karyawanku bakal curiga." "Iya, iya." Seperti hari kemarin, Diandra memasang waja bahagianya saat menginjakan kaki di butik miliknya. Hari ini, ia datang sebelum karyawannya datang dan tidak akan menimbulkan kecurigaan siapapun. Ah, andai saja semua yang ia rasakan saat ini sifatnya abadi. Sayangnya, siang nanti ia harus kembali ke realita. Menjalani kehidupan rumah tangganya yang jauh dari kata baik-baik saja. Wanita itu membuang napasnya kasar. Ia harus mengumpulkan energi baik yang mungkin saja bisa membantunya agar tidak terlalu memikirkan hal-hal yang kemungkinan akan dikatakan sang mertua di acara tersebut. "Sebelum bisa mengakhiri, gue pasti bisa hadapi ini. Gue nggak sendirian sekarang." gumam Diandra sebelum mulai berkutat dengan pekerjaannya. *** "Eh, Mbak Di? Mas Jendranya mana?" tanya seseorang yang menyapanya kala memasuki rumah sepupu Rajendra yang Diandra tidak tahu pasti namanya. "Em, hai. Jendra masih ada meeting. Dia nyusul katanya." Diandra tersenyum tipis sambil mengikuti perempuan itu. Untung saja, Rajendra mengabarinya kalau pria itu agak telat. Jadi, Diandra punya alasan untuk pergi sendiri. Ia memang kurang nyaman berada satu mobil dengan Rajendra. "Makan dulu, Mbak. Ini, Mbak Di langsung dari butik, kan?" "Iya." Diandra memang tidak terlalu bagus dalam menjalin komunikasi dengan keluarga Rajendra. Sebenarnya, ia ingin saja melakukan interaksi yang lebih. Tetapi, ia mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan seperti yang selalu Adelia tudingkan padanya. Ia terlalu malas mendapat penghakiman dari orang lain. "Hai, Di. Kamu udah lama?" Diandra yang tengah fokus pada ponselnya itu terkejut karena seseorang menepuk bahunya. "Jendra! Ngagetin aja! Ya, lumayan lah." Sebenarnya, ia memang belum begitu lama di sana, tapi rasa bosan membuatnya merasa waktu berjalan begitu lama. Ia mencoba mengabaikan perkataan Adelia yang mulai terdengar di telinganya. Sang mertua selalu saja mengatakan hal yang sama. Diandra begitu muak dengan semua itu. "Ck. Acaranya kapan, sih?" gumam Diandra. "Bosen, ya?" tanya Rajendra sambil merangkul bahu Diandra. "Ini kok ngaret banget, sih?" "Bentar, aku tanya mama." Diandra sudah merasa kebosanan di sana. Rajendra mengatakan, kalau mereka masih menunggu kakak dari suami sepupunya. "Hai, sorry telat, ya. Aduh jadi nunggu lama." Diandra dan orang-orang yang berada di sana menengok ke arah wanita yang berbicara tersebut. "Oh, jadi ini yang ditunggu?" batin Diandra. Masih dalam posisi memperhatikan wanita yang baru saja masuk, Diandra tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya kala melihat seorang pria yang berjalan di belakang wanita itu. Ya, itu Qiandra yang tengah menggendong seorang gadis kecil. Tentu saja, pria itu sadar dengan kehadiran Diandra di sana dan mengedipkan sebelah matanya. "Aduh, gara-gara saya ya, acaranya telat? Ayo, boleh dimulai." Diandra masih tidak mengerti dengan kehadiran Qiandra di sana. Apa mungkin Qiandra membohonginya selama ini? Tetapi, apa mungkin wanita itu istrinya? Sepertinya usianya tampak lebih tua. Banyak pertanyaan yang mengganggu di kepala Diandra saat ini. Sampai, acara demi acara selesai dilaksanakan. "Eva, kok nggak sama Albert?" tanya Adelia. Diandra sempat mencuri pandang ke arah wanita yang dipanggil Eva tersebut. "Oh, iya. Bang Albert ada kerjaan. Jadi, saya sama adik." Diandra melirik ke arah Qiandra. Tenryata, wanita itu adalah kakak iparnya yang belum Diandra ketahui. "Ah begitu. Nggak mirip Albert, ya?" Diandra memutar bola matanya malas saat mendengar pertanyaan Adelia. Ternyata, sifat ibu mertuanya tidak hanya membuat dirinya kurang nyaman, tapi pada orang lain juga. Eva hanya terkekeh sebagai jawaban. Wanita itu menepuk pelan bahu Qiandra tanda meminta maklum. "Kak, izin ke toilet sebentar, ya." bisik Qiandra yang diangguki oleh Eva. "Sudah menikah?" tanya Adelia. Rupanya, wanita paruh baya itu tidak berhenti di sana dan masih mencoba mengorek informasi yang seharusnya tidak perlu tersebut. "Belum. Dia masih senang kerja, katanya." "Oh. Semoga nanti dapat istrinya yang baik, ya. Yang nurut gitu sama suami." Diandra membuang wajahnya ke arah lain. Ia tahu, Adelia tengah menyindirnya. Hal itu juga tak luput dari perhatian Qiandra yang baru saja kembali. Ia bisa melihat bagaimana tidak nyamannya Diandra berada di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN