2. Ribet Banget

1011 Kata
Aku tidak pernah suka jika harus mengulang mata kuliah. Yang pertama, tentu saja bosan mempelajari hal yang sama dalam waktu berturut-turut. Kedua, menghadapi tatapan teman sekelasku yang sebagian besar adalah adik tingkatku. Walaupun sebenarnya aku sudah lumayan kebal untuk hal itu. Di saat teman-teman seangkatanku sudah banyak yang lulus, hanya merekalah teman-teman yang bisa kuminta contekan saat ujian. Semuanya terasa menyebalkan saat mata-mata penuh rasa ingin tahu itu memindai dari kepala hingga ke kaki, seolah aku adalah makhluk aneh yang nyasar. Menjadi bahan perhatian adalah hal yang paling kubenci. “Di sini ada orang nggak, Mbak?” Seorang lelaki berwajah imut berbicara padaku sambil menunjuk kursi disebelahku yang kosong. Huh, lagi-lagi dipanggil mbak. Apa wajahku terlihat tua? “Nggak ada,” sahutku cuek sambil menatapnya sekilas. Dia menarik kursi di sebelahku dan beberapa detik kemudian tampak sibuk mengeluarkan setumpuk buku dan beberapa alat tulis. Yang terjadi selanjutnya, dia membuka lembar demi lembar buku tebal yang tadi dikeluarkannya dan tampak tidak mau diganggu. Astaga, bahkan dosen saja belum datang. Aku saja sampai lupa nama dosen yang mengajar di mata kuliah kali ini. Dari samping, wajahnya terlihat serius. Sesekali keningnya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku memiringkan tubuhku, mencoba mengintip buku apa yang sedang dibacanya sampai ekspresinya seperti itu. Sepertinya dia bisa dijadikan teman, lumayan buat dijadikan bala bantuan saat ujian nanti. Tampangnya saja seperti mahasiswa jenius dengan IP nyaris sempurna. Good! Aku akan mencari cara agar bisa memanfaatkannya. “Ehem...bukunya kamu beli dimana ya?” tanyaku basa-basi. Dia menoleh, wajahnya seperti tidak senang. Keningnya berkerut dan dia menatapku dengan tajam. Oke, aku memang salah karena telah mengganggu waktunya yang sangat berharga itu. “Di perpustakaan banyak kok,” jawabnya sambil kembali melanjutkan membacanya. “Kok aku nggak pernah lihat ya,” kataku lagi. Bagaimana mau lihat, ke perpustakaan saja nggak pernah kulakukan. “Tanya saja sama yang jaga.” Kali ini dia menjawab tanpa memalingkan wajah dari buku. “Aku boleh pinjam dari kamu saja?” pintaku dengan nada memelas. Sebenarnya aku nggak terlalu minat sama buku yang dibacanya, apalagi sampai berniat mau meminjamnya. Aku cuma ingin sok akrab dengan lelaki imut ini, biar dia nggak pelit bagi kunci jawaban saat ujian nanti. “Aku belum selesai baca,” jawabnya. Dia kemudian meletakkan bukunya di meja. Awalnya kukira karena dia ingin mendengarkan obrolanku, tapi rupanya dosen di depan sana yang menjadi alasannya. Selanjutnya yang terjadi adalah kalimat demi kalimat yang diucapkan dosen seperti gelembung-gelembung udara yang menguap entah kemana. Aku sampai lupa, sebenarnya mata kuliah apa yang sedang kuikuti. Di saat kesadaranku hampir hilang karena kantuk yang menyerang, pandanganku teralihkan dengan apa yang dilakukan lelaki di sebelahku ini. Gerakan tangannya terlihat terampil menulis setiap perkataan yang diucapkan dosen, bahkan tulisannya terlihat rapi walaupun dilakukan dengan tergesa-gesa. Aku harus meminjam catatannya! “Kita sekelas terus, kan?” tanyaku saat mata kuliah baru saja diakhiri. Sepertinya ada yang aneh dengan pertanyaanku. “Maksudnya?” Tuh benar, dia nggak ngerti. Dia tinggal menjawab pertanyaannyku dengan jawaban iya atau tidak. Semudah itu saja harus membuat keningnya berkerut. “Aku mau pinjam catatanmu, maksudku kalau minggu depan kita sekelas lagi, aku bisa kembalikan catatannya,” kataku sambil nyengir. Dia menatapku dengan wajah bingung. Apa aku terlihat sangat bodoh dimatanya, sampai untuk meminjamkan catatan saja dia tampak ragu. “Aku nggak kenal sama kamu,” katanya tiba-tiba. Duh, kenapa sih nggak diiyakan saja permintaanku. Aku juga nggak kenal sama kamu, tapi nggak ada salahnya kalau saat ini aku sok akrab kan? “Ya sudah, aku Anaya. Panggil saja Aya,” kataku sambil mengulurkan tangan. “Bima.” Dia mengulurkan tangannya dengan ragu. “Aku pinjam catatanmu ya, minggu depan aku kembalikan.” Aku segera mengambil buku catatannya tanpa menunggu dia mengatakan iya atau tidak. “Eh...Mbak!” serunya kaget. Padahal tadi sudah kenalan, masih saja memanggilku dengan sebutan Mbak. “Namaku Aya,” kataku menegaskan. “Oke, gini Naya. Aku minta nomor ponselmu. Siapa tahu saja minggu depan kita nggak bertemu,” katanya sambil menatapku. Lelaki ini sepertinya sedikit pelit. Dan aneh, kenapa dia memanggilkan Naya, bukan Aya seperti yang kusebutkan tadi. “Oh boleh,” kataku bersemangat sambil menyebutkan nomor ponselku. Sesuai rencana, aku bisa menerornya setiap saat kalau begitu. “Telepon aku, biar aku juga punya nomormu.” Aku tersenyum licik. Bima menatapku dengan jengah, apa pun yang ada di pikirannya saat ini, aku tidak peduli. Sudah lama juga sepertinya aku tidak punya teman sesama anak kuliahan seperti ini. Teman-teman seangkatanku kebanyakan sudah bekerja dan kalaupun ada yang masih kuliah, nasibnya pasti sebelas dua belas sepertiku. Ke kampus cuma buat mengulang mata kuliah dan sesekali bertemu dosen untuk bimbingan skripsi. “Makasih banyak ya, minggu depan aku kembalikan,” kataku bersemangat sambil melambaikan tanganku pada Bima. “Tapi kamu benaran mahasiswi kampus ini?” Tanganku ditarik tiba-tiba sebelum aku berhasil beranjak pergi. “Wajahmu asing,” lanjutnya. Aku tersenyum masam dan kemudian membongkar tas ranselku. “Ini Kartu Mahasiswaku kalau kamu nggak percaya,” aku menyerahkan selembar kertas lecek yang kukeluarkan dari dalam tas. Bima membacanya dengan serius. “Pantasan, angkatan tua,” gumannya pelan tapi pendengaranku masih baik untuk menangkap kata-katanya. “Memang!” sahutku sambil nyengir. “Ya sudah, aku duluan ya. Sampai jumpa minggu depan,” kataku. “Aku antarin.” Bima menyejajari langkahku. “Antarin kemana? Ke parkiran? Aku bisa sendiri kok.” “Antarin kamu pulang ke rumah,” sahutnya tanpa ekspresi. Bolak balik aku menatap wajahnya, ternyata dia benar-benar serius. Atau...jangan-jangan ini semua hanya taktiknya agar dia tidak kehilangan jejakku. Dasar lelaki pelit! “Aku bawa kendaraan sendiri,” jawabku sambil tersenyum. “Aku ikutin kamu dari belakang,” katanya dengan nada yakin. Aku melongo. Ternyata perhatian dan pelit itu beda tipis. Padahal aku tidak akan membawa kabur buku catatannya, aku lumayan bertanggung jawab untuk hal seperti ini. “Kalau gitu, nggak jadi deh pinjam bukumu. Ribet banget,” kataku sambil mengeluarkan kembali buku catatannya. “Aku pulang dulu ya, nggak perlu diantar,” aku menyerahkan buku catatan tadi padanya. Kemudian tanpa menoleh lagi, berjalan meninggalkannya. Nggak jadi deh cari teman pintar, ribet kalau dapat yang pelitnya nggak ketulungan. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN