Aku langsung lari ke dalam kamar mandi. Bruk! Pintu langsung ditutup kencang.
Dibalik pintu aku bersandar dengan perasaan was-was. Wajahku kurasakan panas. Sangat malu. Bagaimana tidak? Laki-laki asing itu melihat auratku! Melihat penampilanku yang seksi. Oh tidaak.
"Pergi!" Aku berseru kencang dari dalam.
"Maaf Lan, mau mandi tadinya."
"Nanti saja. Aku sedang mencuci baju. Pergi sana!"
"Iya. Maaf."
Setelah itu tidak terdengar lagi suaranya, aku pun tak bicara lagi. Wira sepertinya sudah pergi.
Aku sudah berusaha tidak melepas hijab semenjak dia datang ke rumah. Percuma, hari ini dia melihatnya. Banyak, bukan sekedar rambut. Bahu, lengan, leher, paha, betis. Ah, tidaak. Ini tidak boleh terjadi lagi! Aku harus lebih waspada.
Menyebalkan! Kenapa aku yang jadi repot sendiri dalam rumahku? Aku keluar dalam keadaan terbuka seperti itu sebelumnya hal biasa. Atau, hanya memakai handuk saja dalam rumah, juga biasa. Toh, hanya Mas Aris yang melihat. Sekarang hal itu menjadi larangan. Ini merepotkan.
Tidak kusangka Wira akan cepat kembali. Dia hendak mandi. Mungkin saat subuh tadi dia hanya berwudhu saja?
Aku berjongkok menyelesaikan cucian dengan perasaan campur aduk. Semoga Puput cepat datang menghampiri, atau memanggilku. Aku akan menyuruhnya mengambilkan baju ganti.
***
Pintu kamar terbuka menampilkan Mas Aris. Dia menghampiri aku yang duduk menekuk lutut. Dia baru pulang ngegrab. Hari sudah larut sore.
"Kenapa, kok diem gitu?"
"Aku malu, Mas, gak mau keluar."
"Loh, kenapa?"
Dan mengalirkan cerita dari mulutku tentang kejadian memalukan tadi pagi. Berawal dari mati lampu hingga mengharuskan aku mencuci secara manual. Kehabisan sabun, terpeleset, baju basah, keluar dan kepergok Wira dalam keadaan berpenampilan terbuka.
Aku heran Mas Aris malah terkekeh. Dikira lucu?
"Gak apa-apa, Lan. Gak sengaja kan?" ucapnya kemudian tertawa kecil kembali.
"Kok kamu malah ketawa sih? Ngejengkelin deh kamu, Mas."
"Ya, gimana. Masa aku harus marahin Wira. Kan gak sengaja. Lagian dia udah minta maaf kan?"
"Tapi aku gak suka. Aku gak mau terjadi lagi seperti itu."
"Ya kamu harus lebih hati-hati berarti."
"Kok aku yang jadi repot? Harusnya si Wira itu yang pergi dari rumah ini, Mas."
"Iya, nanti juga pergi kalo udah dapat kontrakan."
"Kapan? Harus secepatnya dong. Aku serasa dipenjara dalam rumahku sendiri."
Heran aku sama Mas Aris. Dia tidak risih sama sekali, tidak terganggu, tidak khawatir, malah enjoy saja si Wira tinggal bareng di rumah. Hanya aku yang merasa tidak nyaman dengan kehadirannya.
"Sabar, Lani. Kita harus membantunya dulu menampung di sini. Lagian, dia baik-baik aja kan? Gak berbuat macam-macam?"
"Tetep aja, Mas. Sebaik apa pun aku gak mau dia tinggal di sini. Aku gak leluasa jadinya. Kalo main sesekali boleh, tapi bukan terus menginap tiap hari."
"Baru seminggu Lani. Lagian, dia ada cuma sore dan malam. Siang dia kerja. Kadang pulang malam langsung tidur lalu berangkat lagi pagi. Baru hari ini dia ada di rumah."
Gara-gara lelaki itu, aku jadi beradu mulut dengan suamiku sendiri. Herannya Mas Aris malah terus membelanya. Seolah Wira bagian dari anggota keluarganya. Padahal, jelas-jelas dia orang asing.
"Besok aku akan bertanya-tanya ke tetangga ke pak RT, nyari kontrakan yang kosong buat si Wira. Biar dia cepet pergi dari rumah ini."
Ah, ya ampun. Aku jadi semakin repot kan?
"Silakan cari kalau ada. Jelas-jelas aku juga sudah mencarikannya. Tapi belum dapatkan?"
"Kalau masih belum ada. Suruh si Wira tidur di Masjid aja atau Musola."
Mas Aris menatapku tidak suka. Tidak senang dengan yang aku ucapkan. "Tega kamu, Lan. Nyuruh Wira tidur di masjid atau mushola. Itu tempat Ibadah Lan, bukan tempat tidur. Sudah. Aku tidak keberatan Wira tinggal di sini dulu."
"Tapi, Mas."
"Aku lapar. Temani aku makan dulu."
"Baiklah." Aku mengalah dan tidak meneruskan debat. Terserah kau sajalah, Mas.
"Wir! Sini, makan."
"Iya, Mas. Nanti saja."
"Bareng, sini. Biar lebih enak makannya."
Wira pun akhirnya menghampiri kami di meja makan meninggalkan siaran televisi. Dia duduk di samping Puput. Sedangkan aku di samping Mas Aris. Kami saling berhadapan. Kami semua makan dalam diam.
Sungguh aku malu. Masih malu. Terlebih berhadapan dekat dengan orangnya seperti ini. Meski sekarang aku sudah tertutup rapi dari Wira, tetap merasa ditelanjangi karena dia yang sudah melihatnya.
Makanku tak selera, benar-benar tak nyaman. Huft! Aku tidak suka dikeadaan seperti ini. Piring makanan kudorong pelan.
Wira melihat tingkahku, dia diam seraya mengunyah pelan. Enak benar kamu bisa makan lahap seperti itu. Sementara aku untuk menelan saja rasanya susah.
Tanpa berbasa-basi aku langsung pergi. Tak kupedulikan tatapan Puput yang heran melihat Bundanya pergi masih menyisakan makanan di piring.
"Mau ke mana, Lan? Makanannya kok gak diabisin?" tanya Mas Aris menghentikan langkahku.
"Ke belakang!" jawabku ketus.
Wira menunduk diam. Mas Aris melihat padanya. Tak kupedulikan mereka semua. Aku benar-benar pergi.
***
Sudah lewat waktu isya. Mas Aris melipat sarung yang dipakainya sehabis solat mengganti dengan jeans panjang. Dia juga melepas koko mengganti dengan kaos lengan panjang. Selanjutnya memakai jaket.
"Mas, mau ngojek lagi."
"Apa gak sebaiknya Mas istirahat aja?"
"Tadi siang dapet orderan dikit. Lumayan, Lan, kalau dicari mah, biar ada tambahan."
"Pulangnya?"
"Seperti biasa. Gak akan lewat dari tengah malam kok."
Mas Aris keluar, aku mengikutinya. Kami melewati Wira dan Puput yang tengah main game di handpone masing-masing di depan TV.
Buang-buang listrik, kenapa tidak dimatikan saja TV-nya kalau tidak dilihat? Dikira bayar listrik gratis? Kan aku jadi mengomel sendiri dalam hati.
"Put, Ayah berangkat dulu."
"Iya, Yah," jawab Puput hanya melihatnya sekilas.
"Ditinggal dulu, Wir."
"Iya, Mas. Hati-hati."
Aku keluar lebih dulu. Mas Aris menyusul setelah berpamitan pada dua orang di dalam. Hal yang gak perlu dilakukan menurutku. Sudahlah, terserah dia saja.
"Hati-hati, Mas. Usahain pulangnya jangan kemalaman, ya." Entah, malam ini aku takut ditinggalkannya. Gara-gara ... Ah, kenapa aku jadi parnoan begini? Menyebalkan.
"Iya. Aku akan cepat pulang."
Mas Aris pergi mengendarai motornya. Aku masuk lagi ke dalam rumah menutup pintu. Melewati dua orang yang tengah bermain game. Wira dan Puput.
Wira melihatku yang berlalu darinya. Aku bergidig kecil, jangan menatapku seperti itu napa, Wir? Tatapanmu aneh sekali semenjak kejadian pagi tadi. Kemarin-kemarin enggak tuh. Huh! Membuatku takut saja.
Sudah pukul sebelas. Mas Aris belum pulang juga. Aku tidak bisa tidur. Hanya rebahan saja. Aku melepas handsfree dari telinga. Sudah dibantu dengan lagu-lagu solawatan tetap tidak mengantuk. Biasanya kalau sulit tidur aku akan mudah lelap setelah mendengar lagu nasyid. Lalu Mas Aris yang akan mematikan musiknya nanti. Sekarang tidak bisa.
Aku duduk dan mengaplouse lagu solawatan yang masih diputar di handphone. Mataku mengerjap-ngerjap lambat. Tersentak dari diam mendengar ketukan pintu kamar.
"Lani, buka pintunya."
Mataku membelalak mendengar suara Wira. Jantungku berdegup kencang. Mau apa dia Malam-malam?