Anggap saja mereka paling benar. Biarkan memaki seperti yang diinginkan, didengar orang. Sesungguhnya, dia akan lelah sendiri dan memilih berhenti.
-Kang Dani Seblak-
Keadaan warung seblak penuh sesak, membuat Desi malas berjalan membawa dua botol air mineral dingin di ujung ruangan. Tidak mungkin juga jika ia meminta Dayana untuk mengambil, mustahil sekali yang ada malah mendapat cacian nantinya. Ia pun terpaksa berjalan lunglai, harus menyingkirkan satu persatu rombongan cewek yang memadati kios kecil itu.
Melihat kepergian Desi, pandangan Dayana tetap curiga mencari-cari benda yang mencurigakan. Kali ini, ia menyesal tidak ditakdirkan oleh Tuhan menjadi salah satu makhluk pemilik indra keenam. Mungkin sekarang juga akan nampak makhluk tak kasat mata, menjadi penglaris warung tersebut. Bukan hanya sesak penuh manusia, pesanannya pula sangat lama.
"Liat, tuh Si Patung nyasal apa?" lontar Denis.
Dena menoleh, mendapati Dayana yang menatap keadaan sekitar dengan tatapan menyelidik.
"Tauk, sendiri dia ke sini?"
"Kok nanya ke gua? Emang gua temennya? Hilih, ogah!" protes Denis, lalu mengibaskan rambut pirangnya ke belakang.
Beruntungnya, tempat favorit tepat di atas kepala adalah kipas angin yang memutar. Menghembuskan angin, menerpa tubuh gerah karena penuh sesak manusia tak sabaran. Setelah Desi dengan keras kepala, menyingkirkan tubuh mungil para cewek SMK Sayang ia pun berjalan cepat, duduk kembali di hadapan Dayana.
"Anjir, gila! Setiap gua ke sini penuh mulu, mana bau semriwing parfum lagi!" gerutu Desi seraya membuka tutup botol air dinginnya.
Secepat kilat ia menuangkan air dingin tersebut ke muka. Beberapa pengunjung menatapnya jijik. Itulah Desi tak mempedulikan penampilan ataupun bersikap di depan umum. Paling penting, dapat menyegarkan wajah panasnya. Dayana yang melihat sudah terbiasa. Toh, dari kecil juga Desi memang seperti itu.
Tanpa merias wajahnya dengan bedak ataupun perona pipi. Penampilan seadanya dan ia termasuk siswi SMK Sayang tanpa embel-embel anak blasteran. Kedua orang tuanya asli dari Kota Bandung. Tidak lama, Kang Dani mengantarkan pesanan keduanya. Tentu saja, seblak tanpa pedas sama sekali diserahkan kepada Dayana yang belum ia kenali.
"Bisa dicek dulu, Neng, takutnya ada cabe yang nyangkut," papar Kang Dani dengan senyum manisnya.
Dayana menatap Kang Dani tak suka. "Iya," balasnya singkat.
Desi melempar senyum. "Coba, Na, lo pasti ketagihan."
Kang Dani yang masih diam di tempat membuat Dayana tak suka. Kenapa tidak kembali ke gerobaknya? Bukankah masih ada banyak pelanggan yang menunggu pesanan? Pertanyaan dalam otak Dayana segera menjelaskan, untuk apa Kang Dani masih diam tak kembali.
"Neng Desi, ini temennya murid baru, ya?"
"Ya kali ... dia temen gua, dari orok! Udah jamuran di kelas AKL satu!"
"Eh, iya? Kok, saya baru liat," kekeh Kang Dani.
Tatapan mata Denis semakin menajam, terasa panas ingin menghantam Kang Dani yang sok asik di meja Dayana dan Desi, sedangkan teman beloonnya itu malah menambah kian memanas saja keadaan.
"Gua tebak, Kang Dani lagi PDKT sama tuh, Patung!"
"Ngerasa gak, sih? Si Patung sama elu, lebih natural dia?"
"Liat, Si Desi jadi Mak Comblang, keknya!"
"Nis, lo kayakn—"
"LU BISA DIEM, GAK!" Denis memberikan tatapan bola mata tajam, membuat Dena mengangguk pasrah.
"Apa salah gua, coba," cicit Dena, lalu menyedot teh dinginnya.
Denis tetap menatap ketiga manusia itu. Apakah Dayana akan menjadi saingannya? Tentu saja gampang untuk dipunahkan! Manusia kutu buku gitu bersanding sama Kang Dani? Aduh ... ngarepnya terlalu berlebihan! Denis langsung beranjak pergi, berjalan lurus percaya diri.
Kang Dani yang sudah tahu nama gadis baru di matanya adalah Dayana, melempar senyum sebagai awal pertemanan. Namun, Dayana tidak membalasnya ia malah mengaduk-aduk asal seblak tanpa ada niat untuk memakannya. Saat kaki Kang Dani siap melangkah pergi, sosok Denis sudah menghalangi jalannya.
"Mau pesen lagi? Gak takut diare apa?" Kang Dani sudah tahu kebiasaan pelanggan satunya ini. Pertama kali datang, tanpa berpikir ulang Denis memesan lima mangkok sekaligus.
"Ngoblolin apaan?" tanya Denis, mengalihkan pembicaraan.
Dayana yang mengenal raut wajah teman laknatnya itu tidak peduli. Memangnya dia mau merebut tukang seblak itu? Untuk apa? Lebih baik mengurung diri di kelas. Ah, Dayana mulai menyesal datang dengan niat konyolnya. Mencari benda yang membuat warung baru itu laris manis. Kenyataannya, mungkin wajah lelaki itu yang membuat menarik.
"Saya udah kenalan, kirain anak baru gitu," jelas Kang Dani.
Tangan Denis menarik siku Kang Dani. "Gak usah kegatelan, sana!"
Siapa Denis? Mengapa ia mengatur Kang Dani? Desi menyilangkan telunjuknya ke depan dahi.
"Biasa, kadar kegilaannya mulai meningkat," ringis Desi membuat Dayana menahan tawa.
"Mereka pacaran?" tebak Dayana.
"Tauk! Si Cadel aja yang ngarep."
Denis mendelik sebal, lalu kembali duduk di tempatnya semula. Dena segera mendekat menenangkan. Dayana sendiri tanpa berpikir ulang, mulai menyuapkan seblak dengan aroma irisan daun jeruk. Rasanya beda dari seblak yang pernah ia beli. Kuah kaldu ayam, terasa masamnya cuka. Ia tak pernah menjumpai rasa seperti ini. Harumnya benar-benar memancing mulut kembali mengunyah. Menelan bulat-bulat beberapa kerupuk warna-warni.
"Enak, kan?" tanya Desi.
Dayana tersadar dari lamunan. "Ha? Apaan?"
Desi terbahak. "Lu kenapa, dah? Jangan bilang, enak banget?"
Sendok di tangan Dayana terlepas. Ia menatap keadaan di belakang Desi yang masih ramai, lalu mengalihkan pandangan.
"Gua duluan." Dayana beranjak pergi tanpa alasan, Desi melongo.
"Aneh banget, sumpah."
Ternyata Kang Dani tidak lepas mengintai Dayana dari tadi. Saat pandangannya menangkap sosok gadis itu pergi, ia segera mendekati Desi.
"Kok pergi? Seblaknya masih banyak itu!" Tunjuknya.
Desi menoleh. "Tauk!" Desi tersadar. "Si Anjir! Katanya mau neraktir, malah gua yang bayar double!"
Kang Dani menahan senyum. "Udah, gratis aja kalo gitu," bisiknya, agar terhindar dari kuping para manusia yang kepo.
Melihat jelas Kang Dani mendekati kuping Desi, Denis kembali beraksi. Ia menggebrak meja. Sayangnya, keadaan di warung tidak berubah menjadi sepi, senyap seperti keinginannya. Ia berjalan tergesa, menghentakkan sepatunya. Kang Dani tidak menyadari kehadiran Denis karena tepat membelakangi.
"Ohh ... gitu cala keljanya? Ngelebut Daniel dali Dena? Terus sekalang Kang Dani dali gua!" sentak Denis dengan suara imutnya yang tak mampu menyebut huruf R dengan jelas.
Kali ini semua orang menatapnya penuh tanya. Desi yang bingung dengan ucapan Denis segera menimpal, "Maksud lo apa! Lebut-lebut apaan?"
Desi sengaja meledek Denis yang cadel. "Eh, kenapa ini? Jangan gitu atuh, ada apa Neng Denis?" Kang Dani segera menenangkan, tetapi bukan Denis namanya jika kekesalannya belum diselesaikan.
"Masih pula-pula juga! l***e balu, ya? Dih, j****y!"
Lonte? j****y? Adalah perkataan yang siapa pun orang tak bisa menerima dengan senang hati. Namun, Desi yang tak peduli bin bodoamat. Hanya memberikan senyum miring saja sebagai balasan. Untuk apa mengeluarkan tenaga membalas bahasa kotor atau makian kekesalan? Hanya manusia sok benar saja yang melakukanya. Tentunya, Desi bukan salah satunya. Jadi, ia memilih berjalan lurus menyeberangi jalan.
"Gak punya malu, ya, lo!"
"l***e! Jamet! Oi, b***k, ya!"
"Mit-amit gua kek dia!"
Makian kasar dari mulut Denis hanya dianggap Desi angin lalu. Tidak penting sekali. Buang-buang waktu saja. "DASAL l***e! JAMET MULAHAN!"
Denis jadi lelah sendiri, sedangkan Desi? Malah pergi begitu saja. Kang Dani juga tidak peduli, ia memilih melayani pesanan pelanggannya dibanding menenangkan Denis yang mulai gila.
"Udah yang ada lo kek, jamet!" seru Dena tanpa beban.
"DENA!" teriak Denis. Semakin yakin saja ia memecat Dena sebagai temannya, tetapi bagaimana dengan nasib semua tugas pelajaran? Siapa yang akan mengerjakan?