bab 2

954 Kata
Ange dan ketidakwarasan memang satu paket lengkap. Lihat Ange kelayapan di kantor, gue bisa bernapas lega karena dunia masih mau kasih gue hal konyol lainnya. Namun, itu berakhir dua bulan lalu.  Ange memutuskan resign dari kantor demi memenuhi keinginan si b*****t Marwan. Yang gue nggak habis pikir, jiwa Kartini Ange itu lenyap gitu aja. Musnah kayak pikiran waras gue kalau lagi main ke rumah Alisa dan lihat dia pakai kutang doang. Bukan kutang, apa itu namanya ... kaus ketat nggak pakai lengan itulah pokoknya. Sekarang dunia udah nggak mau kasih hal konyol lagi buat Bima Fattan ini, yang ada malah ocehan sepanjang on air sampai menjelang on air sore dan menjelang pulang. Puyeng kan lo semua dengarnya? Apalagi gue yang ngerasain betapa judesnya Clara sebagai Program Director (menggantikan Ange) yang baru. Masalahnya, judesnya dia itu nggak cuma di ruangan siar, tapi merembet ke mana-mana bahkan sampai ke kafetaria. Dan, gue makin kesel karena dia ngocehnya sampai bikin ratu gue nggak mood kayak sekarang. Bibir dimonyongin minta banget dicipok, muka merah banget minta buat dielap pakai telapak tangan, rambutnya aja nggak ada rapi-rapinya. Apalagi tuh lihat, yang biasanya dia anti banget sama makanan berlemak, ini udah mau magrib malah pesan nasi goreng dan ngunyahnya kayak kuda lumping lagi mabuk. Gue apain ya enaknya nih orang. "Cuma karna dia PD yang bertanggung jawab buat program terus bisa seenaknya ngatain gue nama binatang?" Ocehannya mulai lagi, Kawan. Gue dari tadi ngunyah ketoprak ini sambil mijitin kuping, tentunya jangan sampai dia tahu. Bahaya. "Dia pikir dia cantik apa ya, Bim? Iya sih cantik. Tapi nggak usah gitu juga kali." "Elo kan udah biasa kata-kataan nama binatang sama Ange, Al. Biasa ajalah." "Itu beda!" semburnya sambil ngacungin garpu ke arah gue. Jangan, Al. Ntar gue mati lo sama siapa? "Ange temen gue, lah dia siapa? Untung aja Icha udah berhenti kerja. Wahyu juga pindah cari gaji yang lebih gede. Andre sama Lydia dipindah program. Sisa Resty yang ikutan berhenti karena Mamanya mau pindah domisili. Si Clara boleh tegas dan judes waktu on air, tapi di luar itu, ngapain dia masang-masang muka sinis ke gue?" Gue ngerti banget apa yang dirasakan sama ratu gue ini. Iya, di kantor, gue berasa kayak perlahan semua orang itu pergi. Ange yang mulai pengin mengabdi ke keluarga, t**i kucinglah, dia harusnya bisa sambil kerja. Icha mau momong anaknya, sementara Wahyu cari kerjaan yang waktu kerjanya pasti. Dan, di Lintas Indonesia tersisa gue dan Alisa. Itu kenapa kalau cewek ini ngoceh gue doang yang kena damprat. Nggak masalah, apapun buat dia. Dan, gue lebih kepikiran kalau gue lagi di program lain dan nggak bisa lindungi dia dari amukan Clara. Kasihan banget ratu gue ini. "Lo lagi PMS kali. Makanya sensi banget sama doi." "Kalau cewek cantik di belain mati-matian! Giliran gue galau karena foto prewed-nya Abam, lo diem aja." Suaranya mulai bergetar. Nah ini, ini yang dari tadi berusaha gue hindari. Obrolan tentang pernikahan Banci gang sempit itu. Gue cuma taku lihat air mata lo, Al. Ogah banget. Beneran. "Abam mau kawin, Bim." Rasanya tangan gue gatal banget pengin ngelap air mata itu. Tapi dia cepat sadar dan ngelakuinnya sendiri pakai tangannya. Tersenyum lebar lagi, seperti Alisa gue biasanya. "Kita berdua sampai kapan kayak gini, Bim?" "Maksudnya?" "Semua orang udah nemuin kebahagiaannya masing-masing. Tersisa gue dan elo yang kayak orang ilang lontang-lantung nggak jelas." Nah gitu dong, Al. Ketawa. Dikit juga nggak masalah yang penting gigi lo kelihatan. "Lo nggak pengin nikah, Bim?" "Santai aja, sik. Baru tiga puluh." Akhirnya, Kawan. Ratu gue ketawa lagi. "Gue inget Ange pernah bilang gitu dan ujug-ujug nikah juga. Jangan-jangan lo juga gitu, Bim. Besok tiba-tiba kasih undangan." Gue ketawa aja dengar antusiasnya yang datang-pergi gitu. "Emang lo udah siap?" "Maksudnya?" Siap jadi mempelai wanitanya. Gue pengin banget jawab gitu. "Jadi jomblo sendirian." "Yaaaaah." Mukanya langsung cemberut lagi. Lucu banget, sih nih orang. "Nanti nggak ada yang bisa gue pukulin dong kalau gue lagi kesel pas PMS, nggak ada yang beliin gue pembalut kalau tiba-tiba gue bocor di kantor karena lupa. Aaaaah, jangan kawin duluan, Bim! Gue duluan pokoknya." "Jangan lo duluanlah!" "Kok?" "Barengan aja kalau bisa." Gue nyengir, melanjutkan dalam hati, di pelaminan yang sama ya, Al. "Boleh tuh!" Kayaknya gondoknya ke Clara udah hilang cuma karena obrolan nggak jelas kayak gini. Bahagia menurut lo itu apa, sih, Al? Balik ke Abam? Kalau lo mau tahu, bahagia buat gue ya ini, ngobrol nggak jelas bareng lo di mana pun. "Malah lebih seru kalau kita satu gedung ya, Bim? Biar hemat!" Tawanya gede banget. Gue suka. "Hemat sama pelit itu kayaknya kembaran deh, Al." "Pelit kayak si Abam k*****t. Gue doain pestanya kacau. Nggak ada tamu yang datang. Atau gue aja yang datang dan ngancurin pestanya. Udah dagelan banget belum, Bim?" Gue ikutan ngakak. Peduli Syahrini sama orang-orang yang anggap kami gila. Gue emang gila, tapi ratu gue sumber kegilaan ini. "Lo tahu enggak, Bim?" Mukanya udah balik lagi serius. "Cowok serius udah nggak menarik sama sekali di mata gue. Mungkin Ange beruntung bisa dapatin yang serius semuanya. Tapi, gue muak. Muak sama muka serius rada kebegoan gitu." "Enggak semuanya, Al—" "Lo tahu nggak? Gue lagi males lihat lo jadi Mario Teguh sore ini." Dia ketawa lagi. Ketawa terus, Al. Biar hidup gue agak berkah. "Keinginan gue cuma satu; gue bisa dapetin laki yang serius sama gue. Udah nggak peduli dia berengsek atau mantan mafia sekalipun." Dan, lo tahu, Al, keinginan gue juga cuma satu; tolong cepat sembuh, supaya gue bisa masuk ke hati lo agak mudah dikit. Magrib menjelang malam itu, kami habiskan waktu buat dengerin wacana dia soal gagalnya pernikahan Abam, sebelum gue nganterin dia balik ke rumahnya (dia kalau manjanya kumat, suka jadiin gue supir). Sayang banget, Ange udah nggak ada di kompleks yang sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN