Bosan
"Antrean nomor sembilan."
Aku mengulang kembali memanggil nomor terakhir untuk kerjaku hari ini. Seperkian menit menunggu, tak ada yang mendekati meja karcis. Aku lantas berdiri kemudian melangkah ke pintu utama puskesmas. Kuedarkan pandangan di luar bangunan yang mulai sepi. Jam besar berbentuk oval di dinding sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Itu artinya tugasku hari ini sudah selesai.
Aku beralih mendekati meja kerjaku, merapikan tumpukan-tumpukan kertas medical record para pasien, ada juga kertas pendaftaran serta pulpen dan potongan karton karcis yang seharusnya bukanlah tugasku.
[Makan Yok]
Sebuah pesan singkat dari Agus, cepat kubalas
[Ayok, warung simpang, ya]
Aku lekas membalasnya sembari membayangkan kelezatan sepiring nasi dengan tumpukan lauk kesukaanku.
[Siip, tunggu lima menit lagi]
Ah, senangnya punya teman seperti Agus, benar-benar tahu seleraku. Jarang sekali dia menolak atau pun tak setuju dengan kemauanku. Di mataku Agus adalah cowok bertampang pas-pasan, sedikit pelit, lumayan cerewet, penuh pengertian dan setia kawan.
Aku ingat ketika pertama kali bertemu Agus. Saat itu aku bertanya ruangan bersalin kebidanan. Sebagai tenaga kerja baru di sini, aku memang belum tahu seluk beluk ruangan di puskesmas. Agus yang saat itu dengan ramah memberitahuku, dia juga mengajari berbagai macam tugas yang harus aku kerjakan.
"Ayo," ajak Agus.
Entah sejak kapan laki-laki dengan potongan rambut cepak itu berdiri tak jauh dari meja kerjaku.
"oke," ucapku sambil meraih tas.
"Cie, mau ke mana nih dua sejoli?
Kakak nitip es campur dong." Kakak Rima bagian apoteker puskesmas datang dari balik pintu apotek.
"boleh, mau nitip berapa, Kak?" ucapku sambil melangkah mendekatinya.
Agus sudah berlalu ke parkiran sedangkan aku masih menunggu Kakak Rima mengambil uangnya. Terkadang Agus suka menghindar bila ada yang meledeki kedekatan kami. Sementara aku sendiri tak ambil pusing dengan hal remeh temeh seperti itu. Bagiku mereka hanya bercanda karena di puskesmas ini kami memang terlihat akrab. Toh, tidak ada salahnya dengan omongan mereka. Lagi pula bisa stres kalau selalu merisaukan omongan orang, iyakan?
Motor yang dikendarai Agus melaju pelan, sekitar lima belas menit kami sampai di warung favorit pencinta nasi padang.
Warung yang sederhana milik Uda Ujang mulai dipadati pengunjung. Kami beruntung masih ada sebuah meja lesehan tampak kosong tak bertuan di pojok belakang.
Penataan yang tepat menjadikan warungnya semakin favorit dengan meja kursi disekat partisi, terasa nyaman sekali. Selain sambal ijo yang terkenal enak, tempatnya juga bersih menjadikan aku dan para pegawai yang lain suka makan di sini.
"Gila ya, Lis aku enggak nyangka Ibu yang pake jilbab hitam tadi TBC," kata Agus, yang kini duduk di sampingku setelah mengambilkan dua botol teh dingin.
"Biasa aja, cerita yang lain aja, Gus." Aku menjawab sekenanya, lagi pula Agus kenapa juga berbicara tentang penyakit saat menghadap makanan. Bukan tidak boleh, tetapi aku ini jenis orang yang suka langsung terbayang segala macam penyakit.
"Ya, enggak biasa dong, Lis. Ini puskesmas level kecamatan. Kalau dalam satu bulan ada kasus yang sama sampai empat atau lima warga yang kena TBC. Harus ditanggapi serius."
"Tuh, kan, jadi panjang ceritanya." Aku meresponsnya dengan malas.
"Gimana kalau kamu ikut aku, Senin besok kita turun ke lapangan?"
"Hah, emang boleh aku ikutan?"
"Ya, bolehlah. Kita kasih edukasi, sama sembako dan obat-obatan, kok. Sambil jalan-jalan door to door beberapa rumah pasti seru." Agus tersenyum kedua alisnya naik-turun menunggu komentarku.
Aku mengalihkan pandangan ke luar warung, tak habis pikir dengan ide konyol yang tiba-tiba muncul di kepala Agus. Mana mungkin aku turun ke lapangan, mengetuk pintu rumah warga, lalu mengoceh panjang kali lebar. Sedangkan warganya sendiri cuma bilang "Iya" tetapi tidak dilaksanakan. Aku paham betul rata-rata sifat warganya, walaupun baru enam bulan menepati desa ini. Lagi pula, warga di sini juga tidak menganggap tenaga kesehatan sebagai satu-satunya jalan mencari kesehatan, mereka lebih banyak mendatangi dukun atau pun tanaman-tanaman herbal yang dipercaya turun-temurun. Terkadang memang menyebalkan susah payah kita beri penyuluhan malah diabaikan. Sebut saja misalnya kasus demam berdarah degue, upaya kita sebagai tenaga kesehatan mencegah penularan nyamuk dipandang tidak terlalu penting. Kadang ada diantara mereka berpikir bahwa kalau sudah sakit, ya sakit.
"Enggak bosan ya, liat angka karcis?" Pertanyaan Agus membuyarkan lamunanku yang melantur kemana-mana, dia mulai meledek posisiku.
"Mau sih, tapi."
"Eh, siapa tahu kan kecantol anak warga sini. Iya, kan?" Aku mencoba memberi alasan tetapi Agus malah meledekku lagi.
"Enggak jadilah, Lis. Cowok-cowok di sini tuh, jarang yang seumuran dengan kamu, Lis. Mereka masih muda udah pada nikah. Lagian mereka pasti keder duluan sama kamu. Kasihan kamu Lis, percuma cantik, berpendidikan tapi enggak laku-laku," sambung Agus lagi tanpa melihat ekspresiku.
"Agus lemooos!" teriakku. Spontan tanganku ikut melemparkan tisu bekas yang ada dipiring. Tuh, cowok benar-benar mulutnya ya.
"Pokoknya besok ikut. Biar aku yang ngomong sama Kak Mita."
Aku belum sempat menjawab tetapi Agus sudah beranjak mendekati Uda Ujang. Dan entah kenapa tiba-tiba tatapanku mengikuti langkah cowok penyuka warna hitam itu. Lamat-lamat aku memperhatikannya mencoba menerka-nerka apakah dia menyukaiku? Kenapa dia mudah membantuku dengan suka rela. Aku juga tak pernah melihatnya mendekati cewek atau pun mendengar dia bercerita tentang cewek yang ditaksirnya. Entahlah, yang pasti hari ini aku senang karena dia mentraktirku. Aku bisa berhemat karena awal bulan masih lama, lumayan 'kan?
Sebagai anak kos aku memang harus pintar-pintar mengatur keuangan. Walaupun mama masih mengirimkan uang jajan setiap bulannya. Tetap saja aku merasa tidak enak masih merepotkan mama.
"Udah ngelamunnya woy. Jodoh masih jauh hahaha." Agus berlalu sambil menenteng tas punggungnya.
Astaga Agus nyebelin sih, tetapi cuma dia mau bersahabat denganku. Yang manut kuajak ke sana- sini. Aku diam mengekori Agus sampai ke parkiran, saat menaiki motor, aku baru ingat titipan Kakak Rima.
"Gus, aku beli titipan Kak Rima, ya," ucapku sebelum Agus memasang helmnya.
"Ya, udah, aku tunggu di sini."
Baru beberapa melangkah Agus memanggilku lagi.
"Lis!" panggilnya sambil melambaikan tangan.
"Apa?" tanyaku setelah mendekatinya.
"Mau es campur juga enggak? Nih, beli enam buat di ruangan juga nanti." Agus menyodorkan uang berwarna merah.
"Mimpi apa semalam, Gus? Tumben." Aku segera meraih lembaran merah itu. "Menang lotre, ya?" tanyaku lagi yang di akhiri cekikikan.
Selama menunggu es campur di bungkus, aku kembali mengingat kata Kak Rima, aku dan Agus cocoknya jadi sepasang kekasih. Sebenarnya, mereka tak salah karena kami memang begitu dekat, yang membuatku tak habis pikir bagaimana bisa mereka menuduhku memanfaatkan kebaikan Agus. Padahal baik aku maupun Agus tak ada yang merasa dirugikan dari kedekatan kami. Toh, Agus bahagia-bahagia saja mentraktirku, dia juga tidak pernah mengungkapkan perasaannya atau memberi kode-kode kalau dia menyukaiku.