bab 1

1501 Kata
Semacam selentingan wakil presiden yang melakukan intervensi pada pencalonan gubernur terpilih Jakarta—Anies Baswedan dulu, alam yang pada dasarnya sudah b****k ini juga melakukan hal sama pada lelaki kere macam gue. Kalau lo semua bisa lihat balik ke beberapa waktu lalu, momen Pemilihan Kepala Daerah kemarin banyak pihak yang melakukan intervensi. Nggak usah munafik, semua daerah yang sedang menggelar pesta rakyat itu mengalaminya. Bukan cuma ibukota tercinta, bahkan sampai daerah yang paling nggak dikenal, gue yakin banyak pelaku intervensi. Apa itu salah? Gue jawab pakai capslock, boleh enggak? Gue orangnya nggak mau mendengarkan omongan orang lain sih. Jadi, gue jawab ya; BOLEH. Siapa yang bisa bilang seseorang nggak boleh melakukan ini dan itu? Enggak ada. Hukum sudah tercipta di dalam Undang-Undang Dasar maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan, sebagai rakyat tentunya sudah tahu konsekuensi dari perilaku. Jadi, nggak perlulah dinasehati boleh melakukan ini atau tidak. Banci, Cuy! Lagipula, intervensi itu dilakukan bukan cuma sama orang petinggi. Bahkan sekelas anak SD aja bisa melakukan itu. Pertanyaanya, apa hubungan itu semua sama kisah lo, Bim? Gue mau ambil napas sebentar aja, setelah itu lo semua bakal ngerti gimana hidup seorang Bima Fattan yang bebas dan indah ini hancur karena satu kata k*****t; intervensi. Di depan gue ini ada sumber dari hancurnya semua hidup Bima Fattan. Perempuan berambut panjang yang nggak tahu seberapa panjangnya ini lagi nyeruput jus Stroberi yang gue lihatnya aja jijik setengah mati. Makanan asam itu nggak pantas dicerna lambung. Ayolah, Bima. Bukan itu yang mau lo ceritakan pada dunia. Siap, kita balik lagi pada sosok perempuan di depan gue ini. Mukanya kayak bayi. Cuma itu yang bisa gue deskripsikan dari wajah, jadi enggak usah minta lebih. Badannya aja kecil tapi pasti enak banget buat peluk dia. Kulitnya dia itu ... putih enggak, hitam juga enggak, ya di tengah-tengah kayaknya. Udah kebayang belum cantiknya ratu gue itu kayak gimana? Nggak usah pada t***l lah ya, buat bayangin hal itu aja nggak bisa. Balik lagi ke mata pelajaran Bahasa di Sekolah Dasar sana! Jangan ngaku-ngaku semental sama Bima Fattan. Lo mau cerita apaan t***l! Sebentar, biarkan gue menarik napas kedua kalinya. Ini masalahnya ratu gue kayaknya lagi dalam mood yang jelek. Dari tadi gue coba ajak bercanda dan berakhir pada bunyi jangkrik dalam waktu panjang. Gue cuma nggak mau kalau gue terus maksa menghibur malah dihadiahi gamparan. Dia kalem-kalem begitu galak juga. Dan, itulah ratu gue; Alisa Adrenia Sukmadewi. Udah dapat clue belum? Gue tambahin lagi. Gue ketemu sama dia itu ... b*****t, gue lupa tahun berapa, yang jelas usaha t***l gue untuk berpura-pura jadi sahabatnya itu udah berjalan sekitar dua tahun lalu. Lo semua boleh kok ketawa sambil joget alaynya anak Dahsyat, gitu-gitu mereka rating dan share-nya besar. Karyawannya sering dapat bonus. Lah, mantap. Gue masih ingat betapa terasa luasnya ruangan persegi yang seharusnya bisa menampung kurang lebih 1000 Kg itu hanya berisi kami berdua. Gue yang nyangklong ransel biru dongker buluk kesayangan—kado dari Salsa waktu gue umur 26 tahun—dan ratu gue itu bawa tas selempang warna ... amit-amit Bima kalau soal warna emang payah. Lupakan. Gue tahu dia anak televisi yang sama dari baju kantor yang ia pakai. Dan gue tertarik sama bot yang ia kenakan waktu itu. Aneh, tapi unik. Dan, yang lebih unik atau lebih tepatnya lagi jijik adalah telunjuk gue yang menindih telunjuknya di nomor lantai yang sama; 6. Kami menoleh, gue nyengir lebar, dia senyum canggung. Kemudian hening lagi, sampai pintu lift terbuka dan ratu gue itu gue persilakan keluar lebih dulu. Woy, dalam kondisi apa pun, jantan harus tetap menjadi jantan, bukan banci dadakan. Unik dan jijiknya lagi untuk ketiga kali, gue sama dia masuk ke ruangan yang sama. Ruangan yang biasanya digunakan untuk briefing sebelum on air. Di sana, sudah ada beberapa karyawan seperti, Lydia, Wahyu, Ajimara, Ange dan orang-orang teknis lainnya. Ajimara melotot waktu lihat gue datang bareng cewek yang gue bahkan nggak kenal. "Kenalin, dia FD baru kita. Gadis geulis asal Bandung nu kasep pisan." Si Ajimara itu ngakak sendiri karena sadar kalau bahasa Sundanya melenceng jauh. Gadis yang disebut sebagai gadis Sunda tertawa kecil, mengangguk pada kami semua. "Gue Alisa dan salam kenal buat semuanya. Makasih Pak Bos." "Halo, Alisa!" seru semuanya, kecuali gue yang cuma bisa memperhatikan dari atas sampai bawah penampilam gadis itu. Yang kemudian lamunan gue buyar karena bisikan iblis di kuping kiri. "Langsung bengkak ya s**********n lo lihat gadis bening dikit?" Nggak cuma itu, iblis anaknya Pemred ini juga ketawa setan. Iblis campur setan tahulah gimana rusaknya. "Bacot lo." "Gue hafal kali, Bim, lo jomblo selama itu lihat beginian langsung girang." "Ngaca, Nyet, ngaca! Kalau ngomong itu sambil megang kaca gede." Untung gue sayang sama sahabat sengak gue satu itu. Sahabat yang gue bakal terima kasih banget karena dia gue bisa dekat juga sama ratu gue ini. Angesti berhasil menjalin hubungan baik dengan ratu gue karena dia tinggal di kompleks yang sama. Yah, walaupun baik Ange dan ratu gue itu sendiri nggak ada yang tahu perasaan banci gue ini. Segitu doang memang ceritanya. Intinya satu; perempuan itu nggak perlu melakukan hal besar dan membutuhkan waktu lama untuk menaklukkan lelaki. Karena Alisa membuktikan itu. Cukup penampilan manisnya, gue merasa srek dan perasaan itu malah berkembang setelah kami menjalin pertemanan. Pertemanan, Man. Ada yang lebih banci enggak sih selain friendzone? Gue emang sahabat dunia akhirat banget sama Ange karena masing-masing punya zona yang kacau. Syukurnya sih perempuan monyet satu itu udah lebih diangkat derajatnya sama alam. Sekarang dia udah melendung setelah satu tahun menikah. b*****t si Marwan itu, bisa-bisanya minta Monyet gue berhenti kerja. Sedangkan gue, di sini, masih diombang-ambing sama kebijakan alam yang sama sekali nggak se-visi dan misi sama gue. Gimana, lo semua udah paham bagaimana kacaunya intervensi alam dalam hidup gue? Dan, sekarang gue cuma bisa memandangi ratu sejagad raya ini sambil mengigit sedotan di botol fresh tea rasa Apel. "Bim. Kalau gue kencan buta sama cowok stranger, menurut lo gimana?" Nah itu! Pertanyaan gila dia yang udah berjalan sejak Ange menikah dan selalu bikin gue pengin gigit beton atau gantung diri aja sekalian. Dia kira gue bakal rela apa ya, dia tatap-tatapan sama cowok yang belum jelas batangannya sebersih apa dan otaknya sejernih gue atau enggak. "Gue kacau nih. Ange udah mau punya anak. Icha sering posting video anaknya yang lagi lucu-lucunya. Lydia sama Andre tiba-tiba pacaran gitu aja. Gue doang yang menyedihkan ya, Bim?" Ada gue, Al. Lihat kesini lho. Kenapa sih susah banget buat lo melakukan itu? Tinggal bilang apa yang lo mau, gue jabanin. Mau pacaran? Ayo. Mau langsung ijab kabul? Gue cek tabungan dulu, ya. Kerja dengan gaji di atas UMR dikit doang itu nyakitin, Al. Syukur-syukur kalau lagi dapat bonus besar. "Stranger?" Dan, benar kawan. Semenjak Ange dinikahi sama si b*****t Marwan itu, gue juga jadi kepikiran tentang pernikahan. Bangun tidur ada yang dipeluk, ada yang masakin dan ... ada yang dipamerin ke dunia fana dan maya. "Iya. Jadi, random aja gitu. Entar gue download Tinder atau apalah dating app lain." Apalagi setiap hari Ange dengan tololnya foto perut dia doang dan di-share di grup ToTaTi. Benar-benar perut doang nggak ditutupi baju. Dan gue mampus-mampusin waktu dia bilang kalau dimarahi habis-habisan pas ketahuan sama Marwan. "Atau ONS sekalian ya, Bim? Gue denger-denger, kalau cewek udah—" "Apa sih, Al!" b*****t. Semua orang sekarang kasih tatapan aneh dan penilaian alay ke gue dan ratu di depan gue. "Biasa aja kaleeeee." Alisa mendengus keras-keras. Kan, mendengus aja cantiknya kayak gitu, Al. "Gue cuma minta pendapat lo karena selama ini lo doang yang bisa ngasih gue pepatah Mario Teguh. ONS bagus enggak sih, Bim?" "Enggak ada bagus-bagusnya ML sama orang yang nggak dikenal." Gila apa dia. Dulu, cuma lihat pelipis dia dikecup sama Abam aja gue udah mati-matian nahan buat nggak nonjok muka banci itu. Sekarang ML? Cekik aja gue sampai mati sekalian. Udah, jangan tanggung-tanggung. "Lo pengin kawin?" "Maulah. Gue udah dua puluh tujuh tahun, Bim. Kelebihan dua tahun dari umur ideal buat nikah. Ange meskipun telat udah jelas sekarang. Gue mau ngikutin jejaknya nggak seberani dia." Jangan pasang muka itu, Al. Tolonglah ngertiin hati gue sedikit yang udah jumpalitan mau nangis ini. "Gue kacau, ya, Bim? Menjijikan banget enggak sih?" Matanya udah merah, dia kasih gue senyum miris. Ratu gue jangan sampai nangis. "Gue aja santai yang udah tiga puluh. Hidup kayak kita gini enak, Al. Bebas. Dan kayak yang udah gue bilang, elo itu jauh lebih baik dari semua cewek di luar sana." Matanya memicing. Sial. Gue mulai was-was, jangan sampai dia tahu ke mana maksud dan tujuan omongan gue. Gue punya Tuhan yang bisa mengabulkan kemauan gue, kan? "Jangan bilang lo selalu bersikap begini karena lo ... nggak mau gue kawin duluan dan lo nggak punya temen jomblo lagi, ya!" Gue mengembuskan napas lega. Sebahagia lo aja, Al. Gue cuman nyengir lebar. "Dasar gila!" Iya. Gue gila karena friendzone k*****t ini udah menjalar dua tahun dan mau tiga tahun, empat tahun dan ... sampai kapan? Kiamat? Gue pikir friendzone cuma bisa dirasakan sama anak sekolahan atau mentok-mentok kuliah. Bukan bangkotan kayak gue gini. Kan, bikin malu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN