Bab 75 : Memulai Kenangan

1429 Kata
Akram mengetuk pintu kamar Mia berkali-kali. Ia sudah mengutarakan rencananya untuk minggu pagi. Seharusnya Mia bersiap lebih awal. “Kenapa nggak keluar dari tadi?” tanya Akram saat Mia membuka sedikit pintu kamarnya dan hanya menampakkan kepalanya. “He, eh, Mas.” “Kenapa?” Akram dibuat tak sabar. Ia berniat berangkat sebelum matahari terlalu tinggi, tapi Mia malah lama sekali. “Itu, aku nggak pe....” Belum juga Mia selesai mengungkapkan alasannya, Akram mendorong pintu itu. Terpaksa Mia menyingkir hingga penampilannya pagi ini bisa dilihat oleh Akram. “Kenapa emangnya?” Mia menunduk. Ia tidak percaya diri dengan pakaian baru yang sudah dikenakannya. Sangat bukan dirinya sekali. “Ini.” Mia meremas ujung baju berbahan kaus itu. “Coba kamu muter, Mi.” “Muter, Mas?” “Iya. Kalau emang karena bajunya coba muter dulu.” Mia pun melakukan permintaan Akram. Ia memutar badan untuk sekadar memastikan penampilannya. “Oke. Sebagai suami aku rasa ini masih aman, Mi. Nggak bakal ada laki-laki yang memerhatikan hanya karena kamu pakai baju olaharaga.” Mia pun terbelalak. Akram memahami kekhawatirannya. “Ayo buruan. Ntar keburu panas,” ucap Akram. “Ya, Mas.” Mia menyambar tas kecilnya. Hari ini mereka akan menghabiskan hari minggu dengan melakukan kegiatan yang juga berbeda dengan sebelumnya. “Aku kira nggak naik mobil, Mas,” ucap Mia begitu sampai di halaman. “Takutnya kamu nggak kuat. Sepeda kamu udah di dalem,” jawab Akram. “Oh, begitu?” Akram mengangguk. Ia mengajak Mia masuk ke dalam mobil mereka. Dari kota, mereka harus berkendara sekitar tiga puluh menit agar sampai ke kawasan Borobudur. Sepanjang perjalanan Mia merasa gugup. Ini kali pertama baginya juga melakukan kegiatan olahraga seperti yang disebutkan Akram. “Mampir ke rumah bentar, ya, Mi. Ambi sepedaku sama mau ngasih bubur buat ibu.” Jalan dari rumah mereka menuju Borobudur melewati rumah orangtua Akram. Tentu ia tak mau mengabaikan begitu saja. “Memangnya sudah ada yang buka, Mas?” “Ada. Langgananku sama Rios.” Akram memberhentikan mobilnya dan melangkah turun bersama Mia. “Masih ada, Bu?” tanya Akram pada penjual bubur ayam yang sudah sangat ia kenal. “Masih Mas, wong baru buka,” jawab penjual bubur itu tidak begitu memerhatikan siapa yang datang. “Pesan empat, Bu. Yang dua nggak pedes, yang dua pedesnya dipisah,” ujar Akram. Penjual bubur itu pun mendongak. “Welah, Mas Akram? Ya ampun lama banget nggak ke sini?” ujar penjual bubur. Akram tersenyum ramah. “Iya, Bu. Sekarang jarang lewat sini.” “Wah, kenapa to? Emangnya sudah pindah? Biasanya tiap pagi absen beli bubur sama Mbak Nasha,” kata penjual sambil tertawa. Ia juga tidak memerhatikan Akram datang bersama siapa. Akram tersentak. Tak menyangka jika penjual bubur kenalannya akan selugas itu berkata. Sontak, ia melihat ke arah Mia. “Jangan keras-keras, Bu. Saya udah nikah.” “Sudah nikah sama Mbak Nasha? Wah alhamdulillah. Kok saya nggak diundang?” Penjual bubur itu benar-benar tidak paham akan situasi Akram. Ia malah memperjelas dengan menyebut-nyebut nama mantan kekasih Akram. “Bukan sama Nasha, Bu. Ini istri saya,” terang Akram. Ia menunjuk Mia yang berdiri di sampingnya. “Oalah, Mbaknya istrinya Mas Akram? Wah, wah maaf, Mbak. Saya kira tadi mau antri bubur juga,” kelakar penjual bubur. Ia tahu sudah salah sebut nama. Ia pun mengedipkan mata pada Akram sebagai bentuk permintaan maaf. Mia hanya tersenyum. Ia jelas tidak bisa langsung menanggapi dengan baik. Ia sendiri cukup kaget. “Santai saja, Bu. Istri saya tau semua, kok,” timpal Akram demi memutus ketidaknyamanan itu. Ia tahu raut wajah Mia sedikit berubah. “Ya sudah saya buatkan dulu. Yang dua nggak pakai kacang semua apa gimana ini?” tanya penjual bubur teringat akan kebiasaan pesanan Akram. Akram bergeming. Jika biasaya ia dan Nasha selalu memesan tanpa kacang bagaimana denga Mia? Ia pun menatap istrinya. “Pakai, Mas,” jawab Mia seolah paham dengan maksud penjual bubur dan juga dirinya. Akram mengangguk kecil. “Yang satu pakai, Bu.” “Oke, Mas. Duduk dulu aja.” Akram dan Mia mengikuti saran penjual bubur. Keduanya duduk di kursi sambil menunggu pesanan. Ada rasa tak nyaman di hati Mia. Ia tahu waktu yang dihabiskan Akram bersama Nasha jauh lebih banyak. Ia juga mengerti hal semacam ini pasti sangat mungkin terjadi. Namun, di pagi buta, di tempat seperti ini menandakan seberapa dalam hubungan mereka. Mia mendesah. Ia tak boleh memikirkannya lebih banyak di saat ia dan Akram sedang berusaha memulainya. * “Sorry yang tadi,” ujar Akram saat mereka sampai di depan rumah orangtua Akram. Tampak jelas Mia menjadi lebih banyak diam.  Mia mengangguk. Tak sepantasnya ia marah. Setiap orang punya masa lalu. “Iya, Mas. Wajar banget kok.” Akram menatap sebentar wajah istrinya. Hari ini ia tak bermaksud membuat hati perempuan itu terluka. Ia murni hanya ingin mengajaknya sarapan sebelum mereka berolahraga. “Kita turun dulu, ya.” Mia mengangguk lagi. Ia mendorong pintu mobil sambil membawa empat bungkus bubur ayam itu. “Assalamualaikum,” ujar Akram dari luar. Sudah hampir setengah enam pasti orangtunya sudah bangun. “Waalaikumsalam,” sahut Danu dari dalam. Pria itu membuka pintu rumahnya dan tersentak saat melihat siapa yang datang. “Ya ampun kalian?” Akram mengangguk. Ia menyalami Danu yang diikuti dengan Mia. “Ini ada apa? Njanur gunung kalian ke sini?” tanya Danu tak percaya. “Mau ambil sepeda, Pak. Sama ngasih bubur,” jawab Akram seraya masuk. Sementara Mia mengangkat tinggi bubur ayam yang ia bawa. “Oalah ya, ya. Kemarin sepeda kamu juga baru bapak pakai. Udah bersih sekarang,” timpal Danu mengingat ia sempat merapikan barang-barang putranya. “Wah iya? Makasih, Pak. Ibu di dalam?” “Iya, di dalem.” “Kamu masuk aja, Mi. Aku ke garasi dulu,” ujar Akram. Tentu sepedanya menjadi lebih penting sekarang. Mia berjalan ke ruang tengah seraya meletakkan empat bungkus bubur ayam itu. Seingatnya, ada Malka dan juga Dania. Seharunya Akram membeli lebih banyak, namun ia juga lupa mengingatkannya. “Assalamaualikum,” ujar Mia di gawang pintu kamar ibu mertuanya. “Waalaikumsalam. Ya ampun, Nduk?” Mata Yurika berbinar. Pagi ini ia mendapat kejutan di mana menantunya tiba-tiba datang. Mia berjalan masuk. Ia menyalami tangan Yurika sambil memeluknya. “Ibu sehat?” “Alhamdulillah, Nduk. Kamu gimana? Ini dateng sama Akram?” “Sehat juga, Bu. Iya Mas Akram ambil sepeda.” Yurika mengurai pelukannya. “Sepeda? Oh kalian mau olahraga?” Mia mengangguk. Memang begitu niatnya. “Sekarang mana suamimu?” “Kayaknya di belakang, nah itu.” Akram berjalan masuk sambil mengumbar senyum. Ia tahu kedatangannya pasti membuat ibunya senang. “Sehat, Bu?” tanya Akram sambil menyalami Yurika. Yurika mengangguk. Ia tak menanyakan hal yang sama karena dengan melihat senyum Akram saja ia sudah paham. Tak lama Dania bergabung. Ia menjadi lebih sering di rumah orangtuanya. Sementara Malka masih tertidur pulas. Kamar Yurika menjadi cukup ramai. Hingga Akram sadar matahari sudah semakin tinggi. “Duh, telat ntar.” “Telat? Cuma sepedaan doang telat,” celetuk Dania. Ia heran dengan sikap adiknya yang terburu-buru. “Panas kalau kesiangan, Kak.” “Hmmm, bilang aja mau lama-lama sama Mia.” Tawa pun pecah di kamar itu. Yurika yang kesehatannya setiap hari semakin menurun menjadi lebih bersemangat. “Ya udah buruan sana berangkat,” ucap Danu mendukung niat baik putranya. “Pamit dulu ya, Pak, Bu. Buburnya di meja,” ucap Mia. “Ah, iya. Malah repot Nduk. Hati-hati, ya.” Mia dan Akram kembali ke dalam mobil. Mereka melanjutkan perjalanan dan berhenti di pinggir jalan. Akram berniat menyantap bubur pesanannya terlebih dulu. “Loh yang dua mana?” “Mas lupa ada Kak Dania sama Malka?” “Lah kamu taruh semua di dalem?” Mia mengangguk kecil.  “Aduh, Mi, aku udah lama pengen bubur itu.” Akram bermaksud putar arah untuk mengambil bubur miliknya. Namun, Mia dengan cepat menahannya. “Kita beli bubur ayam lain aja,” ujar Mia sambil menatap Akram. “Heh?” “Nggak mungkin di Borobudur nggak ada bubur ayam, Mas. Lagian beli cuma dua.” “Kak Dania nggak suka bubur ayam. Malka barengan sama Bapak. Aku ambil dulu.” “Enggak,” sahut Mia galak. Ia bersikukuh akan pendapatnya. “Itu enak, Mi, beneran. Nggak ada duanya.” “Karena pakai bumbu mantan?” Akram pun menatap heran ke arah istrinya. Ia kalah jika pendapat Mia karena itu. Akram mengangguk kecil seraya menjalankan kembali mobilnya. Dalam hati ingin sekali menyantap bubur ayam langganan tapi apa daya istrinya melarangnya. “Bubur ayam kenangan,” celetuk Mia sambil menatap ke depan. Fix nih anak cemburu, batin Akram.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN