LC 2

1142 Kata
"Udah makan, Bar?" suara Karina terdengar begitu perhatian saat mendengar langkah Barat masuk ke rumah besar mereka malam itu. Barat mengangguk, melepaskan jasnya dan menggantungnya rapi di belakang pintu. "Belum, Mi. Aku belum lapar juga." "Mami masak sup buntut. Kamu pasti suka. Coba cicip dikit dulu deh," Karina katakan sedikit memaksa sambil berjalan menuju meja makan yang sudah tertata rapi. Barat menyusul dengan langkah pelan, melepas jam tangan dan menyingsingkan lengan kemejanya. Udara rumah yang hangat membuat lelahnya sedikit menguap. Rumah itu tenang, seperti biasa, dan Karina, ibunya selalu jadi satu-satunya orang yang bisa membuatnya tetap merasa memiliki seseorang yang tulus padanya. "Sibuk banget ya hari ini Nak?" tanya Karina sambil menuangkan sup ke mangkuk. "Lumayan lah mi, tapi udah kelar semua," jawab Barat. Ia kini duduk, memandangi ibunya sejenak sebelum mengambil sendok. Karina tersenyum. "Asistennya udah dapat, kan?" Barat mengangguk. "Udah." "Baguslah kalau gitu. Perempuan?" "Hmm." "Cantik?" Barat mendengus kecil. "Biasa aja, enggak cantik, gendut malah." Karina mengangkat alis, lalu tertawa pelan. "Kamu ini gak milih cantik aja? Yapi yang penting kerjanya bagus, kan Bar?" Barat mengangkat bahu. "Belum tahu. Tapi kayaknya bisa diandalkan nilainya bagus, secara jawaban juga jujur, gesture nya anak baik-baik ." "Yang penting kamu cocok kerja sama dia." Barat tidak menjawab, iaa sibuk meniup sendok berisi sup panas itu lalu menyeruputnya pelan. Karina memperhatikannya sesaat, lalu membuka pembicaraan yang sudah ia simpan sejak siang. "Mami sempat ketemu Tania tadi di acara sosial. Cantik banget deh, mami suka sama dia. Tania anaknya Pak Hartono itu lho Bar." Barat hanya mengangguk singkat. Karina menghela napas. "Kamu tuh udah umur berapa sekarang? Tiga puluh empat? Mami tuh khawatir. Kamu gak pernah pacaran. Gak pernah keliatan deket sama siapa pun." Barat mendongak. Tatapannya datar. "Mi, aku bukan gak mau, aku cuma males aja." "Males gimana?" tanya Karina heran. "Iya gitu mi, kenalan sama perempuan itu ribet. Harus ngobrol basa-basi, dengerin hal-hal yang gak penting, ajak jalan, beliin ini itu. Buang-buang waktu, mending kerja." Karina mendecak pelan. "Kamu tuh Bar, kalau terus kerja, terus kapan nikahnya? Kapan punya anaknya? Cucu buat Mami?" "Mami bisa beli boneka bayi kalau cuma butuh cucu," jawab Barat datar, membuat Karina memukul pelan lengannya dengan sendok. "Bercanda terus. Mami serius, Bar, besok Mami ajak kamu makan malam sama Tania, ya? Sekalian silaturahmi. Mami gak akan maksa, cuma makan malam aja." Barat diam sejenak. Wajahnya tak menunjukkan ketertarikan atau penolakan. "Ya udah, tapi jangan suruh aku ngobrol yang aneh, atau basa basi aku gak suka." "Janji." Karina tersenyum lebar, puas. "Pokoknya Mami nanti yang atur semuanya." Barat hanya mengangguk lagi. Tapi pikirannya sedikit melayang, Tania. Perempuan mungil, anggun, dan pastinya sempurna di mata ibunya. Cantik memang, tak bisa dipungkiri. Tapi tak ada perasaan apapun saat ia mendengarnya disebut. Barat memalingkan wajah dan meneguk air mineral dari gelasnya. Dia menyalahkan rasa lelah karena pikirannya jadi melantur. Tapi dalam diamnya, sebuah kesadaran kecil mulai tumbuh perlahan. Makan malam dengan Tania, 0asti akan menyenangkan makan bersama perempuan secantik Tania. *** "Nak, gimana hari ini?" tanya Karyo dengan suara lemah tapi penuh perhatian. Wajahnya pucat, kulitnya makin kendur karena perawatan intensif yang terus dijalani. Namun sorot matanya tetap penuh kasih sayang dan kecemasan. Reya duduk di sisi ranjang rumah sakit itu. Rambut panjangnya ia cepol sederhana, sisa-sisa makeup dari pagi sudah luntur. Tapi senyumnya masih hangat, seperti biasa. "Hari ini aku coba ngelamar kerja, Pak." "Oh ya?" Karyo mencoba duduk sedikit tegak, meski akhirnya hanya bersandar pada bantal. "Iya ada lowongan kerja di perusahaan besar Pak. Aku ngelamar jadi asisten. Siapa tau bisa sambil kuliah." Reya menatap ayahnya, lalu tersenyum kecil. "Doain aku ya, Pak." Karyo menggenggam tangan Reya. Tangannya dingi, tapi genggamannya masih mencoba menguatkan Reya. "Maaf ya, Nak. Bapak belum bisa jadi bapak yang baik buat kamu." Reya menggeleng cepat. "Bapak jangan ngomong kayak gitu. Aku bahagia kok punya bapak kayak Bapak. Selalu usahaim apapun. selalu ada." Suaranya serak menahan tangis. "Tapi kamu yang selalu susah payah kuliah, jagain bapak, kerja, semuanya kamu sendiri." "Bapak jangan mikirin itu. Sekarang yang penting bapak istirahat, biar sembuh. Aku gak mau mikirin apa-apa selain liat bapak sehat lagi." Sunyi sesaat terdengar hanya suara mesin infus dan aroma khas rumah sakit yang menemani mereka. Reya menunduk, mencium tangan bapaknya, menahan tangis yang hampir jatuh. Pagi harinya, Reya terbangun lebih dulu dari bunyi jam weker. Ia tidur di sofa kecil yang disediakan untuk penjaga pasien. Rambutnya berantakan, tapi wajahnya segar setelah cuci muka dan mandi di kamar mandi umum rumah sakit. Ia punya rumah kontrakan yang tak pernah dikunjungi, terllau sibuk dengan pekerjaan sampingan, kuliah dan menjaga Karyo. Ia duduk di tepi ranjang Karyo, yang masih tertidur. Lalu mengeluarkan roti dan s**u kotak dari tas kain lusuhnya. "Bapak," bisik Reya sambil menyentuh pelan tangan ayahnya. Karyo membuka mata perlahan. "Udah pagi, nak?" "Iya, kita sarapan dulu, Pak. Nih, aku bawa roti dua. Kita bagi berdua ya. Biar hemat nanti bapak pagi makan lagi ya." Reya berpikir masih ada jam sarapan. Ayahnya bisa makan lagi nanti. Mereka makan dalam diam. Hening, tapi hangat. Ada rasa syukur dalam tiap gigitan roti itu, meski sederhana. Setelah memastikan ayahnya makan obat dan beristirahat, Reya buru-buru berangkat ke kampus. Ia hanya punya cukup waktu buat satu jam perkuliahan hari ini. Tapi ia tetap berangkat karena baginya, menyelesaikan kuliah adalah bentuk rasa terima kasih pada ayahnya yang sudah berjuang sejauh ini. Di kampus, Reya duduk di pojok kelas seperti biasa. Ia tidak banyak bicara. Tidak punya banyak teman, tapi wajahnya terlihat cerah hari ini. Ada harapan dalam hati dan pikirannya, kalau dapat kerja, beban hidup mereka bisa sedikit berkurang. Saat istirahat, ia membuka laptop pinjaman kampus dan mengecek email. Tiba-tiba matanya melebar. From: Amore Corp HR Subject: Interview Result – Assistant Position Tangannya gemetar saat membaca isi email itu. Nafasnya tercekat. Selamat! Anda dinyatakan diterima untuk posisi asisten di Amore Corp. Mohon datang ke kantor hari ini pukul 13.00 untuk penandatanganan kontrak dan pengarahan pertama. Reya menutup mulutnya dengan bibirnya yang terbuka, seolah tak percaya. Jantungnya berdetak kencang. Ia menatap layar laptop itu lama sekali. Ini beneran? "Aku diterima." bisiknya sendiri. Tanpa menunggu lebih lama, ia buru-buru menutup laptop lusuhnya, mengemasi buku dan catatan, lalu keluar kelas. Di depan kampus, ia menunggu bus sambil terus mengecek email itu lagi dan lagi. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung mendekati ranjang Karyo yang sedang tidur. "Bapak." Reya menepuk lembut tangan ayahnya. Karyo membuka mata, kali ini lebih cepat dari tadi pagi. "Hm? Kamu udah pulang, Nak?" "Pak, aku diterima kerja!" Reya langsung memeluk ayahnya. Air matanya jatuh pelan, bukan karena sedih. Tapi karena haru dan bahagia. "Syukurlah nak." Karyo mengelus rambut Reya. "Bapak bangga banget sama kamu." Reya tersenyum. "Aku harus berangkat lagi siang ini ke kantornya. Tapi aku seneng banget, Pak. Ini langkah pertama aku buat bantu bapak, buat masa depan kita buat biaya bapak ya pak." Karyo menatap putrinya itu, dan dalam hati ia mengucap doa yang panjang. "Aamiin nak, aamiin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN