3. Bukkk!!!

1016 Kata
Pagi ini sebenarnya tidak ada aktivitas penting yang harus kulakukan. Kuliah tidak ada, bimbingan skripsi juga lagi libur karena yang mengerjakan skripsinya mendadak kehilangan mood. Semudah itu memang mood-ku dalam mengerjakan skripsi, mengikuti bagaimana situasi perasaanku saat ini. Padahal jika ingin dikerjakan dengan baik, mungkin skripsiku sudah selesai dari tahun kemarin dan saat ini aku sudah bekerja di salah satu sekolah sebagai staf pengajar. Tapi apa daya, aku hanya manusia biasa yang lebih sering malas daripada rajinnya. Tapi mendadak tadi aku ditelepon Ibu Amara, Kepala Sekolah SD Bina Bangsa tempatku pernah magang dulu. Katanya guru Bahasa Indonesia kelas 4 mendadak tidak masuk dan mereka tidak memiliki guru pengganti. Yayasan Bina Bangsa merupakan persekolahan swasta yang memiliki jenjang pendidikan dari TK, SD, SMP, sampai SMA. Berkat bantuan Yudis, aku bisa magang di sekolah itu. Calon suami Rana itu memang memiliki banyak koneksi yang tentu saja sebisa mungkin akan kumanfaatkan. Kembali ke masalah SD Bina Bangsa, sepertinya aku harus buru-buru karena diminta mengajar di jam pertama. Tapi...apa nggak salah jika aku mengajar Bahasa Indonesia? Maksudku, aku nggak yakin bisa berbahasa Indonesia yang baik di depan murid-muridku. Ahh, semoga saja mereka mengerti. Sepertinya aku lupa dengan mobilku yang sudah beberapa hari ini jarang bersamaku. Bukan disita Ayah seperti biasanya. Beberapa hari ini rumah Rana kedatangan banyak keluarga dari luar kota. Maklum, pernikahannya tinggal menghitung hari lagi. Dan mobil cantikku menjadi korban mengantar dan menjemput anggota keluarga yang datang. Aku nggak boleh mengeluh untuk hal itu, karena hanya bantuan seperti itu yang bisa kuberikan menjelang pernikahan Rana. Untung saja Ayah dan Bunda belum datang. Waktu meneleponku kemarin, katanya mereka akan datang dua hari sebelum acara. Membayangkan bertemu Ayah, mendadak membuat perutku mulas. Pasti pertanyaan yang sama bakal jadi sapaan awalnya, bukan kalimat betapa kangennya dia dengan putri satu-satunya. Pertanyaan kapan skripsinya selesai? sudah tidak asing lagi di telingaku. Sudah cukup memikirkan Ayah, saat ini aku harus mencari angkot agar tidak terlambat. Mungkin ketika Ayah datang nanti aku akan mengajukan pengampunan atas kemalasanku mengerjakan skripsi. *** Aku memandang murid-muridku dengan perasaan bahagia. Wajah imut mereka tampak serius mengerjakan tugas yang aku berikan. Sesekali mereka tampak berbisik-bisik dengan teman sebangkunya, kemudian hening lagi. Semoga saja ketika lulus nanti, aku bisa segera mengajar. Tentu saja mengajar anak-anak imut seperti ini. Aku masih sedikit enggak yakin bisa mengajar anak-anak remaja di SMP maupun SMA. Sifat anak remaja yang berapi-api dan egois rasanya hampir mirip dengan sifatku. Coba bayangkan jika kedua kubu itu bertemu, yang ada malah saling berantem bukan membimbing dan mengajar. “Sudah ada yang selesai belum?” tanyaku dengan semangat. Aku memberi mereka tugas mengarang cerita bebas. Walaupun pelajaran anak SD sebenarnya tidak terlalu sulit, tapi sebelum mengajar setidaknya aku harus mempelajari materi yang akan diajarkan. Dan tadi, aku benar-benar tidak memiliki waktu untuk melakukannya. Jadi yang kulakukan memberikan mereka tugas. “Yang sudah selesai dan berani membaca karangannya di depan kelas, nanti Ibu kasih hadiah,” lanjutku. Seketika suasana tampak gaduh, ada yang berteriak belum selesai, ada yang berbisik-bisik dan beberapa tampak tidak peduli. Sekelebat sosok tiba-tiba terlihat melewati pintu kelas. Aku terdiam beberapa saat, sepertinya aku kenal dengan sosok yang baru lewat itu. Seperti tidak terjadi apa-apa, aku berjalan dengan perlahan menuju pintu. Dari balik pintu, aku masih bisa melihat punggung orang itu. Wajahnya berbalik seperti tahu aku sedang menatap punggungnya. Bocah pelit itu!!! Dia menghentikan langkahnya dan terus menatapku dengan wajah bingung. Buru-buru aku memalingkan wajahku dan menghilang dari balik pintu. Aneh, kenapa aku malah bersembunyi. Memangnya aku sedang melakukan kesalahan? Ada urusan apa si Pelit itu ke sekolah ini? Jangan­-jangan dia sedang melamar agar bisa diterima magang di sekolah ini. Kalau memang benar, aku akan mencari cara agar dia nggak bisa diterima di sini. *** Aku keluar dari pintu gerbang sekolah setelah sebelumnya bertemu dengan Ibu Amara. Dia berjanji akan mempertimbangkan agar aku bisa mengajar di sekolah ini setelah lulus nanti. Yang artinya masih dalam jangka waktu yang lama. Mengingat bayangan bagaimana lulus kuliah itu masih samar di pikiranku. “Ka...kamu, ngapain di sini?!” aku tersentak kaget. Si Pelit Bima berdiri bersandar di gerbang sekolah. Dengan gaya yang seolah-olah sedang menunggu pacarnya pulang sekolah. “Seharusnya aku yang tanya, ngapain kamu di sekolah ini,” jawabnya dengan wajah datar. Apa-apaan pertanyaannya, sudah jelas aku mengajar tadi. “Aku baru pulang sekolah,” jawabku asal. Bima tersenyum kecut mendengar jawabanku. “Kamu nungguin pacarmu ya?” tanyaku usil. Melihat wajahnya yang masih imut, lelaki ini masih cocok memiliki pacar anak SMA. “Enak saja!” katanya sambil menggerutu. “Ya sudah deh, aku mau pulang dulu kalau gitu,” kataku akhirnya setelah lelah berbasa-basi. “Nggak bawa kendaraan?” tanyanya. Aku menggeleng sambil pandanganku tetap fokus pada jalan raya, menunggu angkot yang lewat. “Atau...kamu mau antarin aku pulang?” usulku tiba-tiba. “Bukannya kemarin kamu pengen antarin aku pulang? Sekarang saja boleh?” godaku. “Boleh,” jawabnya singkat. Bocah ini benaran serius?! Dia kemudian berjalan menuju mobilnya yang diparkir di seberang jalan. Aku melirik ke kiri dan ke kanan dengan bingung. Ya sudah, mumpung dapat tumpangan gratis. “Kalau aku ketiduran, bangunin saja kalau sudah sampai jalan Senopati,” kataku sambil duduk manis di sebelah Bima. Dia berguman tidak jelas. Aku memang memiliki kebiasaan akan tertidur jika berada di mobil, beda halnya jika aku yang menjadi sopir. Alunan lembut lagu klasik terdengar perlahan dan membuat mataku semakin berat. Semalam aku tidak bisa tidur dengan benar karena di rumah terlalu ramai. Apalagi nanti jika sampai ke rumah, aku pasti disuruh ini dan itu, terutama mengurusi Tuan Putri yang mau menikah itu. Di alam mimpiku, rasanya seperti ada elusan lembut di rambut dan wajahku. Saking lembutnya seperti angin sepoi-sepoi. Aroma pepohonan dan rumput tercium jelas, sepertinya aku sedang berada di taman rumput. Semakin lama, embusan napasku terasa panas. Seperti ada hawa panas menyentuh wajah dan berhenti di bibirku dengan pelan. Saat aku membuka mataku, yang terlihat wajah Bima berada sekian milimeter dari wajahku sampai aku tidak bisa melihat apapun selain wajahnya. Dan bibirku sedang diciumnya dengan sangat pelan. Aku mendorong tubuhnya. “Bukkkk!” kali ini aku menonjok wajahnya. “Buuukkkk!!” sekali lagi menonjok wajahnya.(*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN