Mia berusaha mengabaikan semua resah yang melandanya. Begitu sampai di rumah orangtuanya, sebisa mungkin ia tampilkan wajah ceria. Namun, saat akan memasuki ruang tamu ia berhenti. Tanpa sengaja ia mendengar percakapan Frans dan Zaki. Ya, Zaki teman masa kecil Mia.
"Dari semua pria kenapa harus dia, Kak? Tak ada yang lain kah?" Zaki menyangsikan pernikahan antara Mia dan Akram.
"Entahlah. Awalnya aku juga tidak terima tapi kata bapak ibu sudah diputuskan."
"Apa istimewanya pemuda itu? Kaya juga enggak. Berpendidikan apalagi. Cuma modal tampang doang."
Frans menyandarkan punggungnya di kepala sofa. "Aku juga nggak paham kenapa Mia tergila-gila dengan Akram. Sumpah aku nggak ngerti, Zak."
Zaki tampak frustrasi. Setelah cukup lama tak mengetahui kabar tentang Mia, ia malah dikejutkan dengan berita pernikahan. Dulu bahkan sempat tersiar kabar bahwa mereka nantinya akan dijodohkan.
"Semoga yang terbaik, Kak. Kalau udah begini masa ia harus dipisahkan," ucap Zaki pada akhirnya. Ia harus berdamai dengan keadaan.
"Sebentar lagi, Zak. Kedepan Mia bakal...."
"Assalamualaikum," sapa Mia untuk memutus ucapan Frans. Ia tidak ingin banyak orang yang tahu terlebih Zaki.
"Waalaikumsalam. Udah nyampe, Mi?" tanya Frans cukup gelagapan. Semoga Mia tak mendengar obrolan mereka.
"Udah, Kak."
"Hai, Mi," sapa Zaki ramah. Ia senang bisa bertemu Mia meski tak sengaja mampir ke rumah itu. Ia bahkan belum menghubungi gadis itu.
"Hai, Zak."
"Kalian udah ketemu?"
Zaki mengangguk. "Hari sabtu kemarin, Kak. Lagi ke bioskop dia."
"Oh, ya. Kamu ke bioskop, Mi?" tanya Frans tak percaya. Mana bisa Mia berada dalam keadaan gelap.
Mia mengangguk kecil. Ia enggan membahasnya terlebih ada Zaki di sana.
"Aku masuk dulu, Kak," ujar Mia. Ia tak mau terlalu terlibat dengan orang-orang terlebih laki-laki.
"Eh, kamu kok ke sini, Mi?" tanya Sufi yang datang membawakan minuman untuk Frans juga Zaki.
"Iya, Bu. Mia mau ambil beberapa buku," ujar Mia seraya menyalami Sufi.
"Oh, gitu? Naik apa ini?"
"Taxi online, Bu."
"Nggak diantar Akram?" tanya Sufi tak percaya.
"Mas Akram kerja, Bu. Mia ke atas dulu, ya." Rasanya Mia tak sanggup berlama-lama menghadapi ibu dan kakak angkatnya. Ia sedang ingin menyendiri.
"Ya udah sana." Sufi mengizinkan Mia untuk tidak bergabung bersama Zaki dan Frans.
Di dalam kamar, Mia duduk di tepian ranjang. Ia pegang d**a bagian kirinya. Sejak tadi berkrenyut pedih. Ia memukul-mukul sejenak demi menghilangkan semua sesak.
"Mengapa sulit sekali? Mengapa setelah mengetahuinya semakin tidak bisa mengabaikan? Benarkah segila ini aku padanya?"
Mia meracau seorang diri. Rencana awalnya hanya ingin memberikan pelajaran pada Akram. Namun, ia sendiri yang justru kesakitan. Ada yang bilang lebih baik tidak tahu sama sekali dibandingkan hanya setengah informasi yang diketahui. Mia pun mengutuki diri.
"Ya, Bu," sahut Mia saat Sufi mengetuk pintu kamar itu. Buru-buru Mia menyeka wajahnya agar tak nampak bulir bening yang mulai berjatuhan.
"Kamu kenapa, Nduk? Ada yang sakit?" tanya Sufi penuh perhatian.
Mia menggeleng. Ia tidak mungkin berkata jujur pada ibunya. Ia harus terlihat baik-baik saja.
"Ada apa, Nduk, cerita sama ibu. Kamu ada masalah sama Akram?"
Mia menggeleng lagi. Ia tidak akan mengatakannya. "Nggak ada, Bu. Kami baik-baik saja."
"Terus kenapa kamu nangis?"
"Mia cuma kelilipan, Bu."
"Ah, masa kelilipan sampai begini. Kalau ada apa-apa jangan dipendam sendiri, Nduk."
Mia mengukir senyum. Ia tidak mungkin mengatakannya pada siapa pun perihal yang ia alami selama ini.
"Ibu, Mia mau minta izin ke Bapak, Bu. Kira-kira bagaimana?"
Sufi menatap pedih ke arah putrinya. Ia tak mengira Mia serius dengan perkataannya waktu itu.
"Kamu yakin, Nduk? Kamu nggak lagi ada masalah kan sampai pengen pergi gini?"
"Insyaallah Mia yakin, Bu. Mas Akram bilang akan mengizinkan. Tinggal izin dari Bapak."
"Mia, kamu benar nggak apa-apa?"
Mia mengangguk. Ya, ia baik-baik saja. Ia harus segera ke Irlandia demi memenuhi semua rencana besarnya. Sufi pun tersenyum hambar. Tak menyangka putrinya akan senekat itu.
"Nanti suruh Akram ke sini. Biar ibu sama Bapak bicara sama dia."
Mia menggeleng. "Jangan, Bu. Mia dan Mas Akram baik-baik saja. Beneran nggak ada masalah. Mia cuma pengen ikut kelas singkat yang ditawarkan Kak Frans."
Sufi pun mendesah. Ia merasa kalah. "Ya sudah atur bagaimana baiknya menurut kamu saja, Nduk."
Mia mengangguk kecil. Ia berikan seulas senyum pada sang ibu agar perempuan itu tak perlu terlalu ambil pusing akan keputusannya.
*
Di toko Akram tak sabar menantikan jam pulang. Ia yang sedang berusaha mengambil hati Mia tak mau menyiakan kesempatan. Sebisa mungkin ia memaksimalkan kesempatan sebelum Mia berangkat ke Irlandia.
Akram mendesah. Membayangkan Mia tak menerima pengakuannya saja sudah membuatnya resah. Bagaimana jika harus menjalani pernikahan jarak jauh, sanggupkah ia. Demi mengusir perasaan tak nyaman itu, Akram memainkan ponsel. Tanpa sengaja ia mengetuk pembaharuan status dari nomor Frans. Di sana tampak jelas Frans tengah berfoto bersama Zaki--teman masa kecil Mia.
Akram pun terdiam. Kembali pikirannya terusik. Mengapa Mia menikah dengannya? Apa landasan terbesar sampai gadis itu yang berasal dari keluarga berada memilihnya?
"Pak Akram. Ini bagaimana?"
"Ya, maaf, Pak."
"Jadi di tempatkan di depan atau mau dipindah saja?" tanya salah satu karyawan D and M yang sedang mengatur stand sepatu sepak bola.
"Sudah tepat, Pak. Begitu saja."
"Baik, Pak."
Akram pun kembali melanjutkan aktivitasnya. Meski penasaran, ia berusaha menahan diri untuk tidak mencari tahu lebih banyak tentang Zaki.
Pukul empat sore Akram tiba di rumah. Seperti yang sudah ia rencanakan, kali ini ia membawa camilan lain untuk Miana Agya.
"Kok di luar?" tanya Akram penasaran saat Mia duduk di bangku teras.
"Iya, Mas. Di dalam gerah," ujarnya.
"Belum mandi?" Akram mengendus bau tak sedap seperti biasanya.
"Udah, kok."
"Tadi pagi?"
Mia mengangguk kecil. Pasalnya ia pun belum lama sampai di rumah. Tadi, Frans sempat mengantarnya.
"Ayo masuk, Mas," ucap Mia menghindari pertanyaan lanjutan dari Akram. Beruntung ia sudah membuka kunci pintu rumah. Setidaknya kebohongannya tidak terlihat langsung di depan suaminya.
Akram mengedarkan pandangan. Ia merasa ada yang janggal terlebih tas kecil milik istrinya berada di sofa tamu. Mungkinkah?
"Aku ke atas dulu, Mas."
"Ah, ya."
Akram mengabaikan pemikiran liar itu. Ia berjalan menuju dapur seraya membuka kulkas. Tentu air dingin menjadi ampuh untuk sekarang.
Drrrt...drrrt...
Ponsel Akram bergetar. Ia pun mengetuk pesan yang dikirimkan sahabatnya itu.
[Rios : Hati-hati Kram. Kali aja maksudnya beda.]
Caption foto tersebut tak pelak membuat mata Akram membulat. Segera Akram menghubungi nomor Rios.
"Apa maksudnya, Yos?"
Tadi nggak sengaja aku liat mereka.
"Terus kamu diam-diam moto?"
Iya. Siapa tau penting buat kamu.
Akram pun terdiam. Penting?
Hati-hati, Kram sama ular derit itu.
Akram tak langsung menjawab.
Halo, Kram?
"Iya, Yos."
Dengerin nggak?
"Denger."
Ya udah aku tutup kalau denger.
Rios menutup panggilan itu. Sebuah panggilan yang menyisakkan tanda tanya besar bagi Akram.
Mia bertemu Hilmi? Buat apa?