TZT-01
Seorang gadis tersenyum smirk melihat musuhnya yang sudah basah kuyup akibat ulahnya. Ia mencengkeram dagu Natasha. Matanya menatap nyalang ke arah mantan sahabatnya. Semua orang yang menyaksikannya hanya diam membisu. Tak ada yang berani melawan seorang Erinna Zalsha Mellinda. Seorang bad girl yang ditakuti oleh semua warga SMA Mentari. Kecuali, tiga orang pemuda yang kini berjalan membelah kerumunan demi menyelamatkan korban bully.
"Lo tau Nat, gue benci pengkhianat!" ucapnya berbisik di telinga Natasha.
Natasha tersenyum samar saat melihat tiga orang pemuda yang berlari mendekatinya.
"Hiks...hiks... A-Apa salah aku, Rin? Ke-kenapa kamu tega bully aku terus?! Hiks...hiks..."
"ERINNA!" teriak seorang pemuda dengan napas memburu.
Erinna melepas cengkeramannya. Lalu, berdiri dengan santai. Kedua tangan dilipat di depan d**a. Seperti biasanya, tiga pemuda itu akan menjadi pahlawan penyelamat Natasha. Erinna tersenyum tipis menatap dua Abang kembarnya yang telah berpihak pada musuhnya.
"Iya, kenapa?" ucapnya santai.
Pemuda bertubuh jangkung itu tak bisa lagi mengontrol emosinya. Erinna sudah kelewatan. Sudah kesekian kali, gadis tersebut membully sahabatnya.
"Kenapa Rel? Lo marah?" tanyanya berjalan mendekati Farel.
Semua orang bergidik ngeri merasakan aura mencekam di sekitar Erinna. Entah, apa yang akan dilakukannya pada Farel yang notabenenya adalah kapten basket di sekolah.
Gavin dan Davin membantu sahabat mereka untuk berdiri. Setelah itu, Gavin menarik lengan adik perempuannya dengan kasar. Erinna tertawa kecil. Ia sudah terbiasa dengan sikap kasar dari Abang kembarnya.
PLAK!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Erinna. Semua orang sudah menduga apa yang akan dilakukan oleh Gavin. Setiap Erinna membully Natasha, Gavin dan Davin tak segan melakukan hal yang sama. Tentu Erinna akan melawan. Meskipun, ia adalah seorang gadis, dirinya bisa bela diri untuk melindungi dirinya sendiri.
"Tamparan ini nggak sebanding dengan rasa sakit di sini, Bang!" lirih Erinna memukul dadanya.
Bugh
Erinna menendang perut Abangnya. Ia sama sekali tak merasa bersalah melihat Gavin yang kesakitan.
"Suatu saat, kalian bakal sujud meminta maaf ke gue! Dan jangan harap, gue bakal mau maafin kalian!!" teriaknya meninggalkan mereka semua.
Semua orang saling memandang. Tak mengerti dengan apa yang dikatakan sang bad girl sekolah ini. Satu persatu, mereka mulai meninggalkan lapangan sekolah. Menyisakan, tiga orang pemuda dan seorang gadis yang masih terisak. Farel merengkuh tubuh sahabatnya yang bergetar.
"Gue akan selalu ada disampingnya lo, Ca." ujar Farel yang diangguki olehnya.
Davin menghampiri kembarannya yang masih memegangi perutnya. "Sakit?" tanyanya.
Gavin mendecak. Ia jelas tahu maksud kembarannya yang berpura-pura bertanya, namun sebenarnya tengah mengejek dirinya.
Erinna berlari menuju halaman belakang sekolah. Hanya di sana, ia bisa menenangkan dirinya. Entah mengapa, setiap saudara kandungnya menyakiti dirinya, ia menjadi cengeng. Padahal, ia juga pernah babak belur setelah berkelahi dengan musuhnya, namun dirinya sama sekali tak menangis.
"Gue selalu cari masalah ke kalian itu, karena gue butuh perhatian kalian sebagai Abang gue?! Tapi, apa yang gue dapetin? Tamparan, pukulan, cacian dan makian! Itu yang gue dapetin!!" teriaknya histeris.
Selama hidupnya, Erinna sama sekali tak pernah merasakan kehangatan keluarga. Papi dan ketiga Abangnya tak pernah peduli padanya. Ia merasa iri setiap melihat keakraban seorang Abang pada adiknya dan berharap suatu hari nanti dirinya bisa merasakan hal tersebut.
Erinna menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia menangis sejadinya. Mengingat, Abang kembarnya lebih membela Natasha ketimbang adik kandungnya.
Puk
Sebuah tangan menepuk bahunya. Erinna pun segera menghapus jejak air matanya. Ia mengulum senyum pada dua gadis yang menatapnya iba.
"Gue nggak papa." lirihnya.
Bianca dan Reva memeluk tubuh sahabatnya. Tangis Erinna semakin pecah. Hanya kepada mereka, ia menunjukkan sisi lemahnya. Bianca mengelus punggung sahabatnya. Ia tahu, betapa menderitanya Erinna di dunia ini.
"Kita akan selalu bersama lo, Rin. Apapun yang terjadi." ucap Bianca menghapus jejak air matanya.
Erinna mengangguk beberapa kali. Kemudian, tatapannya beralih pada gadis cupu yang berdiri tak jauh darinya.
"Ngapain, lo?"
Gadis itu tampak ketakutan. Namun, ia memberanikan diri untuk mendekat. Setibanya, ia langsung menyodorkan sebotol air minum pada Erinna.
"I-ini mi-minum buat Ka-Kak Erin." ujarnya menundukkan kepala.
Erinna menerimanya dan langsung meminum air tersebut hingga habis.
"Thanks. Lo tau aja, kalo gue lagi haus." ucap Erinna mengelap bibirnya dengan punggung tangan.
Gadis tersebut mendongak. "Aku berterimakasih sama Kak Erin, karena udah membela aku." tuturnya.
Bianca dan Reva saling memandang, kemudian tersenyum tipis.
"Oh."
"Eh iya, Rin, nanti malem lo dateng ya, di acara ultah gue?!" ucap Reva memohon. Mengingat sahabatnya tak pernah sekalipun hadir di acara pesta ulang tahunnya.
"Gimana ya? Gue nggak suka yang rame-rame."
"Ayolah, Rin. Rasanya kurang lengkap kalo lo nggak dateng." bujuknya.
Erinna menghela napas. "Ya udah, gue bakal dateng. Tapi, lo janji, nggak akan komentar dengan pakaian yang gue pake." pungkasnya.
"Okelah."
Malam harinya....
Erinna memandang malas sebuah rumah yang sudah ramai dengan tamu undangan. Setelah memarkirkan motornya, ia beranjak memasuki rumah sahabatnya. Tak mempedulikan tatapan yang mengarah padanya. Erinna tahu alasannya, karena dirinya memakai kaos oblong yang dilapisi jaket dan celana jeans sobek-sobek. Serta, topi yang masih berada di kepalanya.
"Erinna..." teriak Reva kegirangan. Ia tak menyangka, jika gadis tersebut benar-benar hadir di acara ulang tahunnya.
Erinna memeluk dua sahabatnya bergantian. Lalu, menyalami kedua orang tua Reva.
"Em... Rin, maaf ya, gue ngundang Farel, Natasha, sama Abang kembar lo juga." ucap Reva merasa tak enak.
"Kalem aja. Mereka juga 'kan temen lo, tapi musuh bagi gue."
Bianca merangkul Erinna. Ia menggiringnya menuju tempat acara. Seperti dugaannya, setiap pasang mata tak luput memandangnya. Tetapi, tak ada yang berani membuka mulut karena takut akan kemarahannya.
"Bi, gue duduk di sana aja ya? Males gue!" ucapnya menunjuk kursi yang berada dipojokan.
"Iya deh."
Erinna mendudukkan pantatnya di kursi tersebut. Tangannya terulur meraih earphone dan ponsel di sakunya. Kemudian, memasangkan earphone di telinganya. Ia mendesah saat dua Abang kembarnya berjalan mendekatinya.
"Lo ngapain ke sini?! Bikin malu aja!" semprot Davin.
"Bisa nggak sih, lo, jaga harga diri keluarga Zylgwyn!" bentak Gavin menatap sengit ke arah adiknya.
"Cewek lain pada cantik-cantik! Lah, lo? Dandanan kek brandal aja bangga!"
Erinna mendongak. Ia tersenyum miring.
"Apa peduli lo?!" tanyanya dingin.
"Gue nggak peduli sama lo! Gue cuma peduli sama reputasi keluarga Zylgwyn!!"
Pertengkaran tersebut terpaksa terhenti saat pembawa acara mulai berbicara dengan mikrofonnya. Gavin dan Davin beranjak meninggalkan adiknya. Mereka bergabung dengan Farel dan Natasha. Setelah acara tiup lilin selesai, Erinna menghampiri dua sahabatnya yang berdiri di dekat kolam renang. Ia akan memberi ucapan selamat pada Reva.
"Rev, selamat ultah ya? Gue ngucapin lagi, nih!!" seru Erinna menaik-turunkan kedua alisnya.
"Iya-iya! Gue udah nonton video lo kirim! Gila, panjang bener ucapan, lo, Rin!"
Mereka tertawa. Itu adalah rencana Erinna dan Bianca. Agar lebih spesial, katanya.
Natasha baru saja pergi ke toilet, ia tersenyum smirk saat melihat mantan sahabatnya tengah berbincang. Sebuah ide licik terlintas di otaknya. Ia akan membuat Erinna benar-benar dibenci oleh Farel, Gavin, Davin, dan semuanya. Natasha berjalan pelan membelah kerumunan para tamu. Sesampainya, ia mengedarkan pandangannya. Tampak, semuanya tengah sibuk masing-masing. Ia tak akan membuang kesempatan.
Natasha menepuk pundaknya. Erinna yang merasa pundaknya ditepuk seseorang pun menoleh. Ia sedikit terkejut mendapati Natasha yang berdiri di belakangnya. Natasha berusaha meraih lengannya dan menjatuhkan dirinya, seolah Erinna-lah yang mendorongnya.
BYUURRR
"Aaaaaa..."
Semua orang membelalakkan matanya melihat Natasha yang jatuh ke kolam renang. Dengan cepat, Farel menceburkan diri ke kolam renang, menolong sahabatnya yang tak bisa berenang. Erinna masih tercengang. Ia masih belum sadar dengan apa yang terjadi. Matanya tak luput memandang Farel yang berhasil menyelamatkan Natasha. Davin segera melepas jasnya dan memakaikannya pada tubuh Natasha.
"Kenapa lo semua natap gue kek gitu, hah?"
Erinna tak tahu, mengapa semua orang menatap ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebuah tangan terulur menggenggam tangannya. Dia adalah Bianca, dan Reva merangkulnya. Mencoba memberitahu, jika keduanya akan selalu berada disampingnya. Apapun yang terjadi.
Farel berjalan dengan tatapan tajamnya. Ia menyeret gadis yang tak meronta sama sekali. Gadis tersebut penasaran apa yang akan dilakukan oleh pemuda yang dicintainya dalam diam. Sejak awal, hanya dua Abang kembarnya saja yang bereaksi jika dirinya membully Natasha. Tetapi, sekarang? Ia sama sekali tak tahu-menahu penyebab mantan sahabatnya bisa jatuh ke dalam kolam renang.
Farel mendorong tubuhnya hingga menabrak dinding. Semuanya terperangah melihat kejadian tersebut. Bianca dan Reva ingin menghampiri sahabatnya, tetapi, Erinna mengintruksikan keduanya untuk tetap di tempat.
"Pertama kalinya lo bersikap kasar, Rel!"
Plaakk
Farel menampar gadis di depannya. Erinna memejamkan matanya. Belum juga rasa pedih akibat tamparan Gavin sembuh, tetapi malah ditambah dengan tamparan Farel di pipi kanannya.
"Mau lo apa, sih, Rin?!!" teriaknya dengan d**a yang naik-turun.
"Lo masih belum puas ngebully Caca selama hampir tiga tahun, Rin?!! Lo bayangin, tiga tahun itu bukan waktu yang singkat?!"
Plaakkk
Davin menampar pipi kiri adiknya tanpa adanya rasa belas kasih.
Plaakk
Gavin pun sama, ia menampar pipi kiri adiknya.
"Jadi, pas 'kan? Dua tamparan di pipi kanan dan kiri?!" ucapnya menyeringai.
Erinna mengepalkan tangannya erat-erat. Ia menatap datar tiga orang pemuda itu. Aura mencekam mulai dirasakan. Semua orang mulai bergidik ngeri. Erinna menatap semua orang bergantian. Orang yang tertangkap basah sedang menatapnya pun segera menunduk.
"MAKSUD LO, APA HAH?! MAIN TAMPAR GUE GITU AJA?!"
Erinna berusaha meredam amarahnya. Jika tidak, maka ketida pemuda di depannya akan pergi untuk selama-lamanya.
"NGGAK USAH PURA-PURA, b**o!! GUE TAU, LO YANG DORONG CACA SAMPE DIA JATUH KE KOLAM RENANG!! LO NGGAK MIKIR, APA?! CACA ITU NGGAK BERENANG! KALO DIA MA--"
"Mati ya tinggal mati!"
"Lo?!" Farel menunjuk wajah Erinna dengan jari telunjuknya.
"Apa?! Lo, pikir, gue takut sama Lo bertiga?!"
Bianca terbirit-b***t menuju sahabatnya. Jangan sampai, Erinna hilang kendali. Ia tak mau sahabatnya terkena masalah lagi.
"Rin, sabar, mereka Abang lo dan Farel sahabat lo, Rin!" ucap Bianca lembut sembari mengelus punggungnya.
"Cih, gue nggak sudi anggap mereka sebagai Abang dan apa? Sahabat! Gue nggak punya sahabat selain lo dan Reva!" pungkasnya mengangkat kaki meninggalkan semua orang yang masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Farel merasa sesak di dadanya. Ada rasa sakit yang menyelinap masuk ke dalam hatinya.
Erinna mengendarai motor sportnya. Air matanya mengalir deras. Kilatan bayangan dimana dirinya tak dipedulikan oleh keluarganya membuat dadanya terasa semakin sesak. Hanya ada satu harapan, yaitu Mami dan saudari kembarnya. Ia sudah berusaha melacak keberadaan mereka, tetapi hingga kini masih tak membuahkan hasil.
"Mam... Kenapa Mami pergi ninggalin aku? Mereka semua nggak sayang aku, Mam?! Aku benci mereka semua!" gumamnya.
Erinna tersentak saat mendengar klakson yang memekikkan telinganya. Pandangannya menjadi silau karena lampu sebuah truk yang melaju ke arahnya. Padahal, dirinya sudah berada di jalan yang benar. Ia tak melawan arah, melainkan truk tersebut.
Duaarrrr
Motor Erinna ditabrak oleh truk tersebut, mengakibatkan tubuhnya terpental beberapa meter. Ia memejamkan mata saat tubuhnya mendarat di aspal. Kepalanya membentur pembatas jalan. Darah mulai mengalir. Aroma anyir mulai menyeruak di indra penciumannya. Ia tersenyum samar. Berharap, bila ini adalah akhir dari hidupnya. Tetapi, satu keinginannya masih belum terkabul. Yaitu, bertemu dengan Mami dan saudari kembarnya.
"Mami... Ellinda... Aku ingin bertemu kalian..."
Erinna menutup matanya setelah kegelapan menyelimutinya.