Bab 68 : Hanya Berdua

1194 Kata
Akram meneguk ludah. Jakunnya bergerak naik turun. Pemandangan di depannya kini sangat berbeda dari biasanya. “Cuci muka dulu, ya,” ucap Akram sambil memapah Mia ke dekat wastafel. Mia hanya mengangguk. “Duduk Mi,” perintah Akram. Lagi-lagi Mia hanya menurut. Kali ini tangan kanan Akram mengambil air dan mulai membasuh wajah Mia yang menunduk. Jantung Akram mulai berdetak tak keruan. Panjamas yang dikenakan Mia berbentuk V leher. Anehnya Meski belum mandi, leher itu tetap terlihat bersih. Tak jauh dari wastafel, sebuah handuk kecil sudah tersedia. Bisa jadi ibu mertuanya sudah menyiapkan sebelumnya. Akram mengambilnya. Ia basahi sedikit handuk itu untuk kemudian meremasnya. Pelan, ia mulai menggosok leher Mia. “Mi....” “Hemmmm.” “Tak buka ya,” ucap Akram. Mia mengerjap. “Apa, Mas?” “Ini gimana nggosoknya?” tanya Akram karena ia bingung harus memulai dari mana. Mia pun paham. Ia membalikkan badan sambil mendorong sedikit stand infus. Ia buka pengait panjamas miliknya dan menurunkan sedikit hingga bahunya tereskpos. Akram tak bisa berkata-kata. Ia takjub dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kulit seputih s**u yang sudah pernah ia lihat satu kali waktu itu. Pelan Akram menggosok tengkuk Mia dengan handuk tadi. Tangan kirinya secara tidak sadar menurunkan panjamas yang menutupi punggung Mia sambai bawah. Sontak hanya menyisakan sebuah tali pengait yang memang biasa dikenakan oleh kaum perempuan. Akram menelan ludah. Jantungnya kian berdetak tak keruan. “Sorry, Mi.” Mia mengangguk kecil. Ia menahan bagian depan pajamasnya dengan tangan kanan agar tidak sampai terlepas. Pelan sekali Akram menggerakkan handuk terutama di punggung bagian kiri Mia. “Apa masih suka sakit, Mi?” tanyanya. Ia tahu itu luka bekas apa. “Sedikit.” Akram mengangguk kecil. Meski tahu tentang kejadian itu ia tak berani membahasnya. Mia yang sudah pernah jujur kala itu, ia abaikan begitu saja. Pasti Mia tidak senang jika ia mengungkitnya. Akram terus melakukan pergerakan hingga punggung Mia benar-benar basah oleh handuk yang ia gosokkan. Tanpa sengaja tangan Akram mengenai pengait tali tersebut. Refleks gerakan Akram terhenti. Aliran darahnya meningkat pesat. Begitu juga dengan Mia. Gadis itu berusaha sekuat tenaga menahan gelenyar aneh yang tiba-tiba datang. Akram diam sejenak. Ia pandangi punggung seputih s**u itu. Hatinya berbisik kagum. Akram tak bisa mengalihkan pandangannya dan entah dorongan dari mana, ia sengaja melepas pengait itu hingga terlepas sempurna. Sekarang tidak ada lagi penghalang di punggung mulus nan bersih itu. Tampak di depan mata Akram, punggung Mia meremang. Akram menggeleng. Ia harus menjaga kewarasan. Tidak boleh seperti ini. “Yang depan?” tanyanya mengalihkan fokus. Ia sengaja melihat ke dinding atas agar bisa mengalihkan getaran hebat yang memang secara alami sangat bisa terjadi. “Yang depan biar aku sendiri, Mas. Minta tolong gosok sebelah sini aja.” Mia menaikkan bahu sebelah kanan. “Oke.” Akram menyibak rambut Mia lebih banyak hingga leher bagian kanan Mia sempurna terbuka. Damn! Apa ini? Batin Akram bergejolak. Mengapa lehernya indah sekali? Shittt! Akram menaikkan handuk itu ke bagian yang ditunjuk Mia. Ia berusaha melakukannya dengan baik, hingga akhirnya ia tak tahan sendiri dan melakukan sebuah kesalahan. “Sorry, Mi.” “Ya, Mas?” jawab Mia sambil menoleh. Pandangan keduanya pun bertemu. Akram tak menjawab. Ia hanya menghentikan gerakannya dan menggeser sedikit posisinya ke sebelah kanan. Tepat di mana Mia menoleh tadi. Akram menatap dalam mata bening istrinya seraya mencondongkan badan. Ia tangkup pipi sebelah kiri Mia sembari mendekatkan padanya. “Maafin aku,” jawab Akram seraya meraup bibir Mia. Sontak membuat gadis itu tersentak. Mia sekuat hati menahan pegagangan tangan kanannya. Tidak boleh panjamas itu terlepas. Ia harus tetap menjaga kesadarannya. Namun, apa yang baru saja ia dapat tidak bisa ia tolak. Sebagai perempuan yang sudah menikah, terkadang ia memang memikirkannya. Akram tidak lagi menahan diri. Kedekatan mereka untuk yang kedua ini tidak bisa ia tampik seperti sebelumnya. Akram memperdalam kecupannya itu dan mengajak Mia menyelami lebih dalam perasaan mereka masing-masing. “Aw,” keluh Mia. Tangan kirinya sedikit tertarik dan menyebabkan nyeri. Akram melepaskan tautan bibir mereka. “Maaf, Mi.” Mia menggeleng. Baginya tak apa. Namun, posisi mereka sangat tidak memungkinkan untuk melanjutkannya. “Aku ganti dulu, Mas. Minta tolong ambilkan bajunya,” ujar Mia. Akram meraup wajahnya. Ia harus sadar meski dorongan dari dalam diri terasa kuat sekali. “Oke, Mi.” Masih memegang panjamas bagian depannya, Mia menanti dengan sabar bagaimana suaminya membantunya. Rupanya ibu mertuanya menyiapkan satu gamis panjang. Di mana Mia hanya perlu memakainya langsung. “Mas,” ucap Mia. “Apa?” “Itu,” tunjuk Mia. “Itu apa?” “Itunya belum?” Akram menoleh. Ia bingung dengan maksud Mia. Namun, pada akhirnya ia sadar. Tali pengait itu tadi juga ikut basah. “Di mana?” tanya Akram hati-hati. Bagaimana bisa ia mengambilkannya. “Ndak jauh dari situ. Paling di bawahnya,” ucap Mia. Akram pun mengangkat sedikit gamis yang disiapkan ibu mertuanya. Dan benar saja ada satu set benda berharga itu. Akram menggeleng. Ia benar-benar menjadi tidak stabil karena ini. “Ini,” ujar Akram. Ia masih memalingkan wajah karena tidak mungkin melihat Mia bertelanjang d**a. Mia menerimanya. Menggunakan tangan kanan, ia berusaha memakainya sendiri, namun saat bagian kiri ia terkendala. “Mas,” panggil Mia lagi. “Apa lagi?” “Panggilin suster aja, Mas. Aku nggak bisa.” Dan seperti disiram air dingin. Ucapan Mia seketika membuat panas di d**a Akram padam. “Oh, oke.” Akram membalikkan badan. Sekuat hati ia menahan agar tak tertarik melirik istrinya. Ia menarik handel pintu kamar mandi dan berlalu dari sana. “Gila kau, Kram,” tutur Akram pada dirinya sendiri. Setelah memastikan istrinya dibantu oleh perawat rumah sakit, Akram keluar sebentar mencari makanan. Ia menginginkan sesuatu yang dingin untuk sekadar menetralkan gejolak batinnya. Sungguh, bagi laki-laki normal kondisi semacam tadi sangatlah menyiksa. Akram berusaha menepis itu semua, ia mengambil minuman soda dan membeli makanan yang lain. “Frans!” seru Akram saat melihat pria menyebalkan itu turun dari mobil. “Kamu?” tunjuk Frans pada keresek hitam yang ditenteng Akram dan juga minuman soda di tangan kanan Akram. “Sorry. Tadi bercanda,” ujar Akram. Ia sadar Frans akan langsung datang saat ia meneleponnya meski baru berujar Halo. Pasti pria itu berpikir macam-macam. “Aku ke atas dulu,” ujar Frans. Tadi di telepon ia hanya mendengar Mia berteriak lalu sambungan terputus. “Nggak usah!” teriak Akram. Sontak membuat langkah Frans terhenti. Akram berlari kecil mendekat ke arah Frans. “Mia lagi tidur. Jangan ganggu.” “Tidur? Jam segini?” tanyanya. Masih terlalu awal menurut Frans. “Namanya juga orang sakit. Kalau mau lihat besok aja,” ucap Akram. Frans memicing. Ia curiga ada yang salah dengan Mia. “Lagian udah malem. Udah ada aku juga.” Frans mendekat. “What? Ada aku?” Akram mengangguk. “Ya, aku kan suaminya.” Frans menggeleng. Akram mengajaknya bercanda. “Suami?” Akram menenggak minuman sodanya. “Kamu pulang aja, Frans. Beri kami privasi.” Frans pun kehabisan kata-kata. Privasi? Tanpa merasa bersalah sama sekali, Akram mengibaskan tangan. Ia paksa kakak iparnya agar tidak mengganggunya. Tadi, ia tak sengaja memencet panggilan untuk Frans. Akram benar-benar mengusir Frans. Meski pria itu memaksa ia tetap menolaknya. Malam ini ia hanya ingin berdua saja dengan Mia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN