Bab 76 : Tetap Terjadi

1370 Kata
Mia diam-diam tetap mempersiapkan keberangkatanannya ke Irlandia meski mengiyakan permintaan Akram. Ia yang memang sudah berjanji dengan Frans, tidak ingin melanggar hanya karena ide konyol suaminya. “Ya Kak, gimana?” Udah siap? Mau kakak jemput apa gimana? “Nggak usah, Kak. Mia naik ojek aja.” Ojek? Mobil kamu ke mana? “Di garasi, Kak. Mana berani aku bawa sendiri.” Akram udah ke toko? “Udah, Kak. Sebelum jam tujuh udah berangkat.” Ya udah kalau gitu. Kakak tunggu di rumah. Sambungan telepon dari Frans pun terputus. Mia menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Ia sudah keluar sejak tadi hanya saja memilih menunda langsung ke rumahnya karena harus bertemu seseorang. “Udah lama, Mi?” sapa Rios yang datang tak lama setelah Mia menunggu. “Belum, Yos. Baru aja.” “Aku kira udah terlambat.” Mia menggeleng sambil mengulas senyum. Ia mengambil amplop berwarna coklat dari dalam tasnya. “Buat yang kemarin, Yos.” Rios menggeleng. Sebelumnya Mia sudah memberikan upahnya saat harus mengikuti aktivitas Akram di acara launching D and M. Ia tidak bermaksud meminta lagi pada Mia. “Diterima aja, Yos. Informasi dari kamu sangat bermanfaat. Aku kebantu banget buat nentuin keputusanku. Anggap saja ini rezeki buat ibu kamu.” “Tapi, Mi yang kemarin aja udah banyak,” ujar Rios sungkan. Ia sejatinya sangat membutuhkan uang itu untuk pengobatan sang ibu, namun ia tak nyaman mengingat Mia adalah istri sahabatnya. “Aku harap kamu bisa jaga rahasia. Jangan sampai Mas Akram tau soal hari itu.” Rios mengangguk yakin. Jelas ia akan menjaga rahasia tentang keterlibatan Mia dalam acara launching D and M itu. “Kamu mau ke mana, Mi? Kaya rapi banget?” tanya Rios saat memerhatikan penampilan Mia. “Mau ke rumah orangtuaku, Yos. Kebetulan pas nggak ada kegiatan di rumah.” “Oh gitu. Emangnya kamu nggak ikut bantu Akram di toko?” “Ada rencana begitu, Yos. Cuma belum mulai. Kata Mas Akram aku masih diminta istirahat.” Rios mengangguk-angguk. Ia juga mendengar perihal Mia yang sempat masuk ke rumah sakit. “Kalau gitu aku pamit dulu, Mi. Besok-besok aku kembalikan uang ini.” Rios mengambil amplop berwarna coklat yang disodorkan Mia. Kalau bukan karena terpaksa ia tak akan melakukannya. Secara tidak langsung ia telah menghianati persahabatannya dengan Akram. Mia kembali melanjutkan perjalanannya. Ia tahu ini semua berlebihan dan pasti salah jika Akram mengetahuinya. Namun, demi meyakinkan dirinya sendiri bahwa Akram memang tidak melakukan kesalahan ia tetap melakukannya. Terkadang sebuah kepastian harus dipastikan berulang-ulang meski sudah jelas nilai kebenarannya. “Jalan pakai mata!” sentak pria yang tak sengaja ditabrak Mia. “Ma—af, saya tidak sengaja,” ucap Mia. Ia masih menunduk. “Nggak sengaja nggak sengaja, kalau lecet gimana?” Pria itu tak terima. Ia marah-marah tidak jelas. Mia pun mendongak. Ia memang tak berniat menabrakan diri seperti tuduhan pria itu. “Kamu,” ujar pria itu begitu melihat siapa orang di depannya. “Ya?” “Kamu istrinya Akram, kan? Iya?” Hilmi menyadari saat memerhatikan wajah Mia. “Iya. Anda siapa?” Hilmi tersenyum jahil. “Aku Hilmi, calon suami Nasha. Kamu tau Nasha, kan?” Mia mengangguk. Mana mungkin ia tidak tahu nama itu. “Kebetulan yang menyenangkan. Kita harus banyak-banyak ngobrol.” Hilmi menjadi sok akrab dengan Mia. Ia bahkan mencolek tangan Mia. “Yang benar, ya!” ucap Mia. “Upssss, sorry. Istri Akram mah model ustazah, ya. Mana bisa dicolak-colek,” kelakar Hilmi. Mia pun geram. Sikap Hilmi sudah keterlaluan. Ia berniat mengabaikannya dengan langsung berjalan maju. “Eitttsss, bentar dong,” ujar Hilmi sambil menarik jilbab yang dikenakan Mia. “Apa-apaan, anda!” sentak Mia tak terima. “Udah ketemu aku, rugi banget kalau kita nggak bahas pasangan kita. Ada banyak hal yang harus kamu tau.” Mia pun berhenti. Ia mulai terpancing dengan ucapan Hilmi. Rasa penasarannya muncul begitu saja. “Sepuluh menit cukup,” imbuh Hilmi sambil menunjuk kursi yang tadi juga digunakan Mia dan Rios. Mia melirik kursi itu sejenak. Ia memang sedang mengumpulkan banyak bukti untuk dirinya sendiri sebelum akhirnya kembali memercayai suaminya pasca kejadian kematian ayah Nasha. Ia yang awalnya ingin terus percaya menjadi semakin ragu seiring berjalannya waktu. “Hanya sepuluh menit,” tegas Mia. “Baik.” Hilmi cukup bangga setelah berhasil membujuk istri rivalnya. Entah mengapa ia selalu ingin mengusik kehidupan pria itu akibat dari sikap tak tahu dirinya selama ini. “Lihat,” ucap Hilmi sambil menunjukkan ponselnya. “Apa maksudnya?” Mia tentu enggan mengambilnya. Hilmi menggeleng kecil. Ia mengambil kembali ponselnya dan menunjukkan foto terbaru kedekatan Akram dengan Nasha. Mia cukup tersentak. Bagaimana Hilmi tau? “Ini di toko kalian bukan?” Mia tidak mau mengakui jika itu terjadi di toko. Pasti ini hasil rekayasa teknologi. “Mereka diem-diem ketemuan. Padahal aku datang sama Nasha. Kebangetan, nggak tuh.” Mia masih memerhatikan layar ponsel milik Hilmi. Pakaian yang dikenakan Nasha dan Akram memang sama, namun sudut pengambilan foto berbeda. Apa mungkin kejadian itu terjadi setelah Rios melapor padanya? Atau memang Rios menyembunyikannya? “Kamu sebagai istrinya diem aja? Aku yang pacarnya aja gerah. Makanya aku stay di Magelang akhir-akhir ini.” Hilmi berusaha memengaruhi Mia. Ia harus berhasil membuat gadis itu cemburu buta kalau perlu sampai meninggalkan Akram. Mia terdiam. Mengapa Nasha dan Akram seberani itu. Bahkan di tempat umum. “Ini belum seberapa. Bentar aku kasih lihat yang lain.” Hilmi meraih kembali ponselnya. Ia membuka galeri dan kembali menyodorkannya pada Mia. “Astaghfirulloh,” lirih Mia. Bagaimana suaminya begitu nyaman bersandar di pangkuan gadis itu. Apa ini yang dimaksud oleh Nasha bahwa mereka sudah.... Mia menggeleng. Ia tidak boleh menyimpulkan semuanya. “Tepat banget. Ini sekitar tiga bulan lalu. Kalian udah nikah, Nasha udah sama aku.” Mia pun mendongak. Hilmi memahami perasaannya. Namun, mengapa Hiilmi juga bertahan jika tahu Nasha dan Akram masih sedekat itu. Berbeda dengannya yang terlibat ikatan halal, Hilmi dan Nasha hanya sebatas teman kencan. Hilmi terkekeh. Ia paham apa yang ada di pikiran Mia. “Aku cinta mati sama dia. Mau gimana coba akunya yang cinta.” Mia tertegun. Posisi mereka sama hanya berbeda konteks saja. Mia tak berani menanggapi. “Ada yang lebih parah. Mau lihat?” tawar Hilmi. Ia menjadi tak tega karena Mia hanya dengan tatapan menyedihkan. Mia menggeleng. Baginya sudah cukup. Tanpa perlu melihat yang lain ia juga paham. “Saya permisi dulu,” ujar Mia. Ia tak sampai hati mencari tahu hingga akarnya. Ia belum siap terluka lebih banyak. Tiga bulan lalu. Artinya mereka sudah menikah dan Akram berani semesra itu dengan mantan kekasihnya. Bagaimana dengan satu dan dua bulan pernikahan mereka. Mungkinkah? Mia terus menggeleng. Ia tepis pikiran buruk itu. Namun, sayang ia justru ingat akan pesan yang dikirimkan Nasha beberapa bulan lalu. [Akram tidak sebaik yang kamu kira, Mia. Dia adalah orang yang berbeda dari apa yang kamu lihat selama ini.] Mia menguatkan dirinya. Ia sebisa mungkin mencoba untuk tidak menitikkan air mata terlebih di tempat umum seperti itu. Ia harus menahannya. Beruntung taxi online yang ia pesan segera datang. Ia bisa menghindar dari kejadian tak menyenangkan hari ini. Sementara Hilmi tersenyum puas mendapati Mia berjalan lambat akibat tekanan darinya.  Kegilaannya tentang Nasha dan kebenciannya pada Akram begitu mengakar. Sampai ia melibatkan semua orang yang ada di sekeliling mereka. Hilmi melambaikan tangan ke sebrang jalan, pertanda bahwa orang yang membantunya menemukan celah untuk menghancurkan Akram boleh menunjukkan wajah. “Apa lagi, Hil,” ucap Rios tertahan. Ia sebenarnya tak nyaman. “Good job! Nggak sia-sia gue punya mata sama kaki kaya lo!” Rios memalingkan wajah. Ia berubah jadi apa saja demi mendapatkan rupiah. Ia bahkan sampai terlibat dengan Hilmi. “Besok gue promosiin jabatan lo di Betamart. Tapi awasi terus si cecunguk Akram. Gue pengen dia bangkrut kalau perlu hancur total,” tegas Hilmi. Ada kilat kemarahan yang menjadi. Rios mengangguk kecil meski sebenarnya tak ingin. Ia sudah berurusan dengan orang yang salah. Terlebih lagi ia membuat beberapa nama terseret akan kepentingannya sendiri termasuk Mia. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Hilmi berdiri. Ia menepuk bahu Rios sebagai bentuk kebanggaannya. Selama ini, Rios selalu merekam apa saja kegiatan Akram dan Nasha termasuk saat mereka bertemu di tempat rahasia. Hal itu tentu menjadi kartu AS sendiri bagi Hilmi yang menyimpan kesumat untuk Danial Akram. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN