Nero pasti sudah gila karena langsung meminta semua info tentang Viola dan bagaimana kinerjanya, kepada Paman Stevan begitu dirinya meninggalkan ruang rapat lebih dahulu daripada orang lain. Ia juga sempat bertanya kenapa gadis semuda itu sudah menjadi direktur.
Jawaban Paman Stevan terpampang pada sejumlah prestasi kerja yang Viola raih sejak wanita itu menjadi pegawai magang, asisten direktur junior, hingga akhirnya menjabat sebagai CFO seperti sekarang ini.
Viola jelas jenis wanita yang sangat cerdas dan kompeten. Bahkan, ia bisa melihat jika perusahaan mengalami sedikit sekali kerugian, jika bisa dibilang hampir tidak ada, selama satu tahun terakhir semenjak wanita itu menjabat.
Viola jenius dalam hal mengatur keuangan perusahaan dan peluang investasi. Dan usianya jelas masih teramat muda untuk menjabat sebagai seorang direktur. Rata-rata, orang lain harus menjalani masa kerja yang panjang dan penuh prestasi sebelum diangkat sebagai direktur.
Ayahnya jelas sangat jeli melihat kemampuan Viola karena langsung menjadikannya direktur saat usia kerja wanita itu bahkan baru tiga tahun. Bisa jadi, Viola adalah direktur wanita termuda yang ia temui di ruang rapat tadi.
Dua puluh sembilan tahun? Viola tidak tampak seperti seseorang yang hampir mendekati usia tiga puluh. Tadinya, ia pikir wanita itu masih berusia di bawah dirinya karena wajahnya yang memang begitu imut. Dan dugaan Nero benar ketika ia melihat nama Widjaya terpampang jelas di belakang nama tengahnya.
Kenapa gadis itu tidak mau menggunakan nama keluarganya? Kenapa ia hanya memperkenalkan diri sebagai Viola Aleyna? Apa ia sedang berada dalam pelarian? Apa sebenarnya ia memiliki masalah dengan keluarganya?
Nero menggelengkan kepala saat pikiran melantur itu ada hadir di benaknya. Viola jelas tidak mungkin sedang melarikan diri dari keluarganya. Keluarga Widjaya adalah orang-orang paling hangat dan menyenangkan yang pernah Nero kenal. Tidak mungkin wanita itu menghindari keluarganya sendiri hanya karena memiliki masalah.
Ia memang pernah mendengar jika putri sulung Erlangga itu kuliah di Amerika. Namun, Nero tidak pernah menyangka jika Viola juga bekerja di perusahaan ini. Di kantor milik ayahnya.
Dan kenapa Violet, juga Erlangga, tidak pernah menyinggung hal tersebut? Apa mereka menduga jika ia hanya kebetulan memiliki nama keluarga yang sama dan tidak mungkin menjadi anak James Goldman?
Bukankah ini tampak seperti pertukaran yang lucu? Ia meninggalkan Amerika dan berakhir dengan bekerja di sekolah milik keluarga gadis itu, sementara Viola kuliah di Amerika dan sekarang menjabat sebagai direktur di kantornya.
Ini mungkin bukan pertukaran. Mungkin ini yang disebut takdir.
Ia menggeleng lagi saat memikirkan itu. Takdir terdengar seperti sesuatu yang terlalu dalam untuk mereka yang tidak pernah bertemu sebelumnya. Lagipula, takdir tidak pernah memberinya sebuah kebahagiaan. Takdir hanya memberinya kehidupan yang suram dan tidak menyenangkan. Jadi, ini pasti hanya kebetulan, dan mungkin saja, dengan latar belakang mereka, Nero bisa berteman dengan Viola.
Toh selama ini bisa dibilang ia juga berteman dekat dengan Damar walaupun itu hanya karena Muti. Namun, tidak ada salahnya jika ia juga berteman dengan Viola kan?
Wanita itu tampaknya juga tahu siapa dirinya setelah ia menyebutkan namanya. Jadi, entah Damar, Violet, atau Erlangga, pasti pernah menyebutkan namanya di depan wanita itu. sekarang ini, Nero yakin jika Viola juga sedang bertanya-tanya tentang dirinya.
Ketukan pelan di pintu kantor Nero, membuatnya menoleh dari layar komputer yang sedang ia pandangi dengan foto Viola terpampang di riwayat kerjanya. Paman Stevan membawa dua kotak makan siang dan meletakkannya di meja. Merasa tidak perlu ada yang disembunyikan, ia tidak menutup layar tersebut saat Paman Stevan mendekat.
“Menemukan seseorang yang kau kenal?” tanya Paman Stevan sambil menaikkan alisnya, dan tidak lupa, senyum ramah yang selalu ia berikan.
Seharusnya Nero berhenti heran jika Paman Stevan tahu segalanya. Namun, nyatanya, ia tidak bisa berhenti merasa seperti itu setiap kali pria ini tahu lebih banyak tentang segala sesuatu. Satu lagi bukti bahwa selama ini ayahnya tidak pernah berhenti mengawasi hidupnya.
“Jadi Paman juga tahu siapa dia sebenarnya?”
Paman Stevan tersenyum sebelum pria itu mengangguk. “Paman hanya melakukan pemeriksaan menyeluruh tentang sekolah tempatmu bekerja itu, dan tidak sengaja mengetahui tentang Miss Aleyna yang adalah bagian dari keluarga itu.”
Pemeriksaan menyeluruh. Nero sudah mengalami itu semenjak ia menjalin hubungan dengan Andhita. Dad jelas ingin memastikan dengan siapa dia bergaul, dan bagaimana keluarga orang itu. Ia bersyukur karena Dad tidak mengusik Muti dan keluarganya. Jika itu terjadi, ia tidak akan pernah memaafkan Dad.
“Dia benar-benar jenius dalam pekerjaannya. Bagaimana Dad bisa bertemu dengannya?”
“Bagaimana kalau kau menanyakan itu pada ayahmu langsung, Nak? Kalian sudah sangat lama tidak mengobrol.”
Nero cemberut mendengar apa yang pria itu katakan. “Apa yang Paman bawa?” tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan.
Ia tidak suka ide ‘bicara’ dengan ayahnya itu karena bicara tidak pernah benar-benar seperti kiasannya jika itu terjadi antara dirinya dan Dad. Yang ada, pembicaraan itu pasti akan selalu berakhir atau bahkan langsung dimulai dengan pertengkaran.
“Makan siang dari restoran yang sangat terkenal di sekitar sini. Kau pasti akan menyukainya.”
“Baiklah. Ayo kita makan,” ucap Nero sambil bangkit dari duduknya.
“Tadinya, Paman memang berencana makan siang denganmu, Nak.”
“Tadinya?” tanya Nero dengan kening berkerut.
“Mungkin lebih baik jika kau makan dengan Miss Aleyna. Bukankah kalian saling mengenal?”
Nero menggeleng. “Aku tidak mengenalnya. Kami hanya…”
“Kau hanya menemukan teman,” potong Paman Stevan sebelum ia selesai bicara. “Paman akan menelepon sekretarisnya dan memintanya datang kemari.”
“Paman, aku sama sekali tidak kenal dengannya. Aku hanya pernah mendengar namanya. Tidak lebih.”
“Atau kau lebih memilih makan siang dengan ayahmu di rumah sakit?”
Nero menggerutu saat mendengar pilihan yang sangat tidak adil itu. Akan jauh lebih menyenangkan berada di sini bersama si Piggy Biggy itu daripada menghabiskan waktu makan siang dengan ayahnya. Lagipula, ia memang sangat ingin bertanya pada Viola tentang kenapa ia berakhir di perusahaan ini. Juga kenapa wanita itu tidak memakai nama keluarganya.
“Nah, Paman sudah tahu jawabannya. Tunggulah sebentar. Dia akan segera kemari.”
Tanpa menunggu jawaban Nero, Paman Stevan menepuk bahunya dan langsung keluar dari ruangan. Nero hanya memandangi kotak makan siang di mejanya dengan pasrah. Ia tidak tahu apa yang ada di dalam kotak tersebut, tetapi tampaknya itu restoran yang mahal, jadi pasti makanannya tidak sembarangan.
Memutuskan bahwa ia akan mengikuti ‘permainan’ yang Paman Stevan berikan untuknya, Nero mendekati meja kopi di sudut ruangannya. Jika ada satu permintaan khususnya kepada Paman Stevan tentang ruangan kerjanya, itu hanyalah mesin pembuat kopi, juga biji kopi kualitas terbaik untuknya.
Nero tidak tahu apa yang Viola sukai, tetapi ia yakin jika wanita itu membutuhkan kopi. Ia jelas tidak tampak fokus saat rapat tadi, dan Nero percaya hanya kafein yang bisa mengembalikan hal tersebut. Yah, semoga saja wanita itu tidak alergi kopi. Beberapa wanita jauh lebih memilih teh daripada kopi. Seperti Muti.
Gadis itu hanya menyukai kopi yang dicampur dengan banyak s**u dan krim. Bagi Nero, itu bukan kopi karena jelas komposisi s**u dan krimnya jauh lebih banyak daripada kopinya sendiri. Itu menghilangkan esensi kopi yang sesungguhnya.
Nero memutuskan untuk membuat kopi hitam pekat dengan sedikit sekali gula. Ia harap Viola suka kopi pahit dan pekat seperti itu. Atau jika tidak, Nero bisa membuatkannya yang lain nanti. Ia memiliki sedikit keahlian untuk meracik kopi sebelum membuka kafenya di Jakarta.
Tepat ketika ia meletakkan dua cangkir kopi di meja, ia mendengar bunyi hak sepatu wanita. Itu pasti Viola. Tidak ada orang lain di lantai itu. Sekretarisnya dan Paman Stevan, juga pasti sedang makan siang sekarang.
Nero membuka pintu sebelum wanita itu sempat mengetuk. Ia mengerutkan kening saat melihat Viola sudah hendak berbalik pergi. Apa ia berubah pikiran dan tidak mau menghabiskan waktu makan siangnya di sini?
Viola terlihat ragu-ragu saat Nero menerimanya undangannya untuk masuk. Ia tampak begitu tegang seakan sedang masuk ke dalam kandang singa yang kelaparan.
Namun, anggapan Nero itu berubah menjadi tawa saat ia melihat Viola menikmati kopinya. Wanita itu memejamkan mata saat menghirup aroma, kemudian meneguk isinya. Nero duduk di hadapannya, dan menyadari jika ia tidak bisa mengalihkan pandangan.
Bagaimana ia tidak bisa mengenali wanita ini? Wajahnya jelas-jelas milik Erlangga Widjaya. Mulai dari bentuk wajahnya, matanya, hidungnya, juga bibirnya, sama persis dengan ayahnya. Seharusnya, Nero langsung mengenali Viola saat mereka bertemu di perpustakaan tadi.
Nero mengerutkan kening saat Viola menanyakan sesuatu tentang pekerjaan. Wanita ini jelas mengira jika dirinya tidak menyukai apa yang didengarnya dalam rapat tadi. Viola salah besar. Ia justru paling terkesan dengan pemaparan yang diberikan Viola.
Terlihat jelas kecerdasannya dalam memberikan setiap laporan yang tersusun rapi, juga suara wanita itu yang penuh dengan rasa percaya diri. Viola pasti menjadi salah satu dari sedikit orang yang menjadi favorit ayahnya.
“Bagaimana kau tahu jika ini adalah makanan dari restoran favoritku?”
Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Nero, dan ia memandangi kotak makan yang baru saja dibuka oleh Viola. Harum aroma daging panggang yang terbungkus kulit tortilla menembus indra penciumannya.
Salah. Itu bukan tortilla. Itu kebab karena kulitnya jauh lebih tebal daripada tortilla. Selain itu, di dalam kotak juga terdapat ayam goreng dengan saus berwarna kuning pucat, juga salad.
Paman Stevan jelas memilih sesuatu yang sangat cocok. Entah itu kebetulan atau memang pria itu sudah merencanakan semuanya karena tahu ia akan mengenal Viola begitu mendengar namanya.
“Paman Stevan yang membelinya. Aku sudah lama sekali tidak pulang ke New York dan sama sekali tidak tahu apa yang enak di sini.”
Lidahnya mungkin kini sudah lebih cocok memakan nasi uduk atau lontong sayur di stadion daripada hotdog dan sandwich. Tante Dina juga membawakannya beberapa macam lauk yang awet disimpan dan mudah dihangatkan. Setidaknya, itu sedikit mengobati kerinduan Nero akan masakan wanita itu, juga makanan Indonesia lainnya.
“Oh, kami kadang makan siang di sana bersama,” ujar Viola sambil menggigit kebabnya dan mengerang penuh kenikmatan hingga Nero benar-benar tidak bisa mengalihkan matanya.
Viola sangat cantik dengan rambutnya yang dipangkas pendek itu. Dulu, ia tertarik kepada Muti juga karena rambut pendeknya. Jaman sekarang, para wanita jauh lebih suka memanjangkan rambut karena itu akan membuat mereka terlihat feminin. Akan tetapi, bagi Nero, rambut pendek memiliki pesonanya sendiri.
Itu menandakan jika wanita tersebut bukan seseorang yang ribet dengan penampilannya. Ia selalu ingin tampil sederhana dan cenderung menghindari segala hal tentang bad hair day. Namun, meskipun sekarang Muti berambut panjang, Nero tetap tidak melihatnya sebagai wanita yang ribet.
“Jadi kau cukup dekat dengan Paman Stevan?” tanya Nero saat ia tiba-tiba merasa kelaparan juga setelah melihat Viola makan. Ia menggigit ujung kebab tersebut, dan tahu kenapa Viola mengerang penuh kenikmatan. Makanan ini memang sangat enak.
Wanita itu mengangkat bahu. “Dia pria yang menyenangkan, dan aku bukan jenis wanita yang memiliki banyak orang untuk diajak makan siang bersama.”
“Karena kau seorang direktur?”
Viola menatap Nero sejenak sebelum mengangkat bahunya lagi. “Seperti itulah. Kau lihat sendiri, kebanyakan direktur adalah pria. Dan walaupun beberapa orang berusia tidak jauh dariku, aku merasa tidak nyaman makan siang bersama dengan mereka.”
Biasanya Nero tidak suka mendengar kisah orang lain, kecuali Muti yang bercerita. Namun, ia mendapati dirinya begitu tertarik dengan apa yang Viola katakan, dan gilanya, membuatnya sangat penasaran tentang Viola lebih banyak lagi.
Bagaimana ia biasa makan siang jika tidak memiliki banyak teman? Kenapa ia menyukai makanan dari restoran ini? Atau, apakah bawahan dan rekan kerjanya menggunjingkan dirinya saat wanita itu naik jabatan?
Seharusnya Nero tidak merasakan itu kan? Hal terakhir yang membuatnya tertarik hanyalah Muti. Sebelum atau setelahnya, bahkan tidak pernah ada yang membuatnya ingin tahu lebih dalam lagi tentang seseorang.
Ia juga bukan tipe orang yang suka makan siang dengan orang yang tidak ia kenal. Akan tetapi, duduk bersama Viola di sini, mendengarkan gadis itu berbicara, rasanya begitu nyaman dan menyenangkan.
Terbiasa menutup diri dan menjauhi kehidupan sosial menjadikan Nero tidak nyaman dengan keberadaan orang asing di sampingnya. Bersama Viola, rasanya seperti ia menemukan orang yang tepat. Menemukan teman.
Mungkin, anggapan Paman Stevan benar. Bahwa ia hanya merasa menemukan seorang teman yang tepat. Seseorang yang entah bagaimana seakan memiliki magnet untuk menarik keingintahuan Nero lebih dalam lagi tentangnya.
Dan jujur saja, menemukan teman wanita selain Muti, rasanya sungguh hebat!