bc

Lelaki Asing di Rumah

book_age16+
1.9K
IKUTI
36.5K
BACA
drama
tragedy
twisted
sweet
serious
like
intro-logo
Uraian

UPDATE SETIAP HARI

Lelaki asing yang menumpang tinggal di rumah membuat aku tidak bebas. Tidak leluasa, tidak bisa bermanja-manjaan dengan suami di mana saja.

Tragedi na'as lalu menimpa suamiku menjadikan fisiknya tak berdaya. Lelaki asing itu selalu memberi, dan menjamin biaya kebutuhan. Tidak hanya itu, dia juga menaruh rasa padaku.

Fakta-fakta lain terkuak tentang siapa dia sebenarnya. Suami pasrah dan aku terjebak dilema.

chap-preview
Pratinjau gratis
Menyebalkan
"Dia kapan pergi dari rumah sih, Mas? Nginep di sini terus udah seminggu." Aku berkata pada Mas Aris–suamiku–yang tengah menonton siaran berita pagi di TV. Di tangannya terdapat cangkir kopi. Dia meniup-niup pelan air hitam panas itu, lalu menyeruputnya sedikit. Sementara, tanganku menunjuk ke arah luar jendela pada seorang laki-laki dewasa yang tengah mencuci motor. "Emangnya kenapa?" "Aku tuh risih jadi gak bebas di rumah. Harus pake kerudung terus." "Bagus kan? Kamu jadi berpenampilan rapi terus?" "Kadang gerah kalo dalam rumah masih harus pake jilbab juga." "Di kamar kan bisa dibuka. Biar hanya aku yang melihat." "Tapi kan ...." "Mas! Motornya mau sekalian aku bersihin juga gak?" Kalimatku terpotong oleh suara laki-laki itu yang nongol di jendela. Aku menatapnya sebal. "Boleh. Kalo mau mah." Mas Aris menjawabnya sumringah. "Ngerepotin gak?" "Gak apa-apa, mungpung aku libur." "Yaudah deh, Wir. Cuciin aja motorku sekalian." "Siap, Mas!" Lelaki yang bernama Wira kembali ke motornya, sekalian mau mencucikan motor Mas Aris juga. "Dia baikkan? Orangnya rajin, tak segan mau membantu apa saja. Bahkan menawari sendiri tenaganya saat tahu motorku kotor. Dia mau membantu nyuciin." Aku hanya mendengus. 'Enak di kamu gak enak di aku!' Gerutuku dalam hati. "Aku mau temen kamu itu cepet pergi dari sini." Mas Aris menoleh padaku yang berkata ketus. "Jangan gitu lah, Lani. Si Wira itu orang perantauan. Dia mau cari kontrakan tapi belum dapet. Kasian, kita ijinkan dia tinggal dulu di sini." "Tapi, jangan lama-lama." Mas Aris tidak menjawabku lagi. Dia malah beranjak meninggalkanku sendiri di sofa. Menghampiri Wira yang sedang membersihkan motornya dengan selang air. "Motorku jadi bersih nih, sebelum berangkat ngegrab." Tak kupedulikan suara Mas Aris, aku beranjak ke dapur. Mengerjakan cucian piring dan gelas yang menumpuk. "Aku berangkat dulu, ya." Setelah tiga puluh menit berlalu, Mas Aris pamit akan berangkat ngojek online. "Hati-hati, Mas." Aku cium tangan padanya. "Puput, salim sini." Puput–putri kami–yang berusia 5 tahun mendekat cium tangan juga pada Mas Aris sesuai perintahnya. "Ayah, pergi dulu, ya." "Iya, Yah." "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Mas Aris pergi. Motor yang dikendarainnya menghilang dari pandangan kami. "Puput mau jajan ah." "Jajan apa? Ini uangnya." Aku mengeluarkan uang lima ribu di saku baju. "Gak usah Bunda. Puput kan udah punya uang. Ini." Puput mengeluarkan uang sepuluh ribu dari saku celananya. "Uang dari siapa, Put?" "Dari Om Wira." "Dari Om Wira? Kapan ngasihnya?" "Tadi pagi. Pas bangun tidur." Aku tidak tahu si Wira memberi uang pada Puput. "Sekarang di mana Om Wiranya?" "Gak ada. Udah pergi." "Itu, motornya ada," kataku menjuk motor matic milik Wira di depan teras. "Om Wira pergi ke rumah Om Endang." "Kok kamu tau?" Endang adalah tetangga kami. Rumahnya di belakang. "Puput kan nanya sama Om Wira. 'Om mau kemana?' Ke rumah Om Endang katanya. Soalnya kalo diem di rumah Bunda gak suka. Nanti Bunda marah." "Om Wira yang bilang gitu sama kamu?" "Iya." Aku tak menyangka Wira akan mengatakan itu pada Puput. Jadi, dia tau aku tidak menyukai kehadirannya? Jika dia saudara aku tidak akan kagok bersikap, tapi dia orang lain. Kehadirannya di rumah sangat membatasi gerak-gerikku. "Bunda jangan galak sama Om Wira, kan Puput udah dikasih uang." Anak itu bicara seraya menunjukkan lagi uangnya. Merasa bangga pada si Wira, merasa aku sudah menzaliminya. Ish! "Bunda gak galak kok." 'Aku hanya jutek' tambahku dalam hati. "Yaudah, Puput mau jajan dulu, ya." "Jangan lama-lama, langsung pulang, kembaliannya ambil." "Iya, Bundaa." Puput menjawab seraya berlari kecil berangkat ke warung. Aku memasuki rumah. Di dapur terdapat keranjang baju kotor sudah menumpuk. Kumasukkan semua baju-baju tersebut di mesin cuci. Tidak ada baju si Wira barang satu pun. Dia sudah mencuci sendiri bajunya. Selalu dicuci sendiri setiap harinya. Selama dia ada aku belum pernah mencucikannya. Baguslah. Dia sadar diri. Sekarang orangnya tidak ada. Aku lebih leluasa. Dia kebagian jatah libur dari pekerjaannya sebagai staf pelaksana di sebuah tempat wisata tidak jauh dari sini. Tugasnya mengontrol pengunjung dan para pekerja di lapangan. Hmm, bagus juga pekerjaanya. Tapi, aku tak peduli. Dia orang asing di sini. Kehadirannya membuatku kagok bertingkah. Suamiku bilang dia sudah kenal lama dengan si Wira, bahkan dari semenjak belum menikah denganku. Wira pendatang dari Jakarta yang ditugaskan di Bogor. Kota tempat tinggalku ini. Ya, aku orang Sunda. Suamiku orang jawa tengah. Tapi, keluarganya sudah lama menetap di jawa barat. Kami menikah tujuh tahun yang lalu dan baru dikaruniai seorang putri. Aku lanjutkan kegiatan mencuci, menuangkan air dan membubuhkan sabun serbuk. Mesin cuci ditutup. Aku pencet tombol on. Mesin itu tidak bereaksi. Hening. Aku mencoba memperhatikan pemukaan mesin cuciku. Lampunya tidak nyala. Aku pencet saklar tidak jauh dari tempatku berdiri. Ternyata mati lampu. Duh. Jadi, aku harus mencuci secara manual? Tidak ada angin tidak ada hujan tau-tau mati lampu. Ada apa dengan PLN sini? Di sini sering mati lampu. Payah. Terpaksa baju yang sudah direndam diambil kembali. Aku memasukannya dalam ember hitam besar. Lalu membawanya dengan payah ke dalam kamar mandi. Pintu kamar mandi ditutup dan dikunci. Baju gamis kulepas menyisakan tangtop hitam dan celana strit hitam pendek. Rambutku dicepol ke atas. Sambil jongkok aku mencuci baju-baju itu. Sengaja kulepas dulu baju biar gak ikutan basah. Nanti setelah selesai aku pakai kembali. Aku mencuci dengan tambahan sabun colek jika manual seperti ini. Entah kenapa, rasanya tidak cukup jika hanya air rendaman sabun saja. Jadi tidak ada busanya. Dengan ditambahkan sabun colek setiap menyikat busa jadi banyak. Berasa lebih bersih. Sudah setengah baju disikat tinggal setengahnya lagi. Aku mengambil baju kaos Mas Aris lalu meraih plastik sabun colek, menekan isinya. "Habis lagi." Aku menggerutu sendiri mengetahui sabun coleknya habis. Tidak ada lagi isinya. Aku berdiri membuka pintu sedikit. "Put, Pupuut. Tolong ambilin bunda sabun colek dong di rak!" Tidak ada yang menyahut. "Puput!" Kemana itu anak? Apa belum pulang jajan? Benar. Pasti belum pulang. Kalau ada di dalam rumah dia pasti dengar suaraku. Kebiasaan kalau bawa uang lebih. Tidak langsung pulang. Tau-tau uangnya sudah habis dijajanin semua. Pasti begitu. Tubuhku berbalik hendak mengambil gamis dan hijab yang tersampir di gantungan. Aku harus keluar dulu. "Aw!" Kakiku terpeleset menginjak air sabun ketika melangkah. Tanganku yang baru memegang baju jatuh. "Astagfirullah, ya ampun. Shh ...." Aku mendesis nyeri serta jengkel. Untung kaki tidak keselo. Sehingga bisa langsung berdiri kembali. Hanya bokongku yang sakit terjatuh duduk dilantai. Aku mengambil gamis yang ikut jatuh di bawah. Basah .... Aku melemparkannya di ember. Biar dicuci sekalian, karena tidak bisa dipake. Pintu kamar mandi dibuka lebih lebar. Aku keluar berjinjit pelan dengan kaki yang basah menuju rak. Langsung menemukan sabun colek dan mengambilnya. Ketika berbalik aku terkejut Wira sedang berjalan ke arahku. "Aaaaak!" "Ma-maaf. Maaf, gak sengaja liat."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.8K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
59.8K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook