6. BONGKAR RAHASIA

1096 Kata
Paling beda di antara manusia lainnya. Merasa bangga? Tentu! Tapi, ada rasa lain juga. Emang mereka suka sama modelan kayak, gua? -Kang Dani Seblak- "Kalo sebagai ketua basket membuat kamu terganggu, gua rela nyabut tugas itu." Namun, Denis tetap menolak, "Udah, deh. Gak usah ngejal mulu, gak bosen apa?" "Sama gua aja, Danu, tapi ...." Dena menggantung ucapannya. "Gua suka sama, Daniel. Gimana, dong?" Enggak jelas banget, kan? Itulah Dena Beloon. Bel pulang yang diharapkan semua penghuni SMK Sayang bergema melengking. Keadaan kelas langsung heboh, membaca doa sesuai keyakinan masing-masing dalam hati. Namun, tidak dengan Denis mulai uring-uringan dengan riasan wajahnya yang sudah luntur dimakan keringat. Dayana sendiri segera membawa beberapa buku paket di bawah meja, lalu menyalami Bu Dede sebagai guru Akuntansi Keuangan yang menurut Desi pelajaran sangat membagongkan. Tolonglah semua bab yang harus dipelajari adalah hitungan. Selanjutnya, Desi berjalan di samping Dayana. Siap menunggu jemputan yang biasa datang hanya butuh lima menit menunggu. Banner Kang Dani Seblak terlihat jelas, tetapi Dayana akan berniat esok hari datang ke sana. Di rumah, ada neneknya yang kemarin datang untuk menginap karena ibunya baru pulang dari Korea Selatan. Ada banyak pertanyaan mengganjal soal pedagang seblak yang sedang booming di mana-mana. SMK Sayang pula terbawa-bawa, sebagai sekolah yang digelari memiliki tukang seblak idaman. Datangnya pelajar baru, khususnya beberapa siswi menjadi hal biasa sekarang, demi selalu berjumpa dengan Kang Dani bukan karena ingin sekolah di sana. Mobil berwarna hitam berhenti di depan Dayana dan Desi. "Duluan, Des," pamitnya sambil melambaikan tangan. "Yo!" balas Desi, pandangannya masih terpaku menatap keramaian di warung Kang Dani. Di dalam mobil, Dayana segera menyalakan ponselnya. Kebiasaanya yang tak pernah bermain ponsel selama di sekolah adalah hal unik, di mana semua manusia pada zaman modern ini tak bisa lepas dari benda pipih tersebut. Setelah menyala, Dayana mulai mencari tahu apa saja cara yang bisa membuat pengunjung terpikat dengan cepat. Jawaban teratas adalah memakai penglaris. Menatap ke samping, jalanan yang lenggang tanpa kemacetan. "Penglaris?" gumamnya. Sesampainya di depan bangunan bertingkat dua, Dayana keluar dengan cepat. Berlari menuju kamar yang ditinggali neneknya. Sosok sang ibu dan neneknya terlonjak kaget karena Dayana masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. "Nana, kamu gak sopan," ucap Doyoung dengan tatapan tajamnya. Seperti sikap yang ibunya ajarkan, Dayana segera membungkukkan tubuhnya meminta maaf. "Mianhe." "Ada apa? Mengapa kamu terburu-buru, Sayang?" tanya nenek Dayana. Kehadiran Doyoung membuat Dayana urung bertanya soal masalah besar yang membuatnya terus penasaran. "Em ... tidak ada, Dayana kira, Nenek masih tidur." Doyoung beranjak pergi, ia paling tidak suka saat berbicara terpotong oleh seseorang dan kepergiannya, memberikan kesempatan bagi Dayana untuk bertanya. "Dayana, ingin bertanya sesuatu, Nek." Sang nenek mengerutkan keningnya dalam. "Tadi, kamu bilang tidak ada apa-apa." Tanpa membuang waktu, takut ibunya kembali datang Dayana segera mempertanyakan hal di luar akal. "Pesugihan atau penglaris itu ada, tapi kamu jangan menyimpulkan bahwa pedagang tersebut menggunakan hal tak wajar." "Dayana, yakin! Aneh banget, Nek, masa KEPSEK aja sampe berani datang terus makan di sana," jelasnya. "Ya udah, kalo kamu penasaran banget. Si pedagang pasti nyimpan barang yang tidak diperbolehkan didekati sama pembeli, tinggal cari tau aja," saran sang nenek. Dayana setuju, tidak lama Doyoung kembali mempertanyakan mengapa Dayana masih ada di dalam kamar mertuanya? "Dia hanya curhat, tidak lebih." Sepanjang malam Dayana terus memikirkan bagaimana esok hari. Ia harus bisa menyelidiki rahasia kenapa warung baru itu sangat ramai. Baru satu bulan, berasa satu tahun. Meminta bantuan kepada Desi adalah jawaban. Setelah mengecek untuk kedua kalinya semua tugas PR Dayana sudah selesai, ia memutuskan tidur tepat pukul sembilan malam. Bangun dalam keadaan segar, langsung merendam tubuh di jam lima pagi. Sebelumnya melaksanakan salat subuh dan berolahraga kecil, di depan kamarnya yang memiliki ruang khusus bersantai. Lantai atas memang menjadi pilihannya menyendiri. Menjauhi suara bising dari televisi dan curhatan para pembantunya. Selanjutnya, ia memakai baju setelan putih abu, menuruni anak tangga. Menemukan ayah, ibu dan neneknya. "Gimana nilai kamu?" tanya Darwin, wajah tegas berwibanya membuat Dayana melempar senyum kaku. "Aman, Yah." Sarapan pagi yang nampak biasa. Sopir langsung mengantarkan Dayana pergi ke sekolah. Warung Kang Dani Seblak terlihat sepi, tentu saja karena bukanya tepat pukul delapan pagi, sedangkan sekarang baru jam tujuh kurang sepuluh menit. Berjalan lurus, melempar senyum seadanya. Menemukan Desi sedang heboh di luar kelas, pasti memperebutkan perhatian Daniel. "Ayang Daniel, suka cokelat panas apa dingin?" tanya Dena, dengan kedua mata berkedip-kedip manja. Desi menatapnya sebal. "Cokelat mulu, ngajak diabetes, lu!" sindirnya. "Apa, sih? Cokelat itu bermakna cinta. Gak ada urusannya sama diabetes!" protes Desi. Daniel hanya mampu menatap keadaan lapang upacara, penuh lalu lalang para penghuni SMK Sayang. Tidak mempedulikan dua manusia di sampingnya. "Cinta monyet!" maki Desi, lalu tangannya ditarik oleh Dayana. Duduk manis di bangku paling depan kedua. "Ada apa, Putri Dayana?" Bokong Dayana segera ambruk, duduk lalu menghirup udara dalam-dalam. "Gua mau seblak," ucapnya datar. "HAHA!" Desi terbahak. "Kesambet apa lu? Kirain alergi, anjay." Dayana meliriknya. "Gua mau minta tolong juga," lanjutnya. "Asal, bayar pesenan gua nanti?" tawar Desi sebelum Dayana menyebut apa permintaan tolongnya. Sepakat. Jam istirahat kembali menghebohkan. Dayana dapat melihat banyak siswi dengan badge SMK Sayang berdatangan, juga badge SMA dan SMK lain memenuhi kios di sana. Gerobak yang berisi bahan-bahan seblak sudah dikerumuni. Objek yang harus Desi bongkar isinya, termasuk kios dan kamar mandinya. Mereka berdua berjalan beriringan, tukang es kelapa muda sekarang terbiasa mengantarkan satu mangkok seblak khusus KEPSEK. Dayana digiring Desi duduk di tempat paling dekat dengan gerobaknya Kang Dani. Keberuntungan bagi mereka, dua pengunjung pergi, lalu terganti oleh mereka. "Geledah semuanya, termasuk kamar mandi sama bawah meja," titah Dayana. Tanpa bertanya, Desi segera meluncur. Kesibukan karena banyak pembeli membuat Kang Dani mengiyakan izin dari Desi. "Boleh buka lemari di dalem gak? Pengin liat kuah seblaknya, ya? Kalo gerobak di bawah? Kolong mejanya gak ada apa-apa?" "Iya, Neng ... silakan, asal jangan buka baju saya aja," balas Kang Dani, diakhiri tawa. Dari jauh, Denis sudah mengintai gerak-gerik Desi yang mencurigakan. Mendapati juga Patung Dayana yang langka, bahkan pertama kali datang ke warung Kang Dani. Setelah susah payah, penuh keringat membanjiri karena sesak penuh pembeli, Desi datang tanpa benda yang Dayana harapkan. "Gua gak dapet benda yang mencurigakan, emang elu nyari apaan?" Pertanyaan Desi adalah hal yang sensitif. Jadi, Dayana menjawab, "Takut ada bom." Ha? Apa? Tolong ulangi! Desi hanya mampu menatap Dayana datar, lalu memutuskan memesan dua mangkok. Hal unik lagi dari Dayana, tidak pernah menyukai makanan pedas. "Satu gak pakek pedes, sebiji aja cabe langsung ditendang, Kang!" Kang Dani melongok, melihat Desi berhadapan dengan gadis yang baru ia temui. Siapa dia? Sebuah lembaran dari buku novel menjadi objek bola mata, dengan bulu yang lentik. "Anak baru kali, ya?" batin Kang Dani.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN