01 ALERGI DINGIN

1228 Kata
Oceania Queen Dewi Samudera. Itu memang namanya tapi dia lebih senang dipanggil Dewi. Lebih Indonesia kalau dia bilang kepada semua orang. Dewi kini mendesah dan menatap pria yang tengah duduk di depannya. Tepatnya sedang menatapnya dengan dingin. Siapa lagi kalau bukan Satya. Pria yang dimintai tolong oleh Dewi. Dia memang sudah hampir putus asa saat tertinggal rombongan teman-temannya. Mereka ikut tour travel dengan ketiga temannya. Dewi salah satunya. Tapi sayang karena keterlambatan dia bangun akhirnya dia tertinggal dengan rombongan itu. Naik gondola dan tour ke beberapa kota lain di Italia setelah Venesia. Dewi memang sedikit ceroboh. Saking paniknya dia juga kehilangan dompet yang berisi uang dan juga identitasnya. Untung saja paspor dan yang penting lainnya ada di dalam tasnya bukan di dompet yang jatuh ke dalam air itu. "Enak. Ini seafood goreng ya kalau di Indonesia namanya Tempura." Dewi mencoba mencairkan suasana. Karena sejak membawa ke restoran Ini, Satya tidak menyentuh makanannya maupun mengajaknya bicara. Pria itu hanya memesankan makanan untuknya. Dewi takut kalau pria itu memang tidak bisa bicara bahasa Indonesia dengan lancar. Dewi juga ragu kalau pria di depannya itu memang asli orang Indonesia. Rambutnya saja berwarna coklat tua bukan hitam, hidungnya mancung, alis matanya tebal dan juga rahangnya kuat. Dewi begidik melihatnya. Dia tidak pernah membayangkan akan bertemu pria yang begitu....seperti replika patung Dewa Yunani. "Aku pergi." Tiba-tiba Satya beranjak dari duduknya. Membuat Dewi panik. "Eh.. lah kenapa pergi?" Satya kini menatapnya dengan kesal. Pria itu bahkan tidak repot-repot untuk menjelaskan kepada Dewi. Dia langsung berbalik dan meninggalkan Dewi begitu saja. "Eh Mas..Tuan..." Dewi bergegas berlari untuk menyusul Satya yang baru saja keluar dari pintu restoran. Langkahnya sungguh sangat cepat. Membuat Dewi terengah-engah saat berhasil menyusul. "Mas.. tunggu." Dewi mencoba menyentuh lengan Arkana tapi pria itu langsung mengibaskan tangannya lagi. "Don't touch me!" Satya menatapnya dengan galak. Membuat Dewi akhirnya beringsut menjauh. Dia paling tidak suka dengan pria-pria tipe begitu. Galak dan jutek. Akhirnya Dewi melangkah mundur secara teratur. Lalu membenarkan syal putih yang kini sudah melorot sepenuhnya. Membuat hidungnya memerah. Dia alergi terhadap dingin. Meski sudah dikatakan di Venesia sekarang sedang musim semi tapi dia memang tidak bisa beradaptasi dengan baik dengan udara selain di Indonesia. Kalau kata bundanya 'kamu itu emang gak bisa kemana-mana Cean. Asli Indonesia nduk, kulit kamu kulit pribumi.' "Ok. Aku tidak akan touch-touch you lagi." Dewi akhirnya mengatakan itu. Dia memang tidak ingin mendapatkan hardikan dari orang asing. Toh di sini dia juga sedang melarikan diri dari takdir hidupnya. Menikah dengan pria asing juga yang sudah dijodohkan kepadanya sejak lahir. Dia tidak mau karena pria yang dijodohkan dengannya juga tidak mau. Bahkan pria itu sudah lebih mempermalukannya. Karena setiap ada janji bertemu dengan kedua keluarga pria itu pasti tidak hadir. Hal itu membuat Dewi malu, dia seperti wanita menjijikkan bagi pria itu. Jadi Dewi bertekad di liburannya kali ini dia harus mendapatkan pria untuk dinikahinya. Selain pria yang sudah menjadi jodohnya sejak lahir itu. Satya menyipitkan matanya. Lalu kini bersedekap di depannya. "Apa maumu?" Pertanyaan itu membuat Dewi menghela nafas. Lalu memainkan topi rajut yang sejak tadi menutupi kepalanya. Kini topi itu sudah di pegangnya di tangan. Rambutnya yang hitam panjang tergerai begitu saja. "Cuma pingin naik gondola." Jawabannya itu malah membuat Satya makin menatapnya kesal. "Dengar ya. Aku tidak kenal denganmu. Sudah baik aku belikan makanan. Terserah kamu mau naik gondola atau mau terjun ke kanal sekalian aku tidak peduli." Dewi mengerucutkan bibirnya. Lalu tiba-tiba dia bersin. Lagi dan lagi. Membuat dia akhirnya menunduk untuk menutup hidungnya. Itu kenapa dia memakai jaket tebal, sarung tangan, syal san juga topi rajut. Karena dia benar-benar tidak bisa terpapar udara hangat sekalipun. Aneh memang kulitnya. Dewi sampai membungkuk dan kini mulai merapatkan jaketnya. Tapi bersinnya tak kunjung berhenti. Tiba-tiba tubuhnya sudah di angkat ke atas dan dia merasakan kehangatan melingkupi tubuhnya. Bahkan kini wajahnya sudah berada di lekuk lengan tegap pria itu. Dewi masih sesekali bersin tapi akhirnya berhenti. Dia tidak berani bergerak sedikitpun. Takut.  Dewi menghirup aroma cendana dari jaket yang terkena indera penciumannya. Dia tidak berani mengangkat wajahnya. Meski tahu siapa yang mendekapnya begini. "Aku antar ke hotel kamu. Menginap dimana?" Suara berat itu terdengar di telinganya. Untuk sesaat Dewi seakan ling lung. Dia terlalu nyaman di pelukan Satya. Pria yang tadi tidak mau di sentuh olehnya. "Hotel plaza." Akhirnya dia bisa menjawab. Saat tangan Satya melepaskan pelukannya. Dewi kembali bersin. Dia sungguh malu saat ini. Dengan cepat Dewi memakai topi rajutnya kembali dan memasang syal menutupi hidungnya. Satya menatapnya dengan datar. "Aku tidak perlu diantar. Aku ingat jalan ke hotel. Sekarang aku hanya ingin naik gondola." Dewi memang sangat ingin naik perahu itu. Ingin merasakan romantisnya naik gondola seperti di film-film. Setidaknya kalau dia harus segera pulang, tapi tidak mau melewatkan gondola itu.  Kali ini Satya menatapnya lekat. "Kamu alergi dingin." Dewi memberengut dan kini membenarkan syalnya lebih tinggi untuk menutupi wajahnya. Jadi yang terlihat hanya matanya saja. "Bukan urusanmu. Terimakasih sudah memberiku makan. Setidaknya beri aku alamat kamu di Jakarta. Nanti aku akan mengganti ongkos makan tadi. Itupun kalau kamu memang tinggal di Jakarta." Dewi mengutuki dirinya sendiri yang begitu lugas mengatakan itu. Dia memang tidak yakin Satya seperti dirinya hanya seorang wisatawan di kota ini. Karena dia tadi sempat mendengar Satya berbicara bahasa Italia dengan pemilik restoran. Tapi Satya tiba-tiba melangkah maju ke arahnya. Lalu menarik tangannya dan kini mengajaknya berjalan. "Eh jangan paksa aku." Dewi merasa tidak suka dipaksa begini. Dia ingin melepaskan tangannya dari genggaman Satya. Tapi pria itu terlalu kuat untuk dilawan. "Aku mau naik gondola saja." Ucapan Dewi berhenti saat Satya benar-benar mengajaknya ke tempat gondola disewakan. Dia bahkan mendengar Satya melakukan pembicaraan dengan pemilik gondola atau lebih disebut gondoler. Pria yang berseragam kaos berwarna putih hitam itu. Dan topi bundar warna hitam. Pemandangan itu banyak ditemui di Venesia ini. Sudah menjadi ciri khas mereka, dengan dandanan seperti itu. "Ayo." "Eh..." Dewi terkejut saat Satya tiba-tiba menarik dirinya untuk naik ke atas gondola. Menyuruhnya duduk lalu Satya duduk di sebelahnya. "Ini cuma berdua?"  Dewi menoleh bingung ke arah Satya yang tidak menatapnya sedikitpun. Sementara gondoler mulai menjalankan gondolanya. "Hatsyiiii.." Dewi kembali bersin di balik syalnya. Saat dia akan merapatkan syal yang melorot itu. Tangan Satya sudah terulur dan mendekapnya erat. Tentu saja mata Dewi membelalak saat akhirnya dia berada di dekapan Satya lagi. Kepalanya menempel di d**a bidang itu. Dewi hampir tersenyum saat membayangkan adegan mesra di film. Dimana sepasang kekasih naik gondola dengan saling berpelukan. "Jangan berpikiran yang macam-macam. Aku hanya jijik dengan wanita bersin." Mendengar ucapan Satya itulah Dewi merasa kesal. Ucapan pria yang sejak bertemu itu memang selalu menyakiti hatinya. Dewi berontak dan akan melepaskan pelukan Satya. "Diam dan nikmatilah. Aku membayar mahal untuk naik gondola ini. Jadi jangan rusak suasananya," suara Satya terdenfsr dingin. Akhirnya Dewi berhenti meronta. Benar. Pria ini sudah merogoh kocek banyak untuk naik gondola yang harusnya bisa dinaiki 6 orang. 80 euro tarifnya. Setara dengan 1 juta rupiah. "Makasih."Dewi mengucapkan itu hanya untuk tidak merasa harus berutang budi kepada Satya. Gondola berjalan di tengah kanal. Memperlihatkan bangunan cantik dan indah di kanan dan kiri. Untuk sesaat Dewi takjub. Bahkan saat gondola itu melewati jembatan Rialto atau Rialto Bridge. Tempat paling dinanti untuk wisatawan. "Jangan senang dulu ini semua tidak gratis. Kamu harus membayar semuanya dengan cara lain." Ucapan Satya yang memecah keheningan tiba-tiba membuat Dewi menatap Satya. Yang kali ini benar-benar sedang menatapnya. Dan Dewi takut dengan tatapan pria itu. Terlalu dingin dan mengintimidasi.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN