"Reya Anggun Kinanti?"
Suara itu berasal dari pria berkemeja biru tua yang mendekat cepat ke arah lobi. Reya mengangguk dengan cepat, berdiri dari tempat duduknya, menyeka tangannya di rok panjang yang mulai kusut.
"Iya, saya," sahutnya cepat.
"Ayo ikut saya," kata orang itu singkat. "Saya Satrio, tangan kanan, asisten, orang kepercayaan Pak Barat." Satrio katakan dengan sedikit bercanda agar Reya bisa lebih santai.
Reya tersenyum kecil, kata-kata itu memang membuat ia sedikit lebih tenang.
Mereka melangkah cepat menyusuri lorong berlantai marmer. Suara sepatu beradu dengan lantai terdengar nyaring di lorong kaca yang dipenuhi tanaman kecil. Kantor ini terlalu bagus untuk dirinya, pikir Reya. Terlalu dingin, terlalu elegan, terlalu jauh dari dunia Reya yang penuh bau obat-obatan di rumah sakit dan nasi bungkus hemat lima ribu.
"Tenang aja, Bapak orangnya nggak galak, tapi memang lebih banyak diam. Kamu jawab aja sejujurnya nanti." Satria katakan mencoba menenangkan.
Reya hanya mengangguk. Langkahnya mulai pelan. Detak jantungnya semakin tidak teratur saat Satrio berhenti di depan pintu besar abu-abu gelap dengan ukiran kecil di sisi pegangan, pria itu lalu mengetuk pintu.
"Masuk." Suara berat terdengar dari dalam, terdengar dari balik pintu yang perlahan dibuka Satrio.
Barat duduk di belakang meja kerjanya, dengan pemandangan jendela lebar yang menampilkan langit kota Jakarta sore ini. Jas hitam, rambut sedikit acak, dan tatapan mata yang tajam.
"Pak, ini Reya," ujar Satrio.
Barat mengangkat kepalanya sekilas. Tatapannya menelusuri Reya dari ujung kepala hingga kaki. Tak ada senyum, hanya mengamati.
"Hmm."
Reya menunduk cepat, tak berani menatap lebih lama. Rasanya ia sedang dinilai dari segala sisi, pakaian, postur, bahkan mungkin keberanian. Ia bisa mencium aroma parfum lelaki itu dari tempatnya berdiri.
Satrio melanjutkan, "Untuk sementara Reya, kamu akan jadi asisten. Tugasnya bantu urusan administrasi, jadwal, dokumen pribadi. Tapi kalau performanya bagus, tidak menutup kemungkinan naik jadi sekretaris. Pak Barat sudah lihat nilai kamu, IPK kamu bagus."
Reya langsung membuka note kecil lusuhnya dan mencatat semua dengan cepat. Tangannya gemetar sedikit, tapi ia berusaha menulis dengan huruf tegak bersambung.
"Kamu biasa pakai catatan manual?" tanya Satrio terkejut.
"Iya, Pak," jawab Reya, "Biar gampang nginget."
Barat menatap ke arah note Reya. Lalu, dia mengangguk tipis.
"Kalau gitu kamu bisa langsung tanya semua ke Pak Barat." Satrio memberitahu Reya. Kemudian ia berpamitan. "Saya permisi Pak."
Satrio mengangguk sopan lalu menutup pintu di belakangnya. Reya kini sendirian bersama lelaki yang bahkan belum ia kenal baik namanya dua hari lalu, tapi kini jadi atasannya.
Barat menyilangkan tangan di d**a. "Saya cuma mau tanya satu hal." Suaranya tenang. "Kemarin alasan kamu kerja di sini?"
Reya mengangkat wajahnya pelan. Ini pertanyaan yang membuatnya harus telanjang bukan secara fisik, tapi secara perasaan.
"Saya butuh uang, Pak." Ia menelan ludah. Suaranya mulai gemetar. Tapi ia melanjutkan. "Ayah saya sakit kanker. Stadium akhir. Saya kuliah juga. Dapat beasiswa, tapi untuk biaya sehari-hari saya harus cari sendiri. Saya butuh kerja ini. Bukan cuma buat saya, tapi buat beliau."
Sunyi, Barat menatap Reya cukup lama. Lalu mengangguk pelan.
"Baik."
Satu kata itu membuat reya jauh merasa lebih baik. Seolah barat menerimanya.
"Kamu harus siap, kadang saya kerja sampai malam. Saya butuh asisten yang tahan banting." Barat katakan Dnegan tenang tanpa ekspresi berarti.
Reya tersenyum lebar, tatapan matanya berbinar. "Siap, Pak! Saya janji akan lakukan yang terbaik buat Bapak."
Ada jeda sebelum Barat berbicara lagi. "Kemeja kamu—"
Reya langsung menoleh ke arah dirinya sendiri. Ia refleks menarik bagian bawah kemeja agar tidak terlalu menonjolkan perutnya yang membulat.
"ketat," lanjut Barat.
Reya menunduk. Pipi gembulnya memanas. Ia sudah tahu dari pagi tadi bahwa baju ini tidak nyaman, tapi ia hanya punya ini.
"Maaf pak ini baju lama saya, Pak. Badan saya sekarang lebih besar, jadi agak pas."
Barat membuka laci mejanya. Mengambil satu amplop putih, lalu meletakkannya di atas meja. "Ini bonus awal dari saya. Pakai untuk beli baju kerja yang layak."
Reya terperangah. Ia menatap amplop iyy. "Pak. ini terlalu banyak."
"Ambil aja. Anggap ini penunjang kamu kerja."
Dengan tangan gemetar, Reya mengulurkan tangan dan mengambil amplop itu. Isinya terasa tebal. Ia menunduk sopan. "Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak. Saya nggak akan sia-siakan ini. Saya akan kerja dengan baik."
Barat tidak menjawab, hanya mengangguk tipis lalu kembali menatap layar laptopnya. Tanda bahwa obrolan selesai. Reya pamit, membungkuk, dan keluar ruangan. Di luar, napasnya ia hembuskan panjang. Tangannya masih menggenggam amplop putih itu erat-erat.
Di halte bus sore itu, Reya duduk sambil menatap isi amplop. Uang itu cukup untuk beli tiga baju kerja baru. Empat, kalau ia pintar memilih.
Ia menatap bayangan dirinya di kaca jendela bus yang datang. Hari ini awal baru, pikirnya. Untukku. Untuk bapak. Dia menaiki busway dengan semangat baru, menggenggam harapan di satu tangan, dan impian di tangan lainnya.
Besok, dia akan kembali. Dengan kemeja baru, semangat baru, dan reya percaya kalau masa depan akan sedikit lebih terang.
Langkah Reya terasa ringan sore itu. Dari halte bus, ia menyusuri trotoar dengan tas belanjaan di tangan kiri dan plastik kecil berisi kotak nasi serta roti di tangan kanan. Wajahnya berseri, meski matahari mulai condong ke barat dan udara Jakarta terasa pengap. Tapi hati Reya sejuk, seperti baru diguyur hujan deras setelah lama kering.
Tadi, usai keluar dari kantor Pak Barat, ia tak langsung pulang. Amplop putih itu masih ia genggam seperti jimat. Ia membuka perlahan saat duduk di bangku taman kecil dekat halte menatap lembaran uang di dalamnya dengan mata berkaca, cukup. Bahkan lebih dari cukup untuk ukuran Reya.
Tanpa banyak mikir, ia langsung naik angkot menuju pusat grosir. Tempat para pekerja kantoran dengan dompet cekak biasa mencari pakaian. Reya menyusuri rak demi rak, mencoba beberapa kemeja yang longgar di bagian perut, dengan bahan yang adem. Ia membeli tiga—warna putih, biru muda, dan satu kemeja krem dengan motif garis halus. Lalu dua bawahan hitam satu rok, satu celana panjang.
Beberapa baju tambahan ia beli lewat aplikasi—karena lebih murah dan bisa pilih ukuran besar. Ia cek review dulu sebelum klik 'beli', seperti biasa teliti dan hemat.
Masih tersisa sedikit uang di tangannya. Ia menatapnya sambil berpikir. Haruskah ditabung? Tapi kemudian ia teringat seseorang —Bapak.
Reya mampir ke toko roti langganannya di pinggir jalan. Tempat kecil, dengan etalase yang setengah kosong menjelang malam.
"Satu roti keju ya, Mbak," ujarnya semangat. "Yang lembut itu, yang biasa saya beli dulu."
Penjual tersenyum, mengangguk. "Lama nggak kelihatan, Mbak."
"Iya, tadi habis keterima kerja. Jadi bisa ke sini lagi," jawab Reya malu-malu.
Setelah dari sana, ia ke warung makan kecil dan membeli satu bungkus nasi ayam goreng untuk bapaknya. Yang masih hangat, dibungkus rapi ia tak sabar membawanya ke rumah sakit.
Hari ini bukan nasi goreng lima ribu di kantin karyawan. Bukan lagi sisa keripik atau roti tawar dengan teh panas. Hari ini, ada ayam goreng untuk bapaknya. Dan roti keju, itu cukup untuk membuat Reya merasa bahagia.